Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, September 11, 2015

Wartawan Pesanan, Wartawan Cengeng

KETUA DPRD yang juga Cabup Boltim 2016-2021, Sam Sachrul Mamonto, memicu reaksi wartawan karena pernyataannya dianggap menyinggung para pewarta. Dalam rapat bersama DPRD Boltim dan TAPD, Selasa (8 September 2015), sebagaimana yang dikutip Totabuanews, dia mengatakan, ‘’Saya tahu wartawan Boltim banyak yang tidak independen. Berita selama ini banyak yang miring sebelah.’’

Akibat pernyataan itu, media—terutama yang berbasis online—menulis dengan menggunakan frasa ‘’opini’’. Totabuanews (http://totabuanews.com/2015/09/sejumlah-wartawan-kecam-pernyataan-sachrul-mamonto/),  misalnya, memulai pemberitaannya dengan kalimat, ‘’Sikap kurang menyenangkan kembali dipertontonkan Ketua DPRD Boltim….’’ Dengan ujian sederhana, semacam pertanyaan ‘’Kurang menyenangkan untuk siapa?’’, dapat dibuktikan bahwa kalimat pembuka berita Sejumlah Wartawan ‘Kecam’ Pernyataan Sachrul Mamonto itu adalah opini jurnalisnya.

Di hari yang sama, di bagian wilayah Mongondow yang lain, wartawan Kompas TV, Rahman Rahim, ditegur (keras) karena mengambil gambar di Polres Bolmong. Media—lagi-lagi yang berbasis online—, misalnya totabuan.co (http://totabuan.co/2015/09/oknum-anggota-polres-bolmong-lecehkan-wartawan-kompas-tv/) menulis dengan ‘’ideologi’’ seterang matahari kemarau di siang bolong yang diwakili dengan kalimat, ‘’Sikap oknum anggota polisi yang bertugas di Polres Bolaang Mongondow dinilai melecehkan profesi wartawan. Rahman Rahim wartawan Kompas tv diusir dengan alasan tidak melapor ke bagian humas.’’

Apanya wartawan Kompas TV yang dilecehkan? Di tubuh berita yang diunggah totabuan.co saya tidak menemukan fakta, penjelasan, atau diskripsi tegas bahwa ‘’yang mulia Rahman Rahim’’ (wartawan Kompas TV dan karenanya hebat betul) dilecehkan dan diusir. Totabuan.co hanya menggambarkan dia ditegur dengan suara keras oleh polisi yang sedang bertugas (piket).

Dua peristiwa yang berkaitan dengan wartawan itu, terus-terang, mengusik sikap saya, baik terhadap profesi pewarta, pejabat publik (Ketua DPRD Boltim), dan pelayan umum (polisi), serta sikap adil sebagaimana yang diatur dan diagungkan oleh kode etik dan kode profesional jurnalistik. Ada yang bengkok dan merisaukan dari dua isu itu. Sesuatu yang mendesak diurunrembukkan sebelum wartawan (dalam sebutan lain ‘’pewarta’’ atau ‘’jurnalis’’) di Mongondow menjadi tiran sendiri yang menakar baik-buruk, benar-salah, lurus-bengkok, semata dari selera, kepentingan, dan keterbatasan pengetahuan mereka sendiri.

Mari kita telisik adab, laku, dan produk yang dihasilkan umumnya wartawan di Bolmong dengan bercermin dari dua peristiwa yang terjadi berturut itu. Pertama, mengapa pernyataan Ketua DPRD Boltim menjadi ‘’sesuatu’’ yang mengundang reaksi keras, bahkan mesti ditulis tersendiri, sembari para jurnalis tampaknya mengabaikan hal yang lebih subtansial: apa yang dihasilkan DPRD dan TAPD dari rapat yang mereka selenggarakan. Yang ingin saya katakan, karena memiliki kekuatan untuk mempengaruhi publik, saat ‘’merasa kepentingannya dikritik’’, sejumlah wartawan (di Bolmong) melepeh pondasi profesinya sendiri: fakta.

Apakah yang dinyatakan oleh Ketua DPRD Boltim tidak memiliki landasan fakta yang kuat? Apakah dugaan bahwa ‘’ada wartawan di Boltim yang tidak independen’’ itu sekadar fitnah atau kegenitannya menarik perhatian para pewarta supaya dikutip di media tempat mereka bekerja? Apakah kalimat-kalimat Ketua DPRD yang membuat ego sejumlah jurnalis di Boltim terluka itu semata berlatar hubungan buruknya—sebagaimana yang juga dispekulasi oleh media—dengan Kabag Humas Pemkab Boltim?

Tidak perlu kecerdasan lebih, penelitian saksama, atau analisis rumit untuk mengatakan bahwa ‘’ketidakindependenan’’ memang sudah menjadi tabiat wartawan di Mongondow, tidak hanya di Boltim. Jika ada pewarta yang keberatan terhadap pernyataan ini, saya sungguh senang berhadapan langsung, dan menyumpal mulut yang bersangkutan dengan aneka sampah yang bertaburan di media-media di Mongondow, yang selama ini diklaim sebagai ‘’produk jurnalistik’’.

