SAHIHKAH
informasi praktek premanisme Pemred Radar
Bolmong seperti yang saya tuliskan itu? Ada penjelasan dari beberapa orang
(bukan hanya salah seorang) yang ‘’membangkang’’ dari instruksi memutuskan
hubungan dengan saya, bahwa praktek dan terjemahan cash in tidaklah seperti yang saya pahami dan beberkan.
Yang sebenarnya, ungkap sumber (frasa ‘’ungkap sumber’’ ini
telah jadi kata sakti di kalangan media di Sulut sebagai pengganti pengertian
‘’sebenarnya tak ada sumber yang diwawancarai’’) itu, karena kekurangan SDM
maka wartawan di biro-biro diberi kewenangan menjadi perpanjangan tangan
perusahaan. Akan halnya wartawan yang diiklankan harus menyelesaikan piutang, karena
mereka terlanjur menggunakan dana tagihan iklan atau advertorial demi kepentingannya sendiri.
Mari kita uji kebenaran penjelasan itu. Apakah kewajiban cash in hanya melekat pada biro-biro,
tidak untuk para wartawan di wilayah Kotamobagu di mana Radar Bolmong berkantor pusat? Bukankah di Kotamobagu ada bagian
iklan yang langsung dapat berhubungan dengan semua pengguna jasa komunikasi
koran ini? Faktanya tidak demikian. Seluruh wartawan, kecuali Pemred, wajib
memikul cash in ke mana pun dia
pergi, dengan jumlah sesuai kasta dan jabatan. Mereka yang ada di biro yang
paling bongkok karena wajib menyetor sekitar Rp 30 juta setiap bulan. Yang
lain, bervariasi, minimum Rp 5-10 juta per bulan untuk reporter dan fotografer
serta pos liputan dan redaktur Rp 10-15 juta per bulan.
Koreksi terhadap pengertian cash in yang melawan fakta itu, tentu menggugurkan pula penjelasan
yang lain. Terlebih, bukti-bukti yang saya dapatkan menguatkan bahwa kewajiban tersebut
ditegakkan dengan tangan besi, termasuk SMS atau BBM dari Pemred yang
mempersilahkan siapapun yang tidak mampu menyetor cash in untuk angkat kaki saja.
Waduh, Radar Bolmong
ini masih kantor media atau sudah bersulih jadi koperasi jadi-jadian dan
perusahaan investasi bodong yang menipu anggotanya ratusan miliar hingga
triliunan? Yang tokoh-tokohnya gendut dan makmur sementara para anggota nyaris
jadi gila memikirkan dan memperjuangkan duitnya yang raib entah kemana.
Mohon maaf pemegang saham, direksi, jajaran manajemen, dan redaksi
Radar Bolmong, bila saya terpaksa
menyatakan membuka counter pulsa
telepon lebih terhormat dan fair
ketimbang menjadi wartawan di media Anda. Berdagang pulsa telepon, apalagi
elektronik, hanya memerlukan modal secukupnya dan kegigihan bekerja. Dari
setiap nilai tertentu pulsa yang terjual, ada yang wajib disetorkan ke provider dan selebihnya menjadi keuntungan
yang halal. Tidak perlu tanda pengenal gagah seperti ‘’kartu pers’’, standar
pengetahuan dan ketrampilan tertentu, dan yang terpenting merdeka dari
keterhinaan.
Logika jurnalisme apa yang digunakan untuk mewajibkan
seorang wartawan, hanya dengan berbekal kartu pers, mesti memburu dan menulis
berita sekaligus menjadi mesin pengumpul uang untuk media tempat bekerjanya. Berapa
salary dan benefit apa saja yang diterima hingga sukarela menghamba dan menggadaikan
profesi yang begitu mulia ini? Fasilitas apa pula yang diberikan agar kerja
rodi ini sukses? Maaf (sekali lagi dengan penuh hormat), kawan-kawan pewarta di
Radar Bolmong, Pemred Anda memang pomponu, tetapi kalian lebih trenginas
lagi levelnya.
Bagaimana Anda tetap tegak menghadapi sumber berita yang
diam-diam di belakang punggung merepet, ‘’Dorang
so bukang cari berita, tapi ba kumpul doi.’’ Nara sumber yang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan sembari menghitung-hitung berapa dana ‘’bbi’’ atau ‘’bbk’’ yang harus
dikeluarkan dari setiap kalimat yang dikutip. Serta, yang terpenting, sampai
berapa lamakah Anda, sebagai jurnalis, mampu membohongi nurani serta bersiasat
mengulur waktu dari rongrongan rentenir, tempat meminjam dana menurupi
kewajiban cash in, karena pencairan
biaya iklan atau advertorial dari
Pemkab terlambat sebagaimana khas birokrasi Indonesia bekerja?
