ASTAGA! Kopi yang
sedang saya sesap, Selasa pagi (22 Oktober 2013), nyaris melumeri pangkuan
ketika membuka gambar yang dikirim salah seorang kawan dari Kotamobagu.
Pemandangan yang tersaji memantik syok: Empat rangkaian gambar, masing-masing
dua memperlihatkan seorang wanita tanpa busana dengan buah dada menggantung
mencolok; satu gambar sang wanita tengah berciuman dengan seorang pria; dan
gambar terakhir memperlihatkan wajah pasangan ini sedang menghadap kamera.
Gambar-gambar itu tidak berasal dari situs porno, selebaran
esek-esek, atau majalah syur terbitan luar negeri. Materi konsumsi dewasa ini
dipajang sebagai foto utama halaman depan Harian Radar Bolmong bersama headline
Foto Mesum PNS Bolmong Beredar serta
dua berita pendamping, Sanksi Adat
Dilempar ke Laut dan Wabup Usul
Dipecat. Tanpa pikir panjang saya membalas kiriman gambar itu dengan
komentar, ‘’Bahkan Majalah Playboy
pun tak bakal menampilkan foto telanjang frontal seperti itu di halaman
depannya.’’
Radar Bolmong
memang mengaburkan (blurring)
foto-foto oknum terduga pelaku asusila itu. Namun pengaburan yang dilakukan
gagal menjadikan pose-pose di ruang sangat pribadi tersebut sekadar ilustrasi.
Koran ini boleh dibilang mengumumkan: ‘’Inilah dua pelaku cabul yang narsis
memotret keintiman mereka di bilik tertutup! Silahkan pembaca mengenali dan
mencari tahu siapa mereka!’’
Untuk beberapa saat saya bertanya-tanya: Apa maunya Radar Bolmong dengan umbaran foto-foto
mengguncang seperti itu? Upaya menaikkan oplah dengan berita dan gambar-gambar
sensasional dan murahan; atau pengabsahan bahwa redaksinya memang dikelola para
amatir bodoh yang kehilangan akal sehat jurnalistiknya?
Tak berselisih lama, BB saya dibanjiri BBM berisi gambar serupa
dengan aneka komentar dan pertanyaan. Pembaca, saya sependapat media yang mengklaim
‘’No. 1 di Bolmong Raya’’ ini mestinya bukanlah jenis terbitan yang
mempraktekkan ‘’jurnalisme selera rendah’’ sebagaimana yang dirumuskan dua pakar
komunikasi penulis Mass Communication Theory: Foundations, Ferment, and
Future (2006), Stanley J Baran dan Danis K Davis. Karenanya, adalah skandal
yang lain ketika koran ini memutuskan memajang (khususnya) foto-foto cabul dan
asusila itu.
Dari pendekatan jurnalistik, ada dua cara menelaah headline,
berita pendamping, dan foto utama Radar Bolmong yang kini jadi sorotan
panas di Mongondow. Pertama, sebagai sebuah peristiwa, isu asusila
pasangan yang disebut-sebut sebagai oknum PNS dan pegawai honor di Pemkab
Bolmong itu cukup menarik tetapi jauh dari layak dipilih jadi sajian utama.
Salah satu kriteria memilih berita utama yang umum dipraktekkan media yang
bertanggungjawab dan kredibel adalah, isunya sedapat mungkin berkaitan langsung
dengan kepentingan orang banyak.
Di manakah kepentingan itu? Apakah isu moralitas PNS, pragmatisme dan
longgarnya norma dan disiplin di kalangan birokrat, karena skandal mereka
berdua telah mengganggu kinerjanya sebagai pelayan publik, atau sebab
keberadaban dan susila masyarakat tercoreng? Kalau jawaban terhadap pertanyaan
itu adalah ‘’ya’’; bagaimana dengan pelaku korupsi, komplotan maling yang sudah
menilep puluhan sepeda motor, atau anggota DPR yang berombongan menjarah uang
rakyat? Bukankah mereka lebih pantas dijadikan berita utama lengkap dengan
foto, ketimbang kelakuan mesum dua oknum birokrat yang kebablasan berakting bak
bintang porno, lalu entah dengan cara apa aksi mereka tersebar hingga
mengundang perhatian media.
