DUKA itu
dikabarkan Kamis siang, 24 Oktober 2013, oleh salah seorang kawan, Tauffan
Damopolii. ‘’Haji JA Damopolii –atau dikenal akrab dengan sapaan Tete
Geri—dipanggil Sang Khalik,’’ tulisnya di BBM yang saya terima. Mantan Bupati
Bolmong 1981-1991 ini menghembuskan nafas terakhir sekitar pukul 12.00 Wita di
RS Advent Manado.
Beberapa jenak saya membayangkan Almarhum Jambat Arsyad
Damopolii, mendoakan Beliau serta keluarga yang ditinggalkan. Kepergiannya adalah
kehilangan besar bagi Mongondow dan warganya, yang disaat yang sama sedang
bunggah setelah DPR RI memutuskan proses Provinsi BMR akan dilanjutkan ke tahap
berikut sebelum dimaktubkan dalam UU DOB.
JA Damopolii adalah salah seorang tokoh yang mesti diakui
memberi banyak sumbangsih terhadap Mongondow, bahkan Sulut, terutama selama
menduduki jabatan Bupati. Ayah lima orang anak dan kakek 15 cucu kelahiran
Motoboi Kecil, 25 Juli 1937, ini juga yang mulai mencetuskan pemekaran Bolmong
dengan ide menjadikan Kotamobagu sebagai Kota Administratif pada 1986.
Jejak-jejaknya bertebaran di Mongondow. Seingat saya di periode
kepemimpinan JA Damopolii-lah pembangunan Mesjid Raya Baitul makmur berhasil
dirampungkan, setelah bertahun-tahun terbengkalai sejak dirintis oleh Bupati Oe
N Mokoagow. MBRM hanyalah salah satu tapak besar kepemimpinan JA Damopolii,
yang sedihnya diruntuhkan ketika Djelantik Mokodompit menduduki kursi Walikota
KK. Kini, di saat kita berduka dan menderaskan doa untuk Almarhum, MBRM versi
baru masih berupa kolom, balok-balok beton, dan sebagian diding bata yang
sedang dinaikkan.
Namun saya tak hendak menulis prestasi dan puja-puji perihal
mantan Bupati, birokrat handal, politikus yang pernah menjadi Ketua DPW PAN
Sulut yang secara pribadi saya sapa ‘’Om Jambat’’ ini. Saya hanya ingin menulis
persentuhan-persentuhan personal dengan seorang manusia, orang Mongondow, dan
orangtua, terutama di paruh masa remaja dan sebelum saya terlampau sibuk
bekerja di luar Sulut hingga sekitar delapan tahun silam.
Nama Om Jambat tidaklah asing di kuping saya di awal usia
belasan. Motoboi Kecil di mana dia kerap disebut-sebut penuh respek dan bangga adalah
tempat saya berkeliaran usai jam sekolah. Di sekitar rumah tua berhalaman luas
di ruas jalan ke arah Pobundayan yang ‘’katanya’’ menjadi kediaman keluarga besar
Damopolii, bermukim banyak kerabat dari Nenek pihak ayah. Ke sanalah saya sering
menyalurkan energi berlebih remaja tanggung, mondar-mandir menunggang sepeda
dengan kecepatan yang mengundang teriakan orang-orang tua yang melihat.
Tapi JA Damopolii baru menjadi perhatian saya beberapa pekan
sebelum dia dilantik menjadi Bupati Bolmong. Saya masih ingat, ketika itu dalam
perjalanan –dengan berjalan kaki dari jalan Amal-- ke sekolah di SMP Negeri 1
Kotamobagu, menjelang Bioskop Totabuan (kini Paris Supermarket), berserak
selebaran yang mengundang keingintahuan. Saya memungut salah satu selebaran itu
dan membaca isinya yang aduhai penuh tuduhan negatif terhadap JA Damopolii.
Selebaran itu menjadi persentuhan nyata pertama saya dengan politicking, provokasi, dan agitasi (dua
yang terakhir saya pelajari dengan serius ketika di PT). Toh Om Jambat tetap dilantik sebagai Bupati hingga dua kali masa
jabatan dengan banyak terobosan yang umumnya kini masih kita sua. Kantor Bupati
Bolmong di Kotabagon, rumah Dinas Bupati di Bukit Ilongkow, RSI Moonow, Pasar
Serasi, Universitas Dumoga Kotamobagu, dan Gelora Ambang. Seiring usia Om
Jambat yang menua, sebagian fasilitas-fasilitas publik itu juga renta dan tak
terurus di bawah kepemimpinan para penerusnya.
