SERIAL tulisan
yang dimulai dengan koreksi terhadap pemberitaan di Harian Radar Bolmong (‘’Storit’’,
‘’Storis’’, dan Sebagainya, Rabu, 2 Oktober 2013), memicu gelombang pro dan
kontra, terutama di kalangan jurnalis di BMR. Mereka yang sependapat, mengirim
pesan atau mengontak, umumnya menyampaikan isu yang saya kedepankan menjadi bahan
introspeksi dan pengingat kemuliaan pers sebagai ‘’pilar keempat demokrasi’’.
Mereka yang tidak sependapat, menganggap ketika mulai
mengungkap fakta-fakta internal pengelolaan news
room Radar Bolmong, saya terjebak emosi subyektif. Tidak lagi pada
kepentingan orang banyak, utamanya kontrol publik terhadap media yang mestinya
menghamba pada fakta, kebenaran, dan orang banyak; bukan semata mendulang keuntungan
ekonomi sebanyak-banyak dan sebesar-besarnya dengan segala cara dan siasat.
Pandangan seperti itu absah. Tetapi mari kita dadah apakah
isu kompetensi Pemred Radar Bolmong
dan manajemen redaksi media ini adalah wilayah yang tidak boleh dikritisi pihak
eksternal? Radar Bolmong adalah
bagian dari Grup MP. Harian MP sebagai induk jaringan media dan penerbitan grup
ini diketahui menjadi koran pertama (dan satu-satunya) di Sulut yang dengan
sukarela membentuk Ombudsman, yang beranggota tiga tokoh kredibel, Max Rembang
(Ketua), Ais Kai, dan Hinca Pandjaitan.
Belakangan tatkala MP terus berkembang dan menggurita, saya
tidak mendengar lagi nasib Ombudsman itu. Apakah lembaga ini masih hidup,
diam-diam telah dimatikan, atau memang tak diperlukan lagi, sebab masyarakat
sudah tak punya keluhan apa-apa; masyarakat bosan mengeluh; atau orang banyak
telah tak peduli karena keluhannya tinggal menjadi keluhan. Yang terburuk,
Ombudsman tidak diberi ruang mendengar dan didengar karena mereka cuma menjadi kebisingan
dan gangguan bagi keleluasaan manuver redaksi.
Kemana masyarakat menyampaikan keluhannya? Keluhan ini tidak
berarti berkaitan dengan isi pemberitaan semata, tetapi katakanlah praktek
jurnalistik yang melanggar kepatutan, yang belum tentu masuk ranah etika?
Pewajiban cash in pada para wartawan,
misalnya, apakah pelanggaran kepatutan atau etika? Dua-dua mungkin, tetapi juga
tidak.
Pewajiban cash in
melanggar kepatutan kalau itu menjadi tugas utama dan diutamakan, serta
dikaitkan dengan kelayakan sebuah berita. Melanggar etika kalau untuk memenuhi cash in wartawan menyalahgunakan
profesinya, misalnya dengan menekan dan memeras sumber berita. Pelanggaran ini
sesuai dengan batasan yang dicantumkan Pasal 6 KEJ, bahwa, ‘’Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan
profesi dan tidak menerima suap.’’
Celakanya, media-media di Sulut, khususnya yang terbit di
tingkat kabupaten atau kota di luar Manado, belakangan menjadi sangat dominan
dan mendominasi. Faktor utamanya karena media yang bersangkutan menjadi bagian dari
satu jaringan besar serta didukung kekuatan kapital besar. Radar Bolmong adalah contoh idealnya. Itu sebabnya, tidak
memerlukan waktu lama koran ini menjadi rujukan dan pengendali isu di wilayah
Mongondow. Hitam kata Radar Bolmong,
hitam pula yang ada di benak publik. Sebaliknya, putih menurut Radar Bolmong, walau faktanya hitam,
orang banyak tak punya cukup daya untuk mengoreksi.
Dominasi itu, saya cermati, membuat seluruh standar-standar
dan praktek baku jurnalistik kehilangan tempat. Kebijakan ‘’bbi’’ dan ‘’bbk’’
yang dimotori Pemred (tentu atas restu manajemen), menempatkan jumlah uang
sebagai panglima dari setiap berita dan tulisan yang dipublikasi. Hak jawab pun
tidak lagi diperlukan, sebab bila Anda keberatan, pasang ‘’bbi’’ atau ‘’bbk’’.
