TIGA situs berita
menurunkan berita gonjang-ganjing Pasar Serasi. Lintasbmr.Com, Sabtu, 26 Oktober 2013 menulis ‘’Ahli Waris Pasar’’ Bongkar Lapak Pedagang (http://lintasbmr.com/ahli-waris-pasar-bongkar-lapak-pedagang-demo-minta-aparat-kepolisian-segera-bertindak/),
Harian Komentar mempublikasi Sengketa Pasar Serasi Masuki Babak Baru
(http://www.harian-komentar.com/berita-daerah/totabuan/11500-sengketa-pasar-serasi-masuki-babak-baru.html),
dan Okemanado.Com memberitakan Sengketa Pasar Serasi Berlanjut (http://www.okemanado.com/baca/sengketa-pasar-serasi-berlanjut/).
Keriuhan sengkarut Pasar Serasi adalah salah satu warisan
pemerintahan mantan Walikota KK, Djelantik Mokodompit, yang diawali ide pemindahan
para pedagang ke Pasar Genggulang dan Poyowa Kecil demi rencana pendirian Pusat
Belanja Modern. Isu yang mengemuka di 2011 ini jadi bola liar karena penolakan
para pedagang; keberatan orang banyak terhadap rencana mendadak Walikota
membangun Pusat Belanja Modern; serta ada pula gugatan sejumlah orang yang
mengaku pewaris lahan Pasar Serasi.
Di blog itu,
terutama sepanjang 2011, beberapa kali saya menggelar pendapat terkait
kebijakan Pemkot KK terhadap Pasar Serasi. Dua aspek utama yang menjadi sorotan
saya. pertama, kelayakan Pasar
Genggulang dan Poyowa Kacil sebagai tempat relokasi pedagang dari Pasar Serasi;
dan kedua, rencana pendirian Pusat
Belanja Modern bekerjasama dengan investor, selain tidak pernah diketahui DPR,
juga belum masuk dalam RTRW KK.
Mana bisa Pemkot dan Walikota (ketika itu) dikritik? Pasar
Genggulang dan Poyowa Kecil yang dibangun seadanya, asal-asalan, dan tidak
dilengkapi infrastruktur memadai tetap dipaksa dioperasikan. Pemindahan pedagang
dilaksanakan dengan digegap-gempitai tarik-ulur dan bentrok massa dengan Satpol
PP. Akan halnya pembangunan Pusat Belanja Modern, DPR buru-buru dilibatkan dan
RTRW konon sudah memasukkan rencananya.
Kritik dan kritisasi saya terhadap isu Pasar Serasi memang
tidak pernah menyentuh turun gelanggannya orang-orang yang mengaku ahli waris
pemilik tanah. Isu penguasaan dan kepemilikan tanah, apalagi menyangkut hak
milik para pendahulu, tergolong sangat sensitif di Mongondow. Salah berkomentar
atau berpendapat, boleh jadi bukan hanya menyinggung orang-orang yang kini
menyebut dirinya ahli waris, tetapi berpotensi menyerempet ketenangan istirah orang-orangtua
yang telah berpulang. Ujung-ujungnya cuma meletupkan ketersinggungan tak perlu
yang menambah keruh permasalahan.
Tapi tampaknya benang kusut Pasar Serasi kini tak dapat
dilepaskan dari peran orang-orang yang mengaku ahli waris. Pemberitaan Lintasbmr.Com bahwa lapak para pedagang
yang tak mau membayar ‘’retribusi’’ Rp 6.000 pada ‘’para ahli waris’’ diobrak-abrik,
memaksa semua orang Mongondow waras dan peduli terhadap KK memberikan atensi.
Bukankah kota ini masih memiliki pemerintahan yang sah? Membiarkan aksi melawan
hukum di depan mata sama dengan mendudukkan sejumlah orang berada ‘’di atas
hukum’’.
Di sisi lain, pembaca Harian Komentar juga dapat menyimak MA sudah menurunkan putusan atas
perkara No 478/K/PDT/2012, tertanggal 21 Maret 2013, yang diklain oleh orang-orang
yang mengaku ahli waris pemilik tanah di mana Pasar Serasi berdiri,
Almarhum Balangket
Mokodompit, sebagai bukti Pemkot KK bukanlah pemilik sah lahan yang jadi
sengketa. Saya tidak tahu persis isi putusan MA, tetapi pernyataan Kabag Hukum
dan Organisasi Pemkot KK, Haris Podomi, SH, di dalam berita yang sama,
menunjukkan tafsir orang-orang yang mengaku sebagai ahli waris tidaklah tepat.
