Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, September 27, 2015

‘’Downfall’’, ‘’Komkomci’’, dan Sebagainya

SUBTITLE film Downfall, tulis The Telegraph dalam artikel  Hitler Downfall parodies: 25 worth watching (http://www.telegraph.co.uk/technology/news/6262709/Hitler-Downfall-parodies-25-worth-watching.html), Selasa, 6 Oktober 2009, ‘’… telah menjadi meme paling abadi (jaringan) digital.’’ Meme (biasa dibaca ‘’mim’’) ini pula, dalam versi Pilkada Boltim, yang saya terima Sabtu petang (26 September 2015) dan sungguh (tetap) mengocok perut.

Berasal dari bahasa Yunani, ‘’mimeme’’ (yang berarti ‘’sesuatu yang menyerupai, menirukan’’), kata meme pertama kali diperkenalkan oleh Richard Dawkins melalui bukunya, The Selfish Gene (1976). Di era digital ini, ketika internet nyaris menjadi kebutuhan pokok setengah populasi dunia, kreativitas menemukan tambang ide dan ekspresi baru sekaligus memperluas pengertian meme menjadi ‘’parodi’’.

Seingat saya, di Indonesia khususnya, subtitle Downfall mulai diparodikan ketika mantan Gubernur DKI, Fauzi Bowo, kalah dari pasangan penantangnya, Jokowi-Ahok, pada Pilgub 2012 lalu. Parodinya masih dapat dilihat di https://www.youtube.com/watch?v=aEjw2nSqXs0.

Pertama kali menonton parodi itu, saya ngakak abis sembari membayangkan wajah petahana Gubernur DKI. Konotasi ini kian kuat karena Fauzi Bowo juga populer dengan kumisnya—sama dengan Hitler yang bahkan menjadi ciri khas dan merk-nya sendiri. Saya membayangkan, andai Fauzi Bowo pernah menonton parodi itu, pasti tohokannya terasa hingga ulu hati.

Potongan adegan yang sama kemudian diparodikan lagi di Pilpres 2014 ketika pasangan Capres Prabowo Subianto-Cawapres Hatta Rajasa berhadapan dengan Jokowi-JK. Jika parodi Pilpres ini ditonton kembali di https://www.youtube.com/watch?v=JxmQ1gHUMl0, kita tahu pasti Capres siapa yang diserupakan dengan Hitler.

Namun, sesungguhnya Downfall (judul aslinya adalah Der Untergang) yang disutradarai Oliver Hirschbiegel adalah film sangat serius. Menceritakan tentang 10 hari terakhir Hitler dengan rezim NAZI-nya pada 1945, film ini melibatkan sejarawan Joachim Fest dan bukunya Inside Hitler’s Bunker: The Last Days of the Third Reich (edisi Inggris, 2004) dan buku Until the Final Hour (edisi Inggris, 2003) yang ditulis salah satu mantan Sekretaris Hitler, Traudl Junge, bersama Melissa Muller.

Tatkala diedarkan, Downfall langsung memicu kontroversi, sekaligus menuai banyak pujian dari para kritikus. Salah satu yang paling disoroti adalah akting Bruno Ganz yang berperan sebagai Hitler. Akting aktor Swiss penerima sederet penghargaan (terutama di Eropa) ini bahkan disebut-sebut sebagai pemeran sempurna Hitler dalam sejarah perfilman.

Untuk saya pribadi, Downfall dan Bruno Ganz cukup membekas di ingatan karena pernah secara khusus didiskusikan bersama beberapa kawan yang kebetulan alumni Jerman. Sebagai penggemar film (tidak hanya Hollywood), tanpa latah mengikuti puja-puji dan sanjungan para kritikus, saya harus bilang film ini, dan khususnya pemeran utamanya, memang layak mendapat penilaian lima jempol.

Walau demikian, sebagai salah satu nominator Best Foreign Language Film di Academi Award 2004, Downfall gagal meraih Oscar. Penghargaan pretisius ini justru diterima The Sea Inside (Mar adentro), film Spanyol yang disutradarai Alejandro Amenabar.

Cukup dengan hal-ihwal Downfall yang memang mengasyikan dibahas dari ujung ke ujungnya. Kita kembali ke parodi subtitle-nya yang mengusung isu Pilkada Boltim. Calon yang dikonotasikan dengan Hitler tak pelak lagi adalah petahana, Bupati Sehan Landjar, yang secara umum digambarkan ‘’sangat terganggu’’ dengan pesaingnya, Sam Sachrul Mamonto. Tak beda dengan Fauzi Bowo dan Prabowo yang diparodikan gerah dengan Jokowi di Pilgub dan Pilpres.

