DI ZAMAN kini
hampir seluruh media cetak, termasuk yang berkantor dan diterbitkan di BMR,
dipublikasi pula dalam versi digital. Radar
Bolmong yang diklaim sebagai harian pagi ‘’No. 1 di Bolmong Raya’’, walau update-nya timbul tenggelam, juga dapat
diakses di http://www.radarbolmong.com/.
Pembaharuan terakhir, hingga tulisan ini dibuat (Selasa, 8 Oktober 2013),
dilakukan Kamis, 30 September 2013. Harap maklum, bukan tak mungkin keterlambatan
itu akibat penanggungjawabnya sedang terbongkok-bongkok memenuhi kewajiban cash in.
Pengakses web Radar Bolmong yang terbiasa dengan
situs-situs berita nasional (dan internasional bagi yang kecakapan bahasa
asingnya cukup mumpuni), pasti sependapat disainnya biasa saja. Standar dengan
komposisi warna yang (terus-terang) berselera dangdut. Kurang sedap di mata.
Namun gangguan paling mencolok adalah slideshow
para wartawannya yang dipajang di sepertiga sisi kanan atas. Inilah web koran pertama yang saya temui, yang
melayani naluri narsis jurnalisnya, seolah-olah mereka adalah selebritis atau
penulis top yang punya fans jutaan.
Tapi pemajangan wajah-wajah para jurnalis itu dapat pula
dianggap sebagai terobosan jenial. Dia menjadi bentuk pemakluman pada publik di
BMR, khususnya yang berkepentingan dengan ‘’bbi’’, ‘’bbk’’, atau advertorial, agar jangan sampai salah
wajah salah orang, yang mengakibatkan salah kontrak dan akhirnya salah setor.
Di luar gangguan itu, hal mencolok lain adalah banner ‘’Manufacturing Hope Dahlan
Iskan’’ yang diletakkan di sisi kanan paling atas halaman utama web. Klik-lah banner itu dan Anda akan dibawa ketautan yang berisi
tulisan-tulisan DI, yang sesuai penamaannya (kurang lebih bila di-Indonesia-kan
berarti Pabrik Harapan) patut diyakini membawa pembangkit semangat dan nyali.
Kebanyakan orang yang terpukau dengan DI pasti khusyuk
menyimak apa yang dia tulis, terlebih mereka yang memajang ‘’Dahlanis....
Kerja..., kerja..., kerja....’’ di status BBM-nya. Saya bukan penggemar dan
hampir tidak pernah membaca tulisan-tulisan DI. Bukunya, tentang ‘’kesyukuran
pada kehidupan yang dianugerahkan Tuhan’’ ketika DI sukses menerima cangkok
hati, hanya saya bolak-balik sebentar dan langsung kehilangan minat.
Mungkin karena saat itu saya sedang tergila-gila pada
kisah profesor computer science and
human-computer interaction and design dari CMU, Pittsburgh, Pennsylvania,
Randolph Frederick “Randy’ Pausch (1960-2008). Didiagnosa menderita kanker
pankreas dengan kesempatan hidup tinggal menghitung hari, Randy Pausch tak
menyerah dan bahkan menjelang ajal, pada 18 September 2007, masih memberikan
kuliah yang ditajuki The Last Lecture:
Really Achieving Your Childhood Dreams.
Kuliah terakhir yang menguras airmata para pesertanya itu,
belakangan menjadi roh dari buku The Last
Lecture (2008) yang ditulis Randy Pausch bersama wartawan Wall Street Journal, Jeffrey Zaslow.
Buku ini bukan hanya inspiratif dan melecut nyali, tetapi menegaskan bagaimana
kegigihan anak manusia mewujudkan mimpi dan harapan.
DI adalah wartawan yang dibesarkan dari tradisi Tempo, salah satu kawah Candradimuka
bagi banyak penulis esai andal di negeri ini. Sekali pun demikian, tentu tak
adil membandingkan dia dengan Randy Pausch dan Jeffrey Zaslow, terlebih sepengetahuan
saya DI bukanlah salah satu di antara jajaran penulis kelas kakap Tempo. Esainya datar, terlalu pop, dan
mudah diduga. Ibarat cerita pendek, tulisan-tulisannya cocok untuk konsumsi
para remaja.
Tak urung saya terkikik-kikik dan meng-klik banner ‘’Manufacturing Hope’’ yang
mencolok itu ketika mendadak teringat pada derita cash in yang dipikul para pewarta Radar Bolmong. Kalau benar tulisan-tulisan DI yang khusus dikoleksi
Radar Bolmong (hingga dibuatkan
tautan tersendiri) tentang dan menginspirasi harapan, dia sungguh kontradiksi
yang menggelikan. Benar-benar kemunafikan sempurna. Di satu sisi, dengan
menunggang nama besar DI (bahkan dia dapuk pula sebagai Pembina Radar Bolmong) media ini mengkampanyekan
harapan; sementara di lain pihak praktek-praktek jurnalistik dan manajemen
keredaksiannya dengan darah dingin membunuh harapan jurnalis dan publik yang
lebih luas.
