BAHASA
menunjukkan bangsa. Dari bahasa kita menakar siapa, apa, dan bagaimana
penggunanya. Di blog Tesamoko (http://blog.tesaurusindonesia.com/2011/03/bahasa-menunjukkan-bangsa/),
penulis Tesaurus Bahasa Indonesia
(Gramedia Pustaka Utama, 2006), Eko Endarmoko, menulis peribahasa ini ‘’mengandung arti perangai dan tutur kata
menunjukkan tabiat seseorang. Tetapi bisa juga berarti baik-buruk kelakuan,
menunjukkan tinggi-rendah asal atau keturunan seseorang.’’
Di tulisan ini saya tak akan mengacu pada pengertian
seserius yang dikedepankan Eko Endarmoko. Dunia yang telah jadi datar seperti
kata Thomas L Friedman (2005), segala yang sebelumnya sederhana dan niscaya
dengan cepat berubah menjadi kompleks dan rumit, termasuk penggunaan bahasa
yang melintasi sekat bangsa dan negara, etnis, hingga strata sosial.
Menelan mentah-mentah pengandaian yang berakar jauh ke
belakang, ke masa ketika ketata-laksanaan bahasa melekat bersama latar
belakang, status sosial atau pendidikan, membuat kita ‘’gila’’ (misalnya)
ketika mendengar ocehan Vicky Prasetyo yang kodang diolok dengan Vickynisasi.
Kita bakal dibingungkan apakah Vicky seorang jenius atau idiot sok tahu; cermin
dia berpendidikan tinggi atau justru otaknya tak diasupi apa-apa semasa
sekolah; datang dari keluarga high class
atau sebaliknya; atau digampangkan dengan simpulan memang demikian bahasa yang
umum digunakan di Planet Jupiter.
Media dan ekspresi komunikasi modern melahirkan dan memompa
aneka ide (atau kengawuran baru) berbahasa. Ada yang akhirnya memperkaya
kosakata resmi kita; sekadar cetusan yang menjadi trend sesaat lalu hilang digulung waktu; atau diperlakukan sebagai
lelucon karena sepenuhnya salah konteks. Kata ‘’mantan’’ misalnya, awalnya
hanya digunakan oleh kalangan media, yang akhirnya populer dan menjadi bagian
dari komunikasi keseharian. Tetapi bagaimana dengan ‘’kece’’ untuk menggabarkan
ketampanan atau kecantikan? Masih adakah yang menggunakan?
Akan halnya urusan kengawuran, di beberapa kalangan di
Mongondow kata ‘’disnifikan’’ dan ‘’check up’’ sempat populer sebagai lelucon
ketika dalam beberapa kesempatan digunakan oleh seorang politisi. Masalahnya,
‘’disnifikan’’ dia ucapkan takkala ingin menegaskan penting dan mustahaknya
sesuatu yang sedang dibahas. Dengan kata lain harusnya kata yang tepat adalah
‘’signifikan’’. Pun ‘’check up’’ yang salah guna karena yang bersangkutan
ternyata ‘’check in’’ di front desk
salah satu maskapai penerbangan di bandara.
Dan misal yang lebih lengkap dan sedang jadi perhatian, ya, apalagi
kalau bukan ‘’bahasa luar angkasa’’ dari Vicky Prasetyo.
Tapi akan kemanakah sebenarnya tulisan ini pergi? Saya toh bukan guru bahasa Indonesia (apalagi
Inggris dan bahasa asing lain yang rumitnya minta ampun). Tulisan-tulisan saya
pun masih kerap terantuk salah kata, utamanya karena proses pengetikan yang
terburu-buru dan mata yang kian rabun. Kecuali, di satu artikel di blog ini yang memang dengan sengaja sebuah
kata dituliskan tidak sebagaimana mestinya (Nyali
Hemaprodit ‘’Daong Lemong’’, Selasa, 29 Mei 2012). Kata yang benar adalah
‘’hermaprodit’’ (sebagai peng-Indonesia-an dari ‘’hermaphrodite’’) dan
kesengajaan penggunaan kata yang salah (hemaprodit) ini saya ungkap kemudian di
tulisan Bibit Korup Intelektual ‘’Kudul’’
(1), Jumat, 1 Juni 2012.
