DI BALIK riuh
lalu-lintas komentar pro-kontra, serius hingga sekadar olok-olok dan asal malontok, isu Pemred, kebijakan, dan
praktek jurnalisme di Radar Bolmong
yang saya picu menyerakkan percak-percik yang dibuang sayang. Tak ada salahnya
potongan-potongan puzzle itu
dikumpulkan, siapa tahu bakal menjadi catatan pinggir memperkaya pemahaman
perilaku kontemporer publik, khususnya penikmat dan pengkhimat isu-isu yang
ditulis blog ini.
Saya memulai dengan celutukan Pitres Sombowadile, tetapi
sebelumnya sedikit menjelaskan latar hubungan pertemanan puluhan tahun dengan
dia. Pitres adalah kawan dari zaman bergolak, ketika saya linglung memilih
menekuni sekolah; jadi seniman; jurnalis; preman bertato bak cetakan batik
tulis di sekujur tubuh; atau petani yang bebas merdeka. Dia adalah kawan
menelusuri jalanan Manado, berbual-bual menyia-nyiakan waktu di UKM Unsrat,
atau berdebat dalam diskusi-diskusi panas Kelompok Titian (yang anggotanya,
seperti Suhendro Boromo, Lily Djenaan, Asripan Nani, dan banyak lagi, kini
sudah jadi orang-orang hebat).
Pitres bukan hanya lihai silat lidah dengan kekuatan aneka
referensi (sejak remaja dia memang fasih ber-Inggris ria, jauh mengalahkan saya
yang baru melek bahasa ini bertahun-tahun kemudian), yang kadang-kadang saya
duga dia petik sembarangan saja. Nyaris tak ada kuasa melawan kelincahan Pitres
menaut judul-judul kitab rujukan terbitan luar yang menyebutkan pun saya
–ketika itu— rasanya memerlukan bantuan nafas buatan.
Namun yang paling mengasyikkan adalah humor-humor yang kerap
dia lontarkan. Urusan lelucon dan anak-temurunnya, Pitres harus diacungi
jempol. Maklum, dia adalah salah satu mantan pentolan grup lawak yang pernah
sangat populer di Sulut (bersama –yang juga saya kenal dekat-- Martinus Baroleh
yang banting setir jadi dosen dan kini sedang menyelesaikan studi doktor di
IPB).
Tersebab kedekatan dari masa antah berantah itu, saya selalu
siap adu otot leher dengan Pitres, tetapi juga bebas terbahak-bahak setiap kali
bersua atau telepon-teleponan. Tawa bebas itulah yang meledak Jumat, 4 Oktober
2013, ketika via telepon Pitres mengatakan (kurang lebih), ‘’Hebat lei ini Kronik Mongondow. Skarang kalu pigi di pasar-pasar,
kalu ada orang mo rupa-rupa, ada yang kase inga, ‘Bae-bae jang dapa lapor ka
Kronik kong Katamsi mo tulis lei.’ Deng butul ini.’’ Saya tahu dia sedang mood mengobral lelucon.
Dugaan itu tidak salah, terbukti dari lontarannya ketika bual-bual
kami beralih pada tidak adanya respons dari Radar
Bolmong terhadap kritik dan kritisasi saya. Saya mengatakan, ‘’Kalu nyanda ada yang tanggapi, somo jadi
penganiayaan noh.’’ Pitres dengan cepat menyambar, ‘’Nyanda apa-apa. Ngana memang torturer, kong dorang masochist, jadi
so cocok ngoni.’’
Yang memahami konteks celutukan Pitres pasti sangat
sependapat bahwa yang dia katakan sejenis humor ‘’tingkat tinggi’’. Bagi saya
pribadi, kalau penyiksaan itu harus berlangsung berbulan-bulan, sungguh
merepotkan. Yang menikmati siksaan tetap syur, sementara yang menyiksa mesti
kreatif menemukaan metode dan alat baru agar tak membosankan.
Tak beda dengan Pitres, beberapa jurnalis yang menjadikan
Kopi Jarod Sinindian sebagai ‘’markas’’, nonon-te’ek
dengan aneka komentar, salah satunya bahwa yang saya tulis hanya lewat begitu saja.
Radar Bolmong dan grup penerbitannya
tidak akan melakukan apa. Yang penting cash
in, bukan isi koran. Tonte’ek itu
agak mereda setelah saya menunjuk bukti media ini cukup terganggu. Setelah
kritik saya terhadap narsisme jajaran manajemen dan redaksinya, selang beberapa
jam slideshow aneka pose
‘’peragawan’’ dan ‘’peragawati’’ sekuter Radar
Bolmong di situs http://www.radarbolmong.com/,
raib tanpa bekas.