Praktek jurnalisme dagang berita yang dimotori Budi
Siswanto, saya pastikan adalah perbuatan kejahatan terhadap kewarasan publik.
Juga penghinaan terhadap kemuliaan media dan profesi kewartaan. Kejahatan dan
penghinaan itu bahkan lebih buruk dari yang dipraktekkan oleh rezim Uni Sovyet
dengan Gulag-nya, yang belakangan menjadi istilah dan kerap dilekatkan pada
institusi-institusi yang memperlakukan manusia dengan kekejaman setara perilaku
hewan pemangsa.
Gulag adalah riwayat tentang satu insitusi birokrasi di
zaman Uni Sovyet, Glavnoe
Upravlenie ispravitel’no-trudovykh LAGerei atau Administrasi Utama Kamp Kerja
Kolektif (yang kemudian disingkat Gulag). Kantor ini berwenang dan
bertanggungjawab terhadap kamp kerja paksa di seluruh wilayah Uni Sovyet,
tempat di mana tahanan politik dan para pembangkang terhadap ideologi negara,
dipekerjakan melewati kondisi yang mampu dipikul tubuh dan pikiran manusia.
Kamp yang
dioperasikan Gulag, tulis Gulag History
(www.gulaghistory.org) yang didedikasikan Center for History and New Media, George
Mason University, untuk isu ini, ada di seluruh Uni Soviet, tetapi yang
terbesar terletak di wilayah geografis dan iklim yang paling ekstrim, dari
utara Arktik ke Siberia Timur dan Selatan Asia Tengah. Menjadi tahanan di
kamp-kamp Gulag berarti terlibat di berbagai kegiatan ekonomi yang tidak
memerlukan keterampilan, manual, dan sangat tidak efisien. Kombinasi dari
keadaan itu, yang meliputi kekerasan endemik, iklim yang ekstrim, kerja keras, kekurangan
makanan, dan kondisi tidak sehat, menyebabkan angka kematian yang sangat tinggi
di antara para pesakitannya.
Kekejaman
Gulag terungkap dan membuka mata dunia ketika penulis peraih Nobel Sastra 1970,
Aleksandr
Isayevich Solzhenitsyn, mempublikasi The Gulag Archipelago (1973–1978). Terdiri dari tiga volume,
karya yang sangat mengguncang ini mengubah Gulag dari nama organisasi birokrasi
menjadi kata yang identik dengan kekejaman dan kebiadaban.
Setelah
kematian Stalin pada 1953, Gulag secara radikal mengurangi kamp dan tahanan
yang dikerja-paksakan. Namun institusi ini dan fasilitas-fasilitasnya masih
dipelihara dan baru berakhir saat Michail Gorbachev naik ke tampuk
pemerintahan, memaklumatkan perestroika
dan glasnost, dan mengakhiri era Uni
Sovyet yang kini terbagi menjadi puluhan negara yang berdiri sendiri. Tapi
Rusia –induk dari Uni Sovyet— belajar dari masa lalu agar tak mengulang
ketidak-beradaban yang pernah dipratekkan. Sejak 2009, The Gulag Archipelago menjadi bacaan wajib pelajar sekolah menengah
atas di negeri ini.
Para
jurnalis di Radar Bolmong bukanlah
tahanan politik atau pembangkang ideologi negara dan media ini juga masih
berada di wilayah RI yang Pancasilais. Kalau mereka bersedia diperlakukan lebih
buruk dari pesakitan Gulag, saya hanya bisa bersimpati. Itu urusan rumah tangga
Radar Bolmong, termasuk Pemred-nya
yang karena cuma mampu mengurusi pemasaran koran, tentu belum pernah tahu apa
itu Gulag, kekejam, dan kebiadaban yang menyertainya.
Urusan
saya, sebagaimana pembaca yang lain, adalah media dan para pewartanya bekerja
independen, profesional, kompeten, kredibel, dan etis, hingga apa yang ditulis
dan disajikan adalah fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawaban. Kalau toh ada media yang memang memilih
menjadi koran ‘’bbi’’ dan ‘’bbk’’, saya yakin pembaca juga tidak keberatan.
Tapi demi etika dan transparansi (yang selalu gigih dijadikan senjata oleh para
wartawan dalam melaksanakan tugasnya), maka umumkan secara terbuka: ‘’Koran ini
adalah media ‘bbi’ dan ‘bbk’. Harap dimaklumi dan dimengerti.’’
Di luar
itu, bagi saya pribadi, ada urusan lain yang berada di atas segala kepentingan,
yakni terus memburu penista nama kakek buyut sampai kemana pun.***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
bbi: berita bayar
iklan; bbk: berita bayar koran; BBM: BlackBerry Messenger; Pemred: Pemimpin Redaksi; RI: Republik Indonesia; SDM: Sumber Daya Manusia; dan SMS: Short Message.