Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, September 21, 2015

Belajar dari yang Salah, Mencontoh dari yang Keliru

TAUTAN berita LSM dan Wartawan BMR Support Sehan Lanjar dari totabuanews.com (http://totabuanews.com/2015/09/lsm-dan-wartawan-bmr-support-sehan-landjar/) yang saya terima Sabtu, 12 September 2015, sungguh menggelitik saraf tawa. Mohon jangan buru-buru menyimpulkan saya terbahak sebab warta ini isinya melulu puja-puji terhadap Bupati Boltim, Sehan Landjar.

Selama memimpin Boltim, yang masa jabatannya akan berakhir dalam hitungan hari, Eyang memang berprestasi. Tentu dengan tafsir dan persepsi ‘’prestasi’’ yang sangat luas. Begitu luasnya hingga imajinasi kita boleh menggembara, meraba-raba, dan mengarang-ngarang melampaui batas normal dan biasanya.

Saya pribadi, lepas dari segala kekurangan dan kelemahannya, memberikan apresiasi tinggi terhadap Eyang. Dia adalah kawan yang belum pernah terang-terangan menunjukkan ketidaksukaan, kejengkelan, apalagi kemarahan, sekalipun saya kritik hingga ke batas yang—saya yakin—cukup melecut egonya.

Akan halnya Eyang sebagai Bupati, ada takarang-takaran lebih profesional dan kredibel mengukur kinerjanya. Misalnya IPM, produksi dan keragaman komoditas pertanian (mengingat Boltim masih bertumpuh pada sektor agraris), atau efektivitas dan efisiensi penggunaan APBD. Bagaimana hasilnya? BPS Manado punya angka-angka yang bisa mewakili penilaian kinerja Eyang. Anda yang penasaran boleh mengunduh sendiri dari situs BPS.

Tentang LSM dan Wartawan BMR Support Sehan Lanjar, saya jujur saja, kelucuan pertama memang pada segala sanjungan buat Eyang, yang dasarnya entah dicomot dari mana. Klaim komunitas yang mengaku ‘’wartawan dan LSM BMR’’  (di Korot) ini, bahwa Eyang membawa perubahan dan prestasi di Boltim, buat saya adalah lelucon yang agak keterlaluan dan basi. Bagaimana kalau sebutkan tiga saja jenis perubahan dan prestasinya, lalu kita uji dengan indikator-indikator yang sahih agar ketahuan klaim itu bukan sekadar bual-bual yang menyertai seruputan kopi di Korot.

Namun, komedi yang sesungguhnya dari berita yang semestinya tidak penting-penting amat itu berkaitan dengan ‘’wartawan’’ dan LSM’’. Wartawan adalah profesi yang terikat dengan kode etik dan tata aturannya sendiri. Saya tidak tahu apakah ‘’komunitas wartawan BMR’’ (di Korot) sesekali masih membuka-buka kembali kode etik dan panduan dasar jurnalistik atau lebih masyuk bergosip. Yang jelas, pernyataan dukungan terhadap Eyang adalah ekspresi murahan yang membuat orang banyak pantas mempertanyakan integritas dan kredibilitas profesional mereka.

Wartawan memang bukanlah profesi yang sepenuhnya independen dan sebagai individu tidak berhak memihak, seolah-olah mereka tidak punya mata, telinga, dan hati. Barangkali pembaca blog ini akan bosan kalau saya kembali mengingatkan batasan yang diformulasi Tom Resenstiel dan Bill Kovach dalam The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect (2001), betapa pentingnya  para jurnalis profesional ‘’independen terhadap sumber beritanya’’.

Mustahaknya independensi itu dipertegas American Press Institute (http://www.americanpressinstitute.org/journalism-essentials/what-is-journalism/elements-journalism/),  bahwa dengan demikian profesi ini memiliki ‘’harga diri, integritas, dan kredibilitas’’. Lagipula, berita dan artikel macam apa yang mampu diproduksi wartawan yang dependen terhadap sumber beritanya, kecuali puja-puji, kepentingan satu orang (atau kelompok), dan yang terburuk hanya demi keuntungan pribadinya sendiri.

Sehan Landjar, baik dalam posisi Bupati petahana maupun Cabup 2016-2021 adalah sumber berita untuk para jurnalis, tak hanya di Boltim tetapi BMR—bahkan Sulut—umumnya. Pernyataan ‘’komunitas wartawan BMR’’ (di Korot) adalah penggadaian independensi profesinya. Dan dalam posisi tergadai, apa boleh buat, profesi yang dianggap sebagai ‘’pilar keempat negara—dan demokrasi—’’ (selain yudikatif, eksekutif, dan legislatif) ini turun derajat tak lebih tinggi dari ‘’SERIUS Fans Club’’ .

Dan LSM yang diklaim turut serta dalam ketoprak dukungan itu, dengan mengutip ‘’tokohnya’’, Sehan Ambaru, benar-benar slapstick rendahan. Apa makna ‘’LSM’’ yang dimaksud oleh para pengklaim ini? Saya kuatir—juga yakin—bahwa mereka yang mengaku-ngaku LSM dalam isu dukung-mendukung ini sejatinya tidak paham ini jenis organisasi apa, sejarah dan milestone-nya, didirikan untuk apa, dengan keanggotaan macam apa?

