Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, September 12, 2015

OTOP, OVOP, OMDO

BEBERAPA tahun silam saya berkesempatan menjejalahi sebagian wilayah Thailand, melihat dan belajar kedasyatan penerapan OTOP yang didesain di bawah pemerintahan (mantan) PM Thaksin Shinawatra (2001-2006). Konsep mendorong kewirausahaan warga ini berbasis tambon (setingkat kecamatan) dengan mendukung produk lokal dan pemasarannya.

Pemerintahan Taksin dan partai pendukungnya, Thai Rak Thai, tak main-main dengan OTOP. Lewat program ini, produk-produk komunitas-komunitas di kecamatan yang menerima dukungan ditingkatkan kualitasnya, termasuk dengan memilih yang terbaik dari tiap tambon untuk menerima predikat ‘’starred OTOP product’’.

Melalui OTOP produk-produk Thailand meroket dan menyerbu pasar global. Memang tidak semassal barang-barang asal Cina, karena yang dikirimkan keluar adalah seleksi dari produk-produk terbaik. Hasilnya, kendati kuantitas ekspornya terbatas, produk OTOP (dari kerajinan tradisional, pakaian katun dan sutra, tembikar, aksesoris fashion, peralatan rumah tangga, hingga makanan jadi) sangat diminati konsumen AS dan Eropa karena kualitasnya yang prima.

Di salah satu workshop tambon yang memproduksi kerajinan berbahan dasar bambu, saya ternganga-nganga karena produk yang dihasilkan kaum perempuan yang menjadi produsennya (umumnya mereka adalah ibu rumah tangga) lebih dari pantas disebut karya para master seni. Halus, berkualitas tinggi, dan sangat berkelas. Saya lebih ternganga lagi setelah diberitahu harga satu tas tangan wanita dari bambu itu hingga bilangan (dalam rupiah) puluhan juta, dengan antrian pemesan yang cukup panjang.

Konon, sukses perkuatan ekonomi lewat OTOP pula yang membuat Thailand termasuk salah satu negara yang sangat cepat berkelit dari krisis global pada 2008. Padahal, negara ini bukanlah satu-satunya di Asia Tenggara yang menerapkan konsep ini. Di Filipina, di bawah pemerintahan Presiden Gloria Macapagal-Arroyo, digagas pula OTOP (dengan ‘’T’’ adalah ‘’town’’) pada 2002 yang diimplementasikan pada 2004.

OTOP di Filipina, yang saya lihat tiga tahun setelah dijalankan, tidak sesukses di Thailand.  Sekalipun anggaran OTOP tetap dikucurkan, Filipina—sebagaimana Indonesia—tidak jauh beranjak dari citra yang sudah melekat: sebagai salah satu negara papan atas pengirim tenaga kerja (disektor kerumahtanggaan) ke negara.

Apa rahasia OTOP hingga mampu mendongkrak ekonomi masyarakat Thailand? Jawabannya terletak pada tiga aspek fundamental yang diterapkan dengan disiplin tinggi oleh pemerintahan Thaksin dan komunitas penerima manfaatnya. Pertama, produk yang dihasilkan setiap tambon yang terlibat dalam program OTOP memang sangat dikuasai, lekat dengan keseharian, dan menjadi budaya produksi komunitas bersangkutan. Kedua, setiap keputusan yang berkaitan dengan OTOP harus melibatkan kesepakatan dari minimal 75% KK di komunitas penerima program. Dan ketiga, dana OTOP yang merupakan bantuan Pemerintah Thailand harus terus bertambah yang dibuktikan lewat rekening tambon.

Tuntutan kedisiplinan berkaitan dengan pengelolaan dana OTOP memang tidak ringan. Misalnya, di tahun pertama satu OTOP menerima bantuan 1 juta bath yang dikelola membiaya produksi yang diunggulkan, lalu di akhir tahun komunitas penerima manfaat berhasil menggembalikan dana ini dalam rekeningnya, maka Pemerintah Thailand akan memberikan lagi 1 juta bath. Dengan demikian, di tahun kedua, selain produksi dan penjualan produknya tetap berjalan, komunitas penerima manfaat memiliki 2 juta bath dana segar yang siap digunakan untuk penggembangan usaha.

Walau telah menjadi salah satu penggerak utama ekonomi negara, sejatinya OTOP bukanlah orisinal Thailand. Konsep ini adalah adopsi dari gerakan OVOP yang diinisiasi Gubernur Provinsi (prefecture) Oita, Jepang, Morihiko Hiramatsu, pada 1979. Berbeda dengan OTOP di Thailand yang bertujuan membangun ekonomi lokal, OVOP versi Oita dengan slogan ‘’Let’s work together on what we can do in the present condition’’ adalah untuk merevitalisasi komunitas berdasar apa yang mereka miliki. Perbedaan (penting) lainnya adalah, OTOP Thailand (juga Filipina dan—belakangan—Malawi sebagai hasil introduksi JICA) adalah gerakan nasional, sedang di Oita bersifat regional (provinsi).

Nah, dengan memahami OTOP dan OVOP di Thailand, Filipina, Malawi, dan induknya di Oita, di manakah konteks ‘’satu kampung satu produk’’ yang mendadak akan dijadikan program kerja Pemkot KK pada 2016? Sedang mimpi apakah Walikota dan jajarannya hingga tiba-tiba ingin menerapkan konsep (yang mereka kira jenius) ala OTOP-OVOP sebagaimana yang dikutip totabuan.co (http://totabuan.co/2015/09/inilah-empat-program-pemkot-kotamobagu-di-2016/)?