Dengan memohon maaf pada Harian Radar Bolmong (juga kebanyakan media lain di Sulut), saya yakin
berita bertajuk Pentingnya Cool Storit
di halaman Boltim, Selasa, 1 Oktober
2013, bukanlah kekeliruan yang disengaja. Wartawan yang menulis dan menjuduli
beritanya dengan ‘’cool storit’’, redaktur yang memeriksa, dan seluruh awak
yang mengurusi proses hingga koran siap cetak, memang tidak tahu dan tidak mau
mencari tahu apakah kata yang dituliskan sudah benar dan tepat konteks.
Kengawuran bahasa yang berserak di media-media di Sulut,
bukan hanya Radar Bolmong, sungguh
memprihatinkan. Setelah menyimak beritanya, bahwa demi mencegah kerugian akibat
produksi holtikultura yang melimpah, Pemkab Boltim berencana membangun ‘’cool
storit’’ di Kecamatan Modayag, saya menyimpulkan bahwa yang dimaksud adalah
‘’cool storage’’ atau ‘’wahana/tempat penyimpanan berpendingin’’. Sekalipun
begitu, dengan prasangka baik saya tetap menelisik apakah ada kata ‘’storit’’
yang dikenal dalam perbendaharaan bahasa Inggris (mengingat ‘’cool’’ tentu
dirujuk dari bahasa ini). Ternyata ada, tetapi itu nama sebuah perusahaan,
Stor-It, yang menjajakan storage unit
atau unit penyimpanan (gudang sewaan).
Apakah mungkin ‘’cool storit’’ yang dijadikan judul dan
berulangkali dikutip di tubuh berita berarti ‘’cool storage unit’’? Oh, kalau
begitu yang dimaksud oleh wartawan yang menulis adalah lemari es atawa kulkas,
sebab ‘’unit’’ dalam bahasa Inggris berarti ‘’satuan’’. Jadi, Pemkab Boltim
akan membangun pabrik pembuatan lemari es di Kecamatan Modayag?
Andai demikian adanya, kita semua patut bahagia. Namun,
bagaimana dengan ‘’cool storis’’, yang juga pernah digunakan harian ini ketika
masih bernama Radar Totabuan, 2012
lalu, saat menulis kelebihan produksi perikanan di Bolsel? Hingga pegal
mengutak-ngatik kamus, cetak dan elektronik, saya tak menemukan satupun
pengertian ‘’storis’’. Yang ada adalah ‘’stories’’, yang bila dipandankan
dengan ‘’cool’’ berarti ‘’cerita yang keren’’. Rupanya kelebihan produksi
perikanan di Bolsel adalah ‘’cerita yang keren’’.
Bingung-bingung penggunaan bahasa yang sama saya sua di
berita lain di Radar Bolmong edisi online, Pendaftaran Student Idol Sampai 5 Oktober (http://www.radarbolmong.com/read/3352/pendaftaran-student-idol-sampai-5-oktober.html),
Senin, 30 September 2013. ‘’Student Idol’’ (Idola Pelajar/Mahasiswa) atau
‘’Students Idol’’ (Pelajar/Mahasiswa Idola)? Kita semua tahu pengertian ‘’idola
pelajar/mahasiswa’’ dan ‘’pelajar/mahasiswa idola’’ sama sekali berbeda. Sekali
lagi, bila dicermati lebih saksama, konteks yang dimaksudkan oleh berita ini
tak lain ‘’pelajar/mahasiswa idola’’, bukan ‘’idola pelajar/mahasiswa’’.
Menggunakan bahasa Inggris dalam proses komunikasi, baik
tertulis maupun verbal, sepintas sangat keren. Seolah-olah dengan demikian
komunikator yang bersangkutan ada di level yang lebih luas dari sekadar wilayah
Mongondow, Sulut, bahkan Indonesia. Seolah-olah, merujuk kasus berbahasa yang
sedang dibahas, ‘’wahana pendingin’’ sebagai padanan ‘’cool storage’’ dan
‘’pelajar/mahasiswa idola’’ kalah kelas dan tidak gaul dibanding ‘’Students
Idol’’.
Nah, sebelum saya ikut-ikutan ngawur, sebaiknya urusan
penggunaan kata dan istilah ngawur ini kita sudahi saja. Saya juga tak ingin
bermasalah dengan Radar Bolmong.
Bersilang-selisih dengan media dan pengelolanya biasanya berdampak buruk.
Syukur-syukur hanya di-persona non grata-kan dari pemberitaan, bukan
dikorek-korek dan dijadikan obyek publikasi buruk.***