Mereka yang sudah menonton parodi Fauzi Bowo dan Prabowo, setelah menonton versi Eyang, dapat menyimpulkan: ide dasar Downfall Pilkada Boltim diambil dari parodi film ini di Pilpres 2014. Sebagian subtitle yang ditampilkan bahkan terang-terangan hanya melokalkan konteksnya dan menyulih dari bahasa Indonesia ke Melayu Manado.

Tapi penyulihan ke konteks sangat lokal itulah yang justru menjadi kekuatan parodi Downfall ala Boltim. ‘’Semua wartawan bayaran, LSM, Sangadi, deng tim yang diam-diam dukung Smile, kaluar….’’  terasa kontekstual, faktual, dan (pasti) Boltim banget! Saya bahkan bersyak, jangan-jangan kalimat ini tidak sekadar parodi, melainkan sudah menjadi fakta.

Saya memang sempat kehilangan pengertian ketika tiba pada bagian yang menyebutkan ‘’komkomci’’. Apa hubungannya ‘’komkomci’’, kata-kata yang biasanya disertai gerakan tangan di Mongondow untuk merangsang motorik balita, dengan Pilkada Boltim? Setelah mengirim beberapa BBM dan menelepon satu-dua orang, tahulah saya juntrungan ‘’komkomci’’ ini. Sesuatu yang tidak akan saya bahas, namun apa boleh buat, telah menjadi fakta lain yang memperiuh dan mengairahkan Pilkada Boltim 2015.

Dari informasi yang saya terima, ‘’komkomci’’ sudah menjadi isu gawat yang tampaknya harus menjadi perhatian Eyang dan tim yang mendukung sukses keinginannya meneruskan jabatan Bupati di periode kedua. Untuk para pembaca, khususnya warga Boltim yang bahkan sudah punya nyanyian (lengkap dengan gerakan) dan yel-yel ‘’komkomci’’, pelajaran penting dari isu ini adalah: yang cocok untuk balita memang belum tentu tepat untuk yang berusia di atas 50 tahun.

Kelucuan lain yang cukup otentik adalah’’keluhan’’ di antara amarah Hitler tentang SK dukungan dari PAN, yang, ‘’Mahal skali ada bayar itu …!’’ Ini pernyataan jenis dugaan atau fakta? Tetapi karena frasa itu, syak yang lain yang melintas di kepala saya adalah: jangan-jangan parodi Downfall yang men-downgrade Eyang ini adalah produksi oknum di internal tim suksesnya sendiri yang diam-diam ‘’so balipa pa Smile’’. Saya tidak bermaksud memperkeruh situasi, tetapi perkembangan terakhir dinamika Pilkada Boltim kelihatannya jauh dari menguntungkan Eyang.

Kampanye resmi memang belum dimulai. Namun, dengan beredarnya berbagai isu dan produk kreatif, baik yang mendukung atau mengecilkan salah satu dari tiga pasang kandidat yang akan bertarung, kecenderungan para pemilih tampaknya kian kuat mengarah ke Sam Sachrul Mamonto-Medi Lensun. Yang memprihatinkan, Eyang yang didukung barisan partai, ‘’konon’’ pula calon boneka, serta sejumlah ‘’katanya’’ wartawan, LSM, dan aktivis, seperti kehilangan ekspresi dan pendekatan kreatif.

Eyang terlihat hanya mengandalkan modal lama, yang pernah sukses membawa dia ke kursi Bupati: pidato. Padahal, di zaman manusia sebentar lagi siap mengeksplorasi Mars ini, lapangan politik terbuka lebar terhadap aneka kemungkinan ekspresi dan implementasinya. Atau, syak terakhir yang memercik di kepala saya, jangan-jangan seluruh subtitle parodi Downfall versi Boltim benar-benar gambaran nyata yang kini dihadapi Eyang dan timnya?***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
Ahok: Basuki Tjahaya Purnama; Balita: Bawah Lima Tahun; BBM: BlackBerry Messenger; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Capres: Calon Presiden; Cawapres: Calon Wakil Presiden; DKI: Daerah Khusus Ibukota; JK: Jusuf Kalla; Jokowi: Joko Widodo; LSM: Lembaga Swadaya Masyarakat; PAN: Partai Amanat Nasional; Pilgub: Pemilihan Gubernur (dan Wakil Gubernur); Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; Pilpres: Pemilihan Presiden (dan Wakil Presiden); dan SK: Surat Keputusan.