Benar dugaan saya, tulisan-tulisan yang ‘’dianggap’’ Radar Bolmong sebagai ‘’pabrik harapan’’
itu memang penuh kabar baik, kembang, dan bunga-bunga versi DI. Apakah menarik
atau tidak, tergantung selera orang-orang per orang. Kalau pun dipaksa
memberikan penilaian, saya akan mengatakan, ‘’Saya lebih suka tulisan kawan
akrab saya, Sastrawan Terbaik Indonesia versi Majalah Tempo, AS Laksana, yang kini rutin menulis kolom di Harian JP.
Sepengetahuan saya, DI-lah yang menginstruksikan agar redaksi JP menjadikan AS
Laksana penulis tetap, setelah secara tak sengaja membaca artikel yang dia
kirim dan terbengkalai begitu saja di meja seorang redaktur.’’
Setidaknya DI cukup peka, awas, mampu menilai, mengakui, dan
menghargai arti ide, kandungan tulisan, dan keterampilan menulis dibanding
Pemred Radar Bolmong (yang tentu
sebagai bagian dari Grup JP pasti turut mendewakan DI sebagaimana kebanyakan
wartawan di kelompok media ini). Dugaan saya karena DI memang memahami
tulis-menulis dan keredaksian media, berbeda dengan Budi Siswanto yang cum laude hal-ihwal pemasaran koran yang
target utamanya adalah cash in dan
hanya cash in.
Saya sangat ingin tahu apa reaksi penulis ‘’pabrik harapan’’
itu bila diperhadapkan dengan bukti-bukti kebiadaban pewajiban cash in oleh Pemred Radal Bolmong pada jajaran pewartanya. Dan sembari menanti hari H itu,
saya nukilkan komentar yang dikirim Sahrul Mamonto, yang saya terima Senin, 7
Oktober 2013.
Sahrul menulis, ‘’Sabagai mantan wartawan Posko
Manado dan termasuk perintis
Radar Bolmong saat pertama diterbitkan,
saya sangat prihatin dengan nasib kawan-kawan, khususnya awak redaksi. Adik-adik
saya di Radar Bolmong sering curhat,
akhir-akhir ini mereka jadi susah tidur karena memikirkan beban (tambahan dari
saya: cash in) yang ditanggungkan. Beban
itu pulalah yang menjadikan mereka tidak objektif dalam menulis berita. ‘Bekeng brita jo datar datar dari torang
berharap kontrak dengan dorang,’ ungkap salah seorang redaktur seperti yang
tuturkan kembali oleh reporternya kepada saya.’’
Tentu,
paparnya, ‘’Saya tidak ingin terlibat di wilayah perseteruan antara Pemred Radar Bolmong dengan Katamsi Ginano.
Tapi kritikan pada pemberitaan yang setiap
kolomnya ditakar dan disesuaikan dengan fulus
si nara sumber, tentu benar-benar sangat menyedihkan. Radar Bolmong yang ketika terbit tempo hari begitu disegani dan
diperhitungkan, kini menjadi koran yang kehilangan roh. Sungguh menyedihkan dan
memalukan.’’
‘’Menurut hemat
saya, Pak Dahlan Iskan perlu melihat dan mengevaluasi pengelolaan manajemen
seluruh anak perusahaan JP agar koran dikembalikan pada hakikatnya, bukan sekadar
penyaji berita tapi menjadi alat kontrol,’’ tegas Sahrul.
Ya, Sahrul
Mamonto dengan tepat mewakili kata hati dan nestapa kebanyakan wartawan Radar Bolmong, yang sekali pun sudah
menyampaikan langsung ke saya, nama-nama mereka tidak dapat dipublikasi hingga
waktunya nanti. Saya membayangkan, alangkah lucunya bila DI diminta
mengakui ‘’Manufacturing Hope’’-nya diimani dan sukses diimplementasi di Radar
Bolmong menjadi ‘’manufacturing and hopeless’’. Koran ini adalah pabrik jorok (sweatshop) yang paripurna memproduksi dan
menjual keputus-asaan, harapan yang diamputasi, dan kesia-siaan.***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
bbi: Berita
Berbayar Iklan; bbm: Berita Berbayar
Koran; BMR: Bolaang Mongondow Raya; CMU: Carnegie Mellon University; curhat: Curahan Hati/Mencurahkan (Isi)
Hati; DI: Dahlan Iskan; dan JP: Jawa Pos.