Waktu berjalan hingga saya menginjak bangku SMA, terlibat
banyak aktivitas sembari berjarak dengan pikuk politik dan birokrasi. Di
tahun-tahun awal SMA pula saya mengenal salah satu putri Om Jambat, Indri
Damopolii, di Festival Kesenian Pelajar yang dihelat di Manado. Saya hadir
sebagai salah satu wakil Bolmong, Indri tampil mewakili Kota Manado. Itu pun
sebatas membathin, ‘’O, rupanya inilah putri Bupati Bolmong.’’
Di masa SMA pula untuk pertama kali saya berhadapan langsung
dengan Om Jambat ketika dipilih sebagai wakil Bolmong untuk turne ke Jakarta, termasuk mengagumi
produksi dalam negeri di PPI. Saya bersama beberapa pelajar lainnya diantar Drs
Umar Sowikromo (ayah dari dr Bambang Sowikromo) ke Bukit Ilongkow dan sempat
menikmati pemandangan Kotamobagu dari teras rumah jabatan sembari menerima
taklimat dari Bupati. Tetap segar di ingatan bagaimana ekspresi jengkel Om
Jambat (yang memang dikenal mudah naik darah terhadap ketidak-beresan semasa
menjabat Bupati) melihat rambut gondrong dan seragam saya yang tak sesuai
sandar anak sekolahan.
Saya tak pernah tahu apa yang disampaikan Pak Umar Sowikromo
pada Bupati berkaitan dengan rambut dan seragam sekolah yang acak-acakkan. Tapi
saya lolos dari omelan Bupati dan tetap dikirim sebagai salah satu duta
Bolmong.
Selepas SMA, selama menempuh pendidikan PT, saya menceburkan
diri pada aneka aktivitas dan nyaris tak pernah bersentuhan langsung dengan
politik, birokrasi dan elit-elitnya di Bolmong. Berakhirnya masa jabatan Om Jambat
pun saya ikuti sambil lalu. Kursi Bupati maksimal hanya 10 tahun dan dia sudah
menunaikan tanggungjawab dan kewajibannya.
Tetapi setelah tidak lagi menjabat sebagai Bupati-lah saya
kemudian banyak berhubungan dengan Om Jambat. Beberapa kali kami dipanel
sebagai pembicara (Om Jambat dipilih karena ketokohannya, saya sendiri entah
dengan alasan apa). Pertemuan dengan Om Jambat kian intens tatkala dia menjadi
Ketua DPW PAN. Masa-masa itu saya akhirnya mengetahui dia bukanlah sosok yang
sangat serius sebagaimana yang kerap digambarkan. Di banyak kesempatan Om
Jambat adalah orang yang memang mudah jengkel, tetapi juga gampang tertawa dan
senang pada percakapan-percakapan lepas dan rileks.
Dia tidaklah ‘’seseram’’, birokratis, dan temperamental
seperti yang sempat tertanam di kepala saya selama bertahun-tahun. Om Jambat
boleh didebat, terbuka terhadap argumen dan pertimbangan rasional, dan memberi
ruang yang luas terhadap alternatif-alternatif terbaik, khususnya ketika isu
yang dikedepankan berkaitan dengan hajat hidup Mongondow dan orang Mongondow.
Satu malam bertahun-tahun lalu, setelah bermobil dari
Manado, saya tiba di kediaman Om Jambat di Jalan Mantan. Malam itu majelis yang
hadir membahas siapa tokoh yang paling mungkin menjadi pesaing Ny Marlina Moha-Siahaan
di Pilkada langsung pertama di Bolmong. Setelah diskusi dan debat panjang-pendek,
saya mengajukan nama Djelantik Mokodompit. Tidak perlu waktu lama untuk
mendapatkan persetujuan (khususnya) dari Om Jambat, yang diharap menjadi motor
menggerakkan dukungan dari PAN.
Djelantik memang menjadi calon penantang Bupati petahana dan
kalah. Saya tak pernah menanyakan bagaimana perasaan Om Jambat atau tokoh lain
semisal Pemred Harian MP (ketika itu Hendro Boroma) yang sedikit-banyak punya
andil mendukung Djelantik. Yang