Menurut
Podomi, gugatan kepemilikan dan penguasaan lahan Pasar Serasi oleh mereka yang
mengaku ahli waris dilakukan lewat dua cara, yakni perdata (terkait
kepemilikan) dan Tata Usaha Negara (terkait proses administratif sertifikat
tanah). Di PN Kotamobagu dan PT Manado, gugatan perdata ditolak. Sedang putusan
yang dikantongi orang-orang yang mengaku ahli waris, jelas Haris sebagaimana
dikutip Harian Komentar, hanya soal
administratif dikeluarkanya sertikat. “Jadi tidak ada hubungannya dengan status
kepemilikan, karena dalam hal itu mereka tidak bisa menunjukan bukti lengkap,” tegasnya.
Mungkin karena tiga media yang mempublikasi isunya tak
jernih memapar pokok-soal gugat-menggugat lahan Pasar Serasi, saya agak pening menyimpulkan
subtansi yang dipertengkarkan antara yang mengaku ahli waris dan Pemkot KK.
Apakah yang disoal oleh mereka yang mengaku ahli waris adalah peruntukan
lahannya, sebagaimana yang diketahui umum ketika isu Pasar Serasi mengemuka?
Atau kepemilikan, yakni siapa pemilik sesungguhnya tanah tersebut, Pemkot KK
atau orang-orang yang mengaku ahli waris?
Agar tak memelihara pening, urusan kerumitan hukum kita
serahkan pada para ahlinya. Sebagai orang Mongondow yang warga KK, tanpa
bermaksud mengusik mereka yang mengaku ahli waris, saya ingin bertanya:
Benarkah kepemilikan dan penguasaan lahan Pasar Serasi itu memang masih menjadi
hak Almarhum Balangket Mokodompit, yang kemudian diwariskan pada anak-anaknya,
lalu oleh anak-anaknya diwariskan pada para cucu? Tidak pernahkah terjadi
pengalihan penguasaan dan kepemilikan antara Almarhum dengan (ketika itu)
Pemkab Bolmong, baik dalam bentuk hibah maupun jual beli?
Dua pertanyaan itu saling tarkait, sebab sepengetahuan saya,
sejak masa kanak Pasar Serasi sudah berdiri tanpa ada gugatan dan
silang-selisih. Masuk akalkah bila Pemkab Bolmong menguasai lahan tersebut
tanpa perjanjian dan kompensasi apa-apa lalu Almarhum Balangket dan
anak-anaknya tidak bereaksi keras? Yang lebih mengherankan, mengapa baru
generasi yang mengaku cucu-cucunya yang mengajukan gugatan, itu pun setelah ada
pemindahan para pedagang dan rencana pembangunan Pusat Belanja Modern di lahan
yang kini jadi sengketa?
Bila pertanyaan itu diperluas, apakah pengakuan sebagai ahli
waris didasarkan semata pada klaim karena hubungan darah (anak dari anaknya
Almarhum Balangket Mokodompit), atau sebab orang-orang yang kini mengajukan
gugatan memiliki bukti pewarisan? Kalau bukan surat waris, maka minimal
kesaksian yang dapat diuji kebenarannya, bahwa Almarhum mewariskan lahan
tersebut pada anak-anaknya, dan kemudian anak-anaknya mewariskan lagi pada para
cucu.
Sebagai orang Mongondow saya mengajukan
pertanyaan-pertanyaan itu dengan kesadaran: Milik orang-orang tua yang tidak
diwariskan secara langsung (sekadar penunjukkan lisan maupun dibuktikan dengan
dokumen), tidaklah menjadi hak anak-anak dan temurunnya. Diakui atau tidak, generasi
Mongondow masa kini masih tetap menjunjung dan menghormati rasa malu
mempertengkarkan milik orang-orangtua, terlebih bila mereka telah berpulang,
bila derajat keabsahan klaimnya meragukan.
Dengan niat baik saya ingin mengingatkan mereka yang kini
mengaku ahli waris lahan Pasar Serasi. Bahwa, tidak ada salahnya mengkaji dan
memikirkan kembali silang-sengkarut yang mereka picu, sebab bila akhirnya
terbukti lahan tersebut ternyata telah dihibahkan atau dijual oleh Almarhum
pada Pemkab Bolmong (dan kemudian dikuasai Pemkot KK), faktanya bakal jadi aib
yang mencoreng nama baik keluarga dan Almarhum Balangket Mokodompit.***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
DPR: Dewan
Perwakilan Rakyat; KK: Kota
Kotamobagu; MA: Mahkamah Agung; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; Pemkot: Pemerintah Kota; PN: Pengadilan Negeri; PT: Pengadilan Tinggi; PTUN: Pengadilan Tata Usaha Negara; RTRW: Rencana Tata Ruang Wilayah; dan Satpol PP: Satuan Polisi Pamong Praja.