Namun yang paling lucu adalah nimbrungnya Bambang Hermawan,
wartawan Posko Manado dan Ketua PANDU
Sulut, yang memulai sok jago dengan menyindir-nyindir di account facebook, disusul mengunggah tulisan cemang-cemong berisi
aneka pernyataan untuk meyakinkan heroismenya. Termasuk tekad melaporkan saya
ke polisi karena menulis pengancaman serius; membuktikan bahwa tantangan ke
depan hukum yang kerap saya lontarkan pada siapa pun yang keberatan dengan isi blog ini tak lebih dari upaya
penyembunyian ketakutan.
Rupanya anak kemarin sore yang keasyikan mendongakkan dagu,
berkeliaran sebagai wartawan di BMR dan ketua organisasi onderbow Parpol ini, terlalu pongah membuka telinga dan matanya.
Oh, belum tahu dia kalau sudah ada daftar pecundang yang pernah disomasi dan
prosesnya baru berhenti setelah pasrah menelan seluruh ludah dan iler yang
telah disemburkan.
Untuk Bambang Hermawan, walau dia sudah menjilat kembali
sesumbar itu, termasuk dengan menghapus sindir-sindiran dan tulisan di account facebook-nya, urusan belum
selesai. Dia berhutang ke-‘’laki-laki’’-an yang dengan menyakinkan dia
pertaruhkan. Bambang Hermawan, di Mongondow kami menyebut laki-laki yang bukan
laki-laki dengan baholo’. Silah tanya
kiri-kanan apa artinya.
Sosok lain yang turut meramaikan ping pong isu Pemred,
kebijakan, dan prakteks jurnalisme di redaksi Radar Bolmong adalah Korlip Harian MP, Idham Malewa. Saya, kemudian
Ahmad Alheid, sudah mengulas BC BBM yang dilayangkan Idham ke mana-mana.
Ternyata masih ada BC susulan yang akhirnya diteruskan ke BB saya. Sedap betul
menikmati kesia-siaan Idham membela diri dan institusi di mana dia bernaung,
bahkan dengan menuduh tulisan saya hanya berdasar informasi dari barisan sakit
hati.
Santai saja, Idham, saya pengkonsumsi yang lamban dan
cermat, apalagi kalau sajian di hadapan sangat menggugah selera. Cepat atau
lambat, setelah selesai dengan Radar
Bolmong, saya akan mulai mencicipi porsi yang lebih besar: induknya.
Namun mendadak saya terselak tatkala menjejak bagian di mana
ayat Al Qur’an dikutip. Maaf Idham, saya tidak melanjutkan menyimak BC Anda.
Kita sedang membongkar praktek busuk pemerasan dan perampokan berkedok
jurnalisme, bukan tentang bagaimana caranya orang masuk sorga. Membedah
kebijakan dan praktek jurnalisme yang dimotori Pemred di sebuah media di
Indonesia mesti menggunakan ayat-ayat UU No 40/1999, KEJ, dan hasil ijtihad para bijak bestari jurnalistik;
bukan ayat kitab suci, perkataan dan perbuatan Nabi/Rasul, atau ijtihad para ulama dan orang-orang suci.
Tugas seorang jurnalis mencari, menemukan, menguji, dan
akhirnya menuangkan fakta, bukti, dan kesaksian sebagai tulisan atau berita. Tidak
ada kaitannya dengan keberagamaan seorang sumber atau haram-halalnya bukti yang
ditemukan. Tidak ada pula kaitannya dengan apakah seorang sumber berita
sedang sakit hati, patah hati, atau gundah hati, dengan kesahihan dan
kredibilitasnya? Di mana Anda belajar jurnalistik, siapa yang mengajari, dan
sampai di bab apa? Saya kok merasa
Anda belum pantas menyandang jabatan Korlip.
Akan halnya aspirasi lain Idham Malewa yang dia BC, saya
sepakat dan aminkan saja. Toh Korlip
MP ini hanya mewakili kegundahannya sendiri, bukan atas nama institusi di mana
dia bernaung. Siapa yang lebih dipercaya, saya atau orang-perorang dari Radar Bolmong maupun induknya, penilaiannya
kita serahkan pada orang ramai serta konsumen media di BMR khususnya dan Sulut
umumnya.***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
BB: BlackBerry; BBM: BlackBerry Messenger; BC: Broadcast; KEJ: Kode Etik Jurnalistik; masochist: Orang yang menikmati penderitaan/penyiksaan; MP: Manado Post; PANDU: PAN Muda untuk Indonesia; sekuter: Selebriti Kurang Terkenal; Sulut: Sulawesi Utara; torturer: Penyiksa; UKM:
Unit Kegiatan Mahasiswa; Unsrat:
Universitas Sam Ratulangi; dan UU: Undang-undang.