Menurut Walikota KK, Tatong Bara, SKSP yang digagas Pemkot sebagai program kerja 2016 itu adalah bagian dari empat program, masing-masing OVOP, Smart City, MEA , dan KSN. Maka peninglah saya (yang tak malu mengakui hanya punya tingkat pendidikan tepat di bawah pas) terhadap campur-aduknya yang teknis-praktis (SKSP atawa OVOP dan Smart City) dan yang konseptual (MEA dan KSN).

Terus-terang, rencana pembangunan KK di bawah kepemimpinan Walikota Tatong Bara-Wawali Jainuddin Damopolii, buat saya sungguh membingungkan. Dalam pandangan saya, visi ’Terwujudnya Kota Kotamobagu Sebagai Kota Model Jasa di Kawasan Bolaang Mongondow Raya Menuju Masyarakat Sejahtera Berbudaya dan Berdaya Saing’’ yang mereka usung sejak kampanye Pilwako, berjalan bagai orang mabuk. Tak jelas arah.

Baiklah, Smart City yang belakangan saya dengar masih ada kaitannya dengan ‘’Kota Model Jasa’’. Setidaknya, industri jasa memang membutuhkan apa yang berada dalam lingkup konsep ‘’smart city’’—walau harus dipertanyakan pula jasa apa yang akan dimodelkan di KK? Tapi apa urusannya dengan OVOP yang berbasis manufaktur, terlebih lagi MAE dan KSN? Sadar atau tidak, suka atau tidak, siap atau tidak, KK yang menjadi bagian dari Indonesia pasti dicakup oleh MAE. Akan halnya KSN, apanya yang ‘’strategis’’ yang dapat ditawarkan oleh KK?

Urusan Smart City, MEA, KSN, dan konsep-konsep ‘’wah’’ lain yang membuat pening kita parkir dulu. Kembali ke OVOP, apakah rencana memprogramkerjakan konsep ini sudah dipersiapkan dengan matang? Tidak tahu (dan sadarkah) Pemkot bahwa pada dasarnya di tempat-tempat di mana konsep ini cukup berhasil diterapkan, komunitas yang disasar pada dasarnya sudah memiliki modal awal yang kuat. Budaya dan etos kerja gigih di masyarakat Jepang atau entrepreneurship orang Thai.

Di atas semua modal masyarakat itu, ada pemimpin yang berkeinginan kuat, sungguh-sungguh, disiplin, dan mau terlibat langsung. Kecemerlangan OTOP tak lepas dari turun langsungnya PM Thaksin ke tambon-tambon dan Walikota Morihiko ke sentra-sentra produk yang digarap OVOP.

Modal dasar apa yang kini kita miliki di KK yang dapat menjadi pondasi pengembangan OVOP? Budaya, etos, kewirausahaan, atau semangat seperti apa yang belakangan menjadi fakta di kota ini, bahkan wilayah Mongondow secara keseluruhan? Saya tak berhak menjawab, karena memang buta tuli terhadap perencanaan yang telah disusun Pemkot KK berkenaan dengan OVOP, Smart City, MEA, dan KSN itu. Dengan berbaik sangka dan percaya bahwa sangat banyak orang pintai di jajaran Pemkot, mudah-mudahan program-program itu memang telah direncanakan matang hingga ke tingkat pengukuran kinerja dan capaiannya.

Namun, sebagai bagian dari masyarakat KK, saya pantas kuatir konsep-konsep hebat itu pada akhirnya cuma sedap di telinga. Tidak jauh berbeda dengan KUT zaman dulu, yang sejatinya adalah program menguatkan ekonomi masyarakat (petani). Faktanya, KUT terbukti hanya sukses ditamatkan sebagai ladang korupsi yang menyeret banyak orang ke pengadilan. Atau, yang terkini, Program Lipu’ Modarit Lipu’ Mosehat yang cuma meriah sesaat setelah dicanangkan. Setelah itu, Pembaca yang warga KK tentu bisa melihat dan menilai sendiri.

Karenanya, mohon saya dimaafkan bila jauh-jauh hari pesimis dengan program OVOP versi Pemkot KK. Saya hampir meyakini program ini bakal berakhir sekadar sebagai sesuatu yang tampak mentereng dan baru di kuping masyarakat. Walau, sebagai pengetahuan, setidaknya warga KK telah  terpapar informasi bahwa ada yang namanya OTOP dan OVOP, yang sukses diterapkan di luar sana.

Sebab itu, jika akhirnya OVOP yang digadang-gadang Walikota KK dan jajarannya ternyata cuma OMDO, kita mahfum saja. Memang sudah demikian tabiat ide, konsep, dan program yang digagas pemerintah yang lemah pikir, lemas kreativitas, dan malas bersungguh-sungguh.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

AS: Amerika Serikat; ASEAN: The Association of Southeast Asian Nations; JICA: Japan International Cooperation Agency; KK: Kota Kotamobagu/Kepala Keluarga; KSN: Kawasan Strategis Nasional; KUT: Kredit Usaha Tani; MEA: Masyarakat Ekonomi Asean; OMDO: Omong Doang; OTOP: One Tambon One Product/One Town One Product; OVOP:  One Village One Product; Pemkot: Pemerintah Kota; PM: Perdana Menteri; dan SKSP: Satu Kampung Satu Produk.