Menanggapi aneka isu itu, dengan hati-hati saya
menyampaikan. Pertama, saya tidak
punya otoritas apa-apa dengan Bupati Bolmong, Salihi Mokodongan. Jangankan
mempengaruhi, bicara dengan yang bersangkutan saja, selama 2012 ini sudah tak
pernah lagi. Kedua, saya memang
pernah terlibat menyiapkan, mendukung, bahkan membela habis-habisan Salihi
Mokodongan sejak dia mencalonkan diri sebagai kandidat hingga terpilih sebagai
Bupati Bolmong. Tapi setelah itu, dia sudah punya orang-orang terbaik yang
tampaknya lebih bisa ‘’menunjukkan mana yang benar, bagus, dan baik untuk
kepentingannya sebagai Bupati’’, ketimbang orang seperti saya.
Ketiga, mohon
izinkan saya tidak menambah daftar kesalahan terhadap orang Mongondow. Saya
sudah melakukan kekeliruan sangat fatal saat mendukung Salihi Mokodongan dengan
percaya bahwa dia punya niat baik dan tulus terhadap Bolmong. Percaya bahwa
orang yang terlihat bijaksana, mampu bersikap tegas, dan berkecupan secara
ekonomi seperti dia, pantas menjadi pemimpin. Percaya bahwa di atas kecerdasan
sekolah ada harga diri dan keinginan mengabdi yang mampu menjadi benteng
terhadap godaan kekuasaan.
Kepercayaan saya ternyata salah. Untuk itu saya memohon maaf
sebesar-besarnya pada warga Mongondow, khususnya yang saat ini berada di
wilayah Kabupaten Bolmong. Permintaan maaf yang sama (bahkan dengan dua tangan
di dada) saya haturkan pada Wakil Bupati (Wabup) Bolmong, Yani Tuuk. Sayalah
yang dengan penuh percaya diri menyampaikan pada Wabup bahwa sebagai pasangan,
dia dan Salihi Mokodongan adalah yang terbaik bagi Bolmong hingga lima tahun ke
depan. Pak Wabup, maafkan saya sudah menyulitkan Anda.
Dan keempat,
khusus pada para PNS, aktivis dan pengamat yang konsern dengan langkah-langkah
penggantian dan pengisian jabatan eselon III dan IV di Pemkab Bolmong, saya
mengatakan bahkan nasib adik kandung saya sendiri (yang PNS di Pemkab Bolmong)
tak saya ketahui. Jadi, mari kita serahkan pada kearifan para pemimpin
Kabupaten Bolmong saat ini: Bupati, Wabup, Sekretaris Daerah (Sekda) dan Kepala
Badan Kepegawaian Daerah.
***
Orang banyak, tak hanya PNS, pantas terkaget-kaget ketika
Bupati Salihi Mokodongan melantik 342 eselon III dan IV, Rabu (4 Juli 2012). Saya
mengikuti keriuhan rolling ini
sembari mengeleng-ngelengkan kepala ke dinding kaca ruang kerja yang
membentangkan pemandangan Sudirman Central Business District (SCBD). Lalu
lintas SCBD yang biasanya padat merayap terlihat lebih tertata dibanding
kebijakan Bupati Bolmong.
Tak ada yang mampu saya komentari ketika diinformasikan
bahwa pembacaan daftar pejabat yang di-rolling
kacau-balau, jauh dari tata tertib birokrasi yang kita kenal. Isinya pun Masya
Allah, sungguh tak masuk akal dipercayai sebagai hasil kerja Badan Pertimbangan
Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) yang diketuai Sekda. Menempatkan seorang Sangadi
ke posisi Kepala Bagian, misalnya, dianalisis dan dipertimbangkan berdasarkan
standar apa?
Tapi itulah yang terjadi di-rolling Pemkab Bolmong tengah pekan ini. Yang disimpulkan oleh
sebagian besar komentator yang menghubungi saya sebagai: tujuh nae-nae enam.
Apa yang terjadi? Kisah di balik peristiwa, yang biasanya
seru dan penuh intrik, tak akan kita temukan di media massa. Dia menjadi
perbincangan dan pengetahuan umum yang dibungkus sebagai ‘’rahasia bersama’’
dan tahu sama tahu saja.
Sebagai pihak yang tidak punya urusan apapun dengan Bupati
dan Pemkab Bolmong, saya bebas menukil kembali cerita-cerita itu. Menurut para
informan, daftar pejabat eselon III dan IV yang akan dilantik sebenarnya sudah
final. Tetapi beberapa jam sebelum pelantikan, berbagai insiden terjadi yang
melibatkan Bupati dan istrinya. Kata si pencerita (seorang sumber dari
lingkaran dalam), pertengkaran hebat antara Bupati dan istri meletus karena
Nyonya Bupati menitahkan beberapa nama (yang tak kompeten) harus dilantik di
jabatan tertentu.
Hasil dari amukan Nyonya Bupati adalah perubahan besar-besaran
terhadap daftar yang sebelumnya sudah disepakati oleh Bupati, Wapub, Baperjakat
serta sejumlah pihak yang berkomitmen dengan pasangan Salihi Mokodongan-Yani
Tuuk. Hebatnya, perubahan yang dilakukan ini seperti ulah setan belang. Tak jelas
kepala dan ekornya.
Bukti campur tangan setan belang itu terlihat dari reaksi
Wabup yang menunjukkan kemarahan di tengah pembacaan daftar pejabat yang akan
dilantik. Belakangan, informasi sahih lain mengkonfirmasi: Sekda mengeluh tak
bisa mempertanggungjawabkan rolling
eselon III dan IV itu, karena dia baru memaraf daftarnya setelah dibacakan saat
pelantikan dilakukan.
Pemerintahan macam apa sebenarnya yang sedang dijalankan leh
Bupati Salihi Mokodongan dan jajarannya? Sejumlah orang yang saya sodori pertanyaan
itu, termasuk politisi dari partai pendukung, tak mampu memberi jawaban. Bahkan
ada yang spontan menyemburkan keketusan, ‘’Tau’
lei, cuma dia dengan Tuhan yang tahu!’’ Tambahannya, ‘’Abang harus ikut
bertanggungjawab. Kan Abang yang bilang
dia mo jadi pemimpin yang bae for Bolmong.’’
***
Saya tak hendak membantah fakta-fakta itu. Bahkan saya
meng-aminkan pernyataan anggota DPR Bolmong, Yusuf Mooduto, yang menilai
pemerintahan Bupati Salihi Mokodongan abal-abal
(http://kontraonline.com/, Kamis, 5 Juli
2012).
Tak terhitung kritikan pedas yang saya tulis selama 10 tahun
Kabupaten Bolmong di bawah pemerintahan Marlina Moha-Siahaan, termasuk sebutan
‘’Kabupaten Ongol-Ongol’’. Namun seingat saya, sebagai Bupati dia cukup
kompeten memilih dan menempatkan birokrat untuk mendukung kinerja Pemkab. Kalau
pun ada yang berbau korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), kadarnya masih bisa
dikelola atau dikontrol sepenuhnya.
Ringkasnya: Kalau pun bermain-main dengan kekuasaan, Marlina
Moha-Siahaan mempraktekkan cara yang cerdas dan elegan. Akan halnya Salihi
Mokodongan, saya mesti mengakui angkat tangan dan (sekali lagi) hanya bisa
mengutip Einstein: ‘’Two things are infinite: the universe and
human stupidity; and I'm not sure about the the universe.’’***