SINISME saya
terhadap konvoi politik yang digelar bakal calon Walikota-Wakil Walikota
(Wawali) Kota Kotamobagu (KK), Kamis (28 Februari 2013) dan Jumat (1 Maret
2013), direspons aneka tanggapan. Kebanyakan lucu, beberapa lagi mengformasikan
fakta-fakta yang tak banyak ditemukan di media arus utama.
Konvoi menyambut Surat Keputusan (SK) ditetapkannya pasangan
Djelantik Mokodompit (DjM)-Rustam Simbala (RS) hasil koalisi Partai Golkar (PG)
dan PDI Perjuangan (mokolabot, partai
manakah yang SK-nya diusung-usung saat konvoi berlangsung?), rupanya sudah jadi
obsesi DjM. Informasi ini bahkan diperkuat oleh salah seorang pelaku utama yang
turut dalam seleksi bakal calon Wawali pendamping DjM.
Begini kisahnya: Belum lagi fit and proper test (FPT) dan psikotes PDI Perjuangan selesai, DjM
sudah kasak-kusuk ke beberapa kandidat yang dia sasar. Pada kandidat-kandidat
ini, dengan bahasa janji dibungkus pertanyaan, DjM mengatakan –saya kutipkan
kurang-lebihnya: ‘’Kalu torang dua pe SK
kaluar, kira-kira brapa motor deng oto mo ba jemput?’’
Menurut ahlul cerita yang Sabtu pagi (2 Maret 2013) penuh
semangat bertutur ke saya, DjM bahkan berkeinginan memacetkan sepanjang ruas
jalan utama KK dengan iring-iringan sepeda motor dan mobil.
Ada kandidat yang cukup bernyali mengoreksi, bahwa rencana show of force yang diimpi-impikan DjM masih
terlalu prematur. Hanya menciptakan kemacetan dan kebisingan, apalagi kampanye
resmi belum dimulai. Lain soal kalau Komisi Pemilihan Umum (KK) telah
mempersilahkan semua kandidat memeragakan dukungan yang digalang, bantahnya, ‘’Memang musti baku abis!’’
Mana bisa DjM didebat dan dikoreksi? Sejak terpilih sebagai
anggota DPR RI, tanpa ketahuan apa yang pernah dia lakukan untuk Sulawesi Utara
(Sulut) dan Mogondow khusus, DjM dikenal ponggah dan makang puji. Yang tak mengenakkan, petantang-petentengnya tidak
diimbangi isi kepala yang memadai, justru sebaliknya diperparah kesukaannya
terhadap uang.
Sebagai bagian dari warga Mongondow, saya pernah malu dan
kehilangan kata-kata ketika satu saat terlibat percakapan dengan beberapa tokoh
politik nasional, lalu salah seorang (pimpinan salah satu organisasi besar yang
pernah sefraksi dengan DjM) berkomentar, ‘’Sebagai orang Sulut, Anda pasti
kenal Djelantik Mukadompet dong?’’
Dua kali saya harus mengoreksi dan memastikan kawan ini tak salah sebut. Selain
malu, saya juga marah karena salah satu marga besar Mongondow dipelesetkan
sesuka-suka hati.
Tapi saya harus menelan lagi kejengkelan yang siap
dimuntahkan setelah disodori fakta-fakta yang hampir mustahil didebat. Lagipula,
kalau pun olok-olok itu spekulasi dan tuduhan semata, fakta apa yang saya
miliki untuk melakukan pembelaan? Kenyataannya sebagai anggota DPR RI DjM
memang nir-prestasi.
Ketika DjM terpilih sebagai Walikota KK (berpasangan dengan
Tatong Bara –TB), saya berusaha keras bersikap fair bahwa dia mampu mengubah diri. Reputasi tak sedap yang
bersiliweran di sekitarnya, cuma buatan oknum-oknum tak bertanggungjawab.
Namun rentetan skandal yang meruyak, mulai dari penerimaan
calon pegawai negeri sipil (CPNS) 2009, relokasi Pasar Serasi ke Genggulang dan
Poyowa Kecil, dan yang terkini korupsi pembangunan kembali Mesjid Raya Baitul
Makmur (MRBM), membuktikan apa yang dikatakan banyak orang punya kesahihan. Show of force dan makang puji sudah
sifat bawaan DjM, seperti kilahannya yang dikutip kandidat bakal calon Wawali
yang mendebat, ‘’Ngana musti blajar
bagimana cara shock terapi lawan dengan massa.’’