Lain halnya bila Radar Bolmong adalah koran kuning yang berliur
dan berlendir-lendir, yang memang gemar menjadikan skandal, khususnya di tempat
tidur dan ruang pribadi, sebagai menu utamanya. Taruh kata demikian adanya,
tetap saja dituntut kriteria ketat yang memagari sehingga tulisan atau berita
yang dipublikasi tidak menjadi provokasi syawat publik, tetapi fakta sebuah
peristiwa yang menjadi kepentingan dan layak diketahui orang banyak. Kendati
kepentingan terbesar publik yang dimaksud sekadar tersedianya bahan yang gurih
digosip dan dipergunjingkan.
Kian dicermati dan didalami, saya bersyak Radar Bolmong mengangkat
skandal dua pasang oknum birokrat karena mereka tidak lagi menggunakan
pertimbangan profesional, rasional, etis, serta kepantasan norma sosial dan
budaya; melainkan imajinasi mesumnya sendiri. Bahwa redaksi koran ini telah menjatuhkan
vonis melampaui fakta-fakta yang berhasil dikumpulkan pewartanya.
Prasangka itu dipertegas pemilihan judul yang bombastis, Foto Mesum PNS Bolmong Beredar. Siapa
pakar atau otoritas berwenang yang telah memastikan pasangan sial itu adalah
PNS Pemkab Bolmong? Apakah benar mereka memang berpose-pose mesum, bukan hasil
olah digital yang kini mudah dilakukan bahkan oleh bocah SD?
Di lain pihak, menurut hemat saya, koran ini memperlakukan isu itu
terlalu istimewa dengan menambah dua angle. Angle bertajuk Wabup Usul Dipecat masih dapat diterima
sebagai bentuk konfirmasi otoritas yang bertanggungjawab terhadap
profesionalisme, kapasitas, kapabilitas, norma, dan etika kalangan birokrat. Walau,
semestinya dia cukup menjadi sub judul dari berita induk.
Sebaliknya, berita Sanksi
Adat Dilempar ke Laut sudah pasti kerja acak-acakan wartawan yang tidak
memiliki frame isu yang jelas. Apa
dasar tiba-tiba urusan asusila yang entah dilakukan di mana harus disanksi
adat? Siapa ahli hukum adat yang dikutip? Dan adat mana yang dirujuk? Menjengkelkan
betul membaca koran dengan berita yang menghina kecerdasan dan pengetahuan
pembacanya. Mengutip nara sumber ngawur hanya dilakukan oleh jurnalis yang sama
mabuknya.
Tegasnya, dari aspek kepantasan dan praktek jurnalistik profesional lembaga
berita yang kredibel, skandal beredarnya foto dua oknum birokrat di Pemkab
Bolmong memang layak diberitakan, tetapi tidak dengan porsi besar, apalagi headline.
Kedua, cara
pandang dan penilaian terhadap putusan redaksi Radar Bolmong menjadikan empat frame
gambar oknum yang diduga asusila itu sebagai foto utama di halaman depan setidaknya
dapat ditilik dari dua aspek: UU No 40/1999 Tentang Pers dan KEJ, mengingat
terbitan ini adalah media publik yang terikat dan tunduk pada aturan dan etika
jurnalistik; serta KUHP, etika, norma, dan konvensi-konvensi sosial-budaya
masyarakat konsumennya.
Pasal 5, Ayat 1, UU No 40/1999 menyebutkan, ‘’Pers nasional berkewajiban memberitakan
peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan
masyarakat serta asas praduga tak bersalah.’’ Pelanggaran terhadap pasal dan
ayat itu, menurut Pasal 18, Ayat 2, ‘’Perusahaan pers yang melanggar
ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana
denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).’’
Pembaca, melihat foto-foto yang dipajang, bahkan seorang atheis pun saya kira bakal sependapat Radar Bolmong memang melecehkan
norma-norma keagamaan yang dianut pembacanya dan masyarakat Mongondow umumnya.
Dan hanya orang gila atau pencabul dan asusilais yang menolak penilaian bahwa
gambar-gambar itu sangat melukai kesusilaan masyarakat. ***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
BB: BlackBerry; BBM: BlackBerry Messenger; Bolmong: Bolaang Mongondow; KEJ: Kode Etik Jurnalistik; KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
Pemkab: Pemerintah Kabupaten; PNS: Pegawai Negeri Sipil; SD: Sekolah Dasar; UU: Undang-undang; dan Wabup:
Wakil Bupati.