Anda ingin mejeng atau menyampaikan
pendapat, mari ber-‘’bbi’’ dan ber-‘’bbk’’. Akan halnya hak koreksi, lebih
paria lagi.
Terus-terang, saya yakin Pemred Radar Bolmong, Meneer
Budi Siswanto, tidak paham apa itu ‘’hak jawab’’ dan ‘’hak koreksi’’. Sebagai
pemasar koran dan penjual berita, bagi dia hak jawab adalah ‘’bbi’’ dan
‘’bbk’’. Kasus selesai, rekening bertambah. Bagaimana dengan hak koreksi? Koreksi
dan kritik terhadap dan pemberitaan Radar
Bolmong yang dia respons dengan penghinaan pada nama kakek buyut dan marga
saya, Ginano menjadi Gilano; instruksi black
list; wartawan di koran ini dilarang berhubungan dengan saya; dan haram
membuka Kronik Mongondow, adalah
fakta manajemen memang keliru memilih orang nomor satu di redaksinya.
Begitulah jadinya kalau mendudukkan pedagang mengurusi
pekerjaan yang memerlukan pengetahuan, kecerdasan, pengalaman, keterlatihan
khusus, dan kematangan emosi. Pemred adalah representasi gengsi media. Semakin
berkualitas tulisan, kebijakan, keputusan, dan arahan seorang Pemred, kian
berkelas media bersangkutan. Saya belum pernah membaca tulisan Budi Siswanto.
Namun dari dokumen-dokumen yang saya miliki, para jurnalis Radar Bolmong harus mengusap dada karena bahasa dan tanda bacanya
betul-betul amburadul. Itu baru bahasa dan tanda baca, belum caci maki,
ancaman, dan bahasa barbar (tertulis) yang dia tujukan pada jajaran redaksi.
Kembali pada hak jawab dan hak koreksi. UU No 40 Tahun
1999 Tentang Pers, Pasal 1, Ayat 11, mendefinisikan, ‘’Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk
memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang
merugikan nama baiknya’’; Ayat 12, ‘’Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk
mengoreksi atau memberitahukan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers,
baik tentang dirinya maupun tentang orang lain’’; dan Ayat 13, ‘’Kewajiban
Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi,
data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh
pers yang bersangkutan.’’
Tiga
Ayat di Pasal 1 itu ditegaskan di Pasal 5, Ayat (2), ‘’Pers wajib melayani Hak Jawab’’ dan Ayat
(3) ‘’Pers wajib melayani Hak Koreksi.’’ Lebih
jauh, UU ini menjabarkan bagaimana hak koreksi itu dilaksanakan lewat Pasal 17,
Ayat (1), ‘’Masyarakat dapat
melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak
memperoleh informasi yang diperlukan’’ serta Ayat (2), ‘’Kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa: a. memantau
dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, etika, dan kekeliruan
teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers; b. menyampaikan usulan dan saran
kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional.’’
Pasal-pasal dan ayat-ayat UU No 4/1999 itu telah menjawab
apakah kritik dan koreksi saya terhadap tulisan, pemberitaan, kebijakan, dan
praktek keredaksian (termasuk kedunguan Pemrednya) di Radar Bolmong, tidaklah didasari sentimen kekanak-kanakkan yang
tidak terkait dengan kepentingan publik. Kalau kemudian titik berat sorotan
saya setelah tulisan ini ditujukan khusus pada kebijakan, kompetensi, dan
perilaku Pemrednya, karena pada dialah apa yang diproduksi media dan dikonsumsi
pembacanya bertumpu.
Lain soal kalau Radar
Bolmong adalah warung atau tempat ngopi-ngopi. Bila yang saya cecap
ternyata kopi sengit dan panganan yang bikin mual, yang mesti bertanggungjawab
dan patut ditojor adalah tukang bikin kopi dan tukang masak atau kepala koki. Meneer Pemred, pelajaran UU Tentang
Pers, hak jawab, dan hak koreksi saya akhiri. Masih panjang perjalan yang akan
kita lalui.***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
bbi: Berita Berbayar Iklan; bbk: Berita Berbayar Koran; BMR: Bolaang
Mongondow Raya; KEJ: Kode Etik
Jurnalistik; MP: Manado Post; Ombudsman: Pejabat atau badan yang
bertugas menyelidiki berbagai keluhan masyarakat; Sulut: Sulawesi Utara; dan UU:
Undang-undang.