Selain bahlul, dia juga alpa belajar. Bila benar frasa yang dikutip (shock terapi) datang dari mulutnya, penyakit dungu DjM sudah di
taraf kronis. Saya yakin yang dimaksud bukan shock therapy, melainkan psychological
warfare (psywar).
***
Eit, tunggu dulu, entah karena terprovokasi –artinya psywar DjM membuahkan hasil—atau karena makang puji dan dungu tergolong mudah
menular, bakal calon Walikota-Wawali yang diusung Partai Amanat Nasional (PAN)
ikut-ikutan pula menggelar konvoi. Dengan alasan apa? Konvoi DJM dengan kilah
merayakan SK koalisi PG-PDI Perjuangan dan penetapan RS sebagai bakal calon
Wawali-nya, tetap lebay tapi
setidaknya lebih masuk akal.
Ketiadaan alasan yang logis aksi konvoi TB-Jainudin
Damopolii (JD), PAN, dan massa yang diklaim sebagai pendukung, tak terelakkan melahirkan
dugaan dan tuduhan. ‘’Ah, sebagian besar kendaraan, terutama Bentor, ikut
konvoi karena dibayar Tim Sukses TB-JD,’’ tulis salah seorang penanggap lewat BlackBerry Messenger (BBM). Nilainya, Rp
50.000 per Bentor.
Jemari saya gatal ingin membalas dengan informasi yang lebih
syur dan seksi berkaitan dengan
pasangan TB-JD. Informasi jenis ini, apalagi ditunjang bukti tak terbantah,
pasti bakal dimamah-biak konstituen yang tengah esktasi gegar Pilwako. Putusan
menyandingkan TB-JD masih tetap tanda-tanya bagi sebagian besar warga KK yang
mengantongi hak pilih; yang tak pernah dijawab dengan tuntas dan memuaskan,
baik oleh kandidat maupun partai pengusungnya.
Apa itu? Tersebab tulisan ini bukanlah bab tentang TB-JD,
melainkan DjM dan ‘’demam’’ makang puji
kosong yang dia tularkan, baiknya kita tabung dulu hal-ihwal yang bikin penasaran
para gossiper politik itu.
***
Saya akan menutup tulisan ini dengan analisis dari para
penanggap yang berkomentar terhadap rivalitas DjM dan TB di Pilwako KK. Salah
satu cermatan asal-asalan tapi tak amatir mengkonklusi: Politik dan pribadi,
DjM dan TB tak akan pernah sejalan lagi. Mereka akan berusaha keras saling
mengalahkan satu sama lain, dengan berbagai cara. Telahaan ini sejalan dengan
apa yang sudah lebih setahun berulang kali saya tulis di blog ini.
Padahal, jelas si penanggap kita, pertentangan dua bakal
calon Walikota yang disebut-sebut terkuat di Pilwako KK itu, hanya dimulai dari
‘’baku feyem’’ gara-gara pembagian ‘’pampasan perang’’. Nah, megingat keduanya
sama-sama bermutu rendah, konvoi adu banyak massa cuma bumbu penyedap. Di balik
itu, tidakan-tindakan lebih irasional potensial dilakukan, termasuk ‘’baku
tiop’’.
Saya menyukai bagian
‘’baku tiop’’ itu. Kendati DjM dan TB sama-sama bergelar ‘’haji’’ dan
‘’hajjah’’, kompetisi mereka yang telah mencapai taraf saling menghabisi,
membuka kemungkinan dipraktekkannya cara-cara paling primitif sekali pun. Tidak
sulit menemukan dukun sakti di Mongondow yang mampu membuat ‘’dot’’ seseorang
hanya berbekal kemenyan, ayam hitam, dan komat-kamit mantera.
Benar atau tidak, urban
legend yang saya dengar sejak masa Sekolah Dasar (SD) mengungkap, hasil
kerja ‘’tukang tiop’’ termanifestasi lewat berbagai cara. Sekadar baku sedu, korbannya paling-paling
mendadak ditumbuhi bisul sebesar bola tenis di bokong. Yang agak serius,
pengkor atau meriang, yang membuat bingung dokter saat melakukan diagnosa. Yang
serius, korban buang air dan mutah darah, lalu perlahan-lahan kuncup, dan
selamat tinggal!
Seberapa akurat cerita dari mulut ke mulut itu, yang menurut
saya cuma gossip orang kurang
kerjaan, hanya para dukunlah yang tahu. Saya lebih percaya bahwa para politikus
potensial buang air dan muntah darah karena maag
bleeding. Penelitian membuktikan, kegalauan berlebihan dapat mengakibatkan
gangguan pencernaan. Dan gangguan pencernaan akut biasanya berujung maag bleeding.***