Saya juga memperhatikan, beberapa tahun belakangan, LSM adalah wadah yang  dimanipulasi seolah-olah profesi. Menyebut seseorang atau sekelompok orang sebagai ‘’LSM’’ bisa menjadi mantra sakti yang menakutkan siapa saja, terutama mereka yang diduga bersalah, punya skandal, atau sedang bermasalah. Hebatnya lagi, hanya dengan dua-tiga orang berkumpul, tanpa dokumen dan pemenuhan legalitas lainnya, mereka yang mengklaim LSM sudah merasa sah beroperasi.

Negeri ini memang sedang pikuk. Begitu pikuknya hingga kita, orang banyak yang susah-payah berusaha menjaga kewarasan, kerap terheran-heran mendengar dan menyaksikan lalu-lalang kesemau-mauan sejumlah pemuja diri sendiri yang doyan mencari-cari panggung. Bahkan sekalipun panggung itu tidak pada tempatnya.

Tatkala membaca kutipan Sehan Ambaru yang mengaku salah satu pimpinan LSM, terbetik keinginan mengontak dia—apalagi selama ini sesekali kami saling berkomunikasi lewat BBM. Namun niat ini kemudian saya urungkan. Apapun alasannya, pernyataan Sehan Ambaru yang ‘’pimpinan LSM’’ sudah berada di area publik. Tidak salah jika koreksi terhadap tabiat ‘’tunjung jagonya’’ juga dilakukan dengan cara yang sama.

Rekam jejak Sehan Ambaru memang menunjukkan dia gemar melibatkan diri dalam politik; atau lebih tepat politicking—yang salah satu pengertiannya adalah ‘activity undertaken for political reasons or ends’’. Saya tidak perlu membeber contoh-contoh politicking Sehan Ambaru. Yang jelas, sebagai ASN (PNS), tabiat yang dia praktekkan jelas jauh dari etis, bahkan melanggar UU No. 5 Tahun 2014. Kalau kemudian berkilah bahwa pernyataan itu mewakili posisinya sebagai pribadi, karena ‘’LSM’’, cuma menambah daftar kepandiran sia-sia dan menunjukkan: dia tak paham apa itu LSM dan asal mangap saja.

Birokrat adalah profesi yang melekat 24 jam, tujuh hari dalam seminggu, dan 365 hari dalam setahun. Anda tidak bisa menjalani profesi ini hanya dari pukul 08.00 hingga 17.00, setelah itu alih profesi menjadi politikus. Apa jadinya jika dokter hanya menjadi dokter di siang hari, guru hanya menjadi guru di sekolah, dan ustadz hanya menjadi ustadz di mesjid?

Atau barangkali Sehan Ambaru tidak mengerti arti kata ‘’support’’—yang dikutip dalam pernyataannya? Bila demikian, sebelum buka mulut, ada baiknya simak kamus atau lebih baik gunakan bahasa Indonesia. Demam ber-Inggris supaya tampak berpendidikan dan modern cuma bikin malu kalau salah tempat, salah maksud, dan salah semua.

Semestinya pernyataan dukungan yang dikutip totabuanews.com itu cukup menjadi alasan Panwaslu dan BKD memeriksa Sehan Ambaru. ASN yang berpolitik praktis sebaiknya tidak boleh berada di lingkungan birokrasi. Lebih terhormat menanggalkan profesinya sebagai birokrat dan masuk Parpol, lalu buktikan bahwa klaim-klaim seolah-olah menjadi wakil publik benar adanya.

Namun, puncak dari seluruh kelucuan berita yang diunggah totabuanews.com adalah: narsisme komunitas yang mengaku wartawan dan LSM BMR (di Korot) itu sudah berada di tahap tidak tahu diri dan sakit jiwa. Memangnya kalau kemudian mereka mendukung Eyang, siapa yang akan mendengar? Lebih penting lagi, siapa-siapa di antara anggota komunitas itu yang punya hak pilih di Boltim?

Mengail di kolam politik boleh-boleh saja. Tapi tidak dengan membawa ikan dari pasar yang dikaitkan ke mata pancing, lalu diceburkan ke kolam, dan bergaya seolah-olah pemancing handal. Tipu-tipu macam ini pada akhirnya cuma sungguh-sungguh merusak profesi (wartawan), institusi (LSM dan birokrasi), dan menciderai esensi politik yang sebenarnya.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

APBD: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; ASN: Aparatur Sipil Negara; BBM: BlackBerry Messenger; BKD: Badan Kepegawaian Daerah; Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; BMR: Bolaang Mongondow Raya; IPM: Indeks Pembangunan Manusia; LSM: Lembaga Swadaya Masyarakat; Panwaslu: Panitia Pengawas Pemilu; PNS: Pegawai Negeri Sipil; SERIUS: Sehan Landjar-Rusdi Gumalangit; dan Sulut: Sulawesi Utara.