Pernyataan terbuka, apa adanya, dan berlatar fakta dari seorang Ketua DPRD Boltim bisa membuat serombongan wartawan gatal-gatal dan marah; sementara praktek jurnalisme berbayar (cash, koran, atau iklan) yang dipelopori kelompok Harian Manado Post dibiarkan lalu-lalang di depan mata? Inikah substansi dan esensi jurnalistik: merekam, menguji, serta menakar dengan adil dan seimbang sebuah fakta, kejadian, peristiwa, fenomena, atau bahkan sekadar wacana, kemudian menyajikan ke hadapan publik?

Berhubung profesi jurnalis menuntut syarat berat, termasuk kecerdasan memadai, saya serahkan jawabannya pada para wartawan (di Bolmong khususnya) sendiri.

Akan halnya Ketua DPRD Boltim, dengan sangat menyesal saya harus mengatakan, sebagai politikus yang sedang mencari perhatian berkenaan dengan Pilkada Desember 2015 mendatang, pernyataan yang mengundang reaksi (berlebihan) itu lebih dari sekadar terpeleset. Dia seperti mulai membebek saingannya, Cabup yang juga petahana Bupati Boltim, Sehan Landjar, yang kian senang menciptakan masalah (untuk diri sendiri) lewat pernyataan-pernyataan yang kerap kurang pikir, kurang kontrol, dan emosional semata.

Apa yang diharapkan dari para politikus, pemimpin publik, atau baru sekadar kandidat Bupati yang  pernyataannya kerap kurang pikir, kurang kontrol, dan emosional, kecuali tontonan yang mirip kompetisi beo bicara? Orang banyak tidak mendapatkan pelajaran, apalagi faedah, kecuali kegaduhan yang tak perlu di media.

Sam Sachrul Mamonto barangkali perlu belajar lebih keras bagaimana menangkap ikan tanpa membuat air keruh; menarik rambut tanpa menjadikan tepung berantakan; mengkritik tanpa menimbulkan perlawanan; dan meraup suara konstituen tanpa memaksakan kehendak. Dengan demikian, sebagai pemimpin publik—yang punya peluang lebih 55% terpilih sebagai Bupati Boltim 2016-2021—dia tidak gagal di ujian sesepele cara berkomunikasi dan membangun hubungan dengan wartawan dan media.

Kedua, di peristiwa yang dilabeli sebagai ‘’pelecehan terhadap wartawan’’ oleh petugas piket di Polres Bolmong, menurut hemat saya, adalah manipulasi dan framing murahan. Memangnya dengan mengantongi kartu pers, mengaku wartawan, dan menenteng kamera, Anda lalu boleh melakukan apa saja tanpa batasan sama sekali? Diperintahkan untuk melapor ke Kabag Humas Polres Bolmong saat mengambil gambar, walau dengan bentakan sekali pun, tidak serta-merta berarti penghalangan terhadap pewarta yang sedang menjalankan profesinya.

Polisi memang sering over acting. Dan ini sudah menjadi pengetahuan umum. Demikian pula dengan persepsi yang ada di benak publik, bahwa wartawan adalah  mereka yang ‘’seolah-olah’’ punya hak istimewa untuk berlaku sesukanya tanpa boleh ditegur atau diingatkan. Termasuk, misalnya, mengendarai kendaraan tanpa SIM dan bersiasat dengan kartu pers saat kepergok razia.

Menjadikan sekadar bentakan petugas piket terhadap wartawan Kompas TV sebagai isu besar, bahkan didorong kearah ‘’dugaan’’ pelecehan dan penghalangan kerja jurnalis, cuma kecengengan yang mengada-ada. Kalau di hadapan pernyataan Ketua DPRD Boltim sebagian besar pewarta di Mongondow tampak superior, mengapa sekadar bentakan seorang petugas piket (yang barangkali seorang polisi muda yang baru lulus pendidikan) sudah menciutkan nyali hingga perlu diberitakan agar seluruh dunia tahu dan memberikan dukungan?

Setiap profesi punya tanggung jawab, kewajiban, hak, fakta, dan risikonya sendiri. Sedemikian pula dengan jurnalis, yang –terutama—hak profesionalnya tidak lebih tinggi dari profesi yang lain. Kalau para wartawan di Bolmong umumnya menutup mata dari keniscayaan ini, saran saya: Mengapa tidak sekalian saja Anda-anda mengaku sebagai malaikat, nabi, atau orang suci?***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Cabup: Calon Bupati; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Humas: Hubungan Masyarakat; Kabag: Kepala Bagian; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; Pilkada: Pemilihan Kepala daerah; Polres: Kepolisian Resor; SIM: Surat Izin Mengemudi; TAPD: Tim Anggaran Pemerintah Daerah; dan TV: Televisi.