Jurnalisme,
jurnalistik, dan jurnalis bergulir menjadi diskusi yang belum usai di beberapa
kalangan, khususnya pewarta di BMR, sejak blog mengedepankan isu Radar Bolmong
dan induknya, Grup MP. Penulis tamu, Chendry Mokoginta, yang sebelumnya sudah turut memeriahkan lalu lintas ide terkait isu
itu, kembali menulis untuk pembaca.
Oleh Chendry
Mokoginta
DI PENGUJUNG 2012
lalu, saya pernah menghadiri sebuah kajian yang membahas tentang perkara
syariat yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW oleh guru kami (sebutan afdolnya
adalah Ustadz dan ‘’kami’’ karena yang hadir di majelis kala itu tidak saya
sendiri), Abu Qotadah. Di hadapan majelis Ustadz membawa muqadimah dengan
menyebutkan sebuah hadist yang dalam bahasa Indonesia kurang lebih seperti ini:
‘’Setiap bid'ah itu sesat dan setiap kesesatan (alamatnya) di neraka.’’
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan menulis: ‘’Bid'ah
menurut bahasa diambil dari kata bida’,
yakni mengadakan sesuatu tanpa ada contoh.’’ Saya sendiri cenderung mengartikan
kata bid'ah sebagai modifikasi
syariat, jauh meninggalkan standar yang dijabarkan dalam tuntunan kitab
suci serta panduan turunannya (hadist serta ijma ulama).
Penjelasan singkat perihal bid'ah saya sudahi saja. Terlalu
sensitif rasanya saya mengusik perkara syariat meski dengan modal referensi
kuat. Toh, kebanyakan orang juga tahu
saya bukanlah seorang ustadz yang sering nongol di televisi dan biasanya
menjadi idola pemirsa.
Halnya pengutipan firman sebagaimana BC yang beredar yang
disebut-sebut hasil ketikan Korlip MP, Idham Malewa, bukanlah masalah serius.
Ini justru cara bijak memberi peringatan kepada saudara sendiri yang berlaku
salah, entah akibat lupa atau kesengajaan. Cara ini pasti diimpikan teraplikasi
dalam bentuk yang lebih kompleks. BC Idham inilah yang kemudian menjadi
inspirasi Bang Tamsi melahirkan tulisannya (yang tak pernah melepas ciri
khasnya: kritis, mudah dipahami dan kental dengan loleke. Saya menyebutnya sebagai ahli loleke) dengan judul Grup MP:
Begitu Induk, Demikian Anak (1) dan (2)).
Damai rasanya jika dalam tiap dialog ada kata-kata mulia
yang didengungkan. Tidak dengan meneriakkan kata-kata kasar, rasis, tidak etis,
merusak tatanan, serta berpotensi mengantar pengucapnya ke penjara. Saya
membayangkan jika ada pemimpin memberi teguran kepada anak buahnya dengan cara
yang halus namun tetap diperhatikan. Contoh kasus: disaat seorang pewarta
sedang kesulitan menyetor biaya advertorial
yang belum terbayar lantas diberi teguran dengan mengutip semisal firman
berikut: ‘’Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba'.’’
Tanpa penjelasan terperinci lagi, saya sudah memahami jika
tak perlu mencari rentenir untuk menutupi setoran advertorial yang belum dibayarkan pengorder. Bukankah Pemberi
pinjaman dan peminjam sama-sama terkena peringatan tersebut: riba'.
Bentuk komunikasi semacam itu yang perlahan hilang dan jauh.
Tekanan pekerjaan merubah situasi menjadi ekstreem dan mengabaikan nilai-nilai
luhur yang sebenarnya efektif diterapkan. Contoh lainnya, saat mendelegasikan
seseorang untuk memimpin divisi tertentu di sebuah perusahan lantas menuruti
kalimat berikut: ‘’Setiap perkara yang diserahkan kepada yang bukan
ahlinya hasilnya adalah kehancuran.’’
Halnya agama yang memiliki tuntunan, maka jurnalis punya
kitab sucinya sendiri (Ahmad Alheid telah menyentilnya lebih dulu): UU No
40/1999 Tentang Pers dan KEJ sebagai sandaran syariat. Lebih dari itu, ada pula
aturan khusus perusahan penerbitan yang mengikat pewartanya. Kita katakan saja
aturan ini sebagai ‘’ijma'’’. Selama jurnalis menjadikan tuntunan tersebut
sebagai ruh profesinya, inilah ‘’jurnalisme sunnah’’. Lantas yang bid'ah? Tak
perlu mengerutkan dahi mencari jawabnya. Mudah saja, yaitu yang
mengangkangi UU Pers dan KEJ. Bentuknya bisa berupa pemberlakuan sistem
kerja yang benar-benar melenceng dari fungsi pers sebagaimana amanat UU tadi.
Aplikasi UU Pers serta KEJ, sudah dipapar panjang kali lebar
oleh pemilik blog ini, Bang Tamsi.
Pun (dugaan) adanya perusahan yang menabrak aturan tersebut atau memang bid'ah
menjalankan syariat pers, telah diumbar "ahlul silat" di
tulisan-tulisannya sebelumnya.
Saya kurang percaya diri jika menjabarkan kembali persoalan
ini (karena akan terkesan menggurui). Selain tak cukup kompetensi, pengalaman
terbatas, saya pun bukan apa-apa di tempat saya bekerja. Banyak yang lebih
mumpuni menjawab beragam dinamika yang kian mengemuka ini. Tak hanya di Radar Bolmong atau grup MP. Namun saya
menaruh harap, ada cara-cara bijak yang bisa diterapkan nanti. Jika banyak hal
yang sudah melenceng dan telah diingatkan agar disesuaikan, maka perubahan
penting segera dilaksanakan. Sebagai jurnalis, lirik lagi panduan tadi. Agar
terbebas dari predikat ‘’Jurnalisme Bid'ah’’.
Bang Tamsi, sebelum tulisan ini makin nyeleneh mending saya
sudahi saja. Banyak berbusa-busa juga tak akan memberi faedah berarti bagi saya
di blog ini, kecuali kepada mereka
yang memanfaatkan fungsi otak sebagaimana mestinya. Saya juga masih kuatir
dengan sikap kritis dan loleke Anda
yang bakal balik menyerang ketika saya mulai ngawur menulis.
Sebab, jika setingkat Pemred saja Anda juluki
sebagai pomponu dan kelas teri.
Apalagi sekelas saya sebagai pewarta pemula (masih dalam hukuman non aktif di Radar Bolmong), bakal tak akan lebih
terhormat dari gonone.***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
BC: Broadcast; BMR: Bolaang Mongondow Raya; KEJ: Kode Etik Jurnalistik; Korlip: Koordinator Liputan; MP: Manado Post; dan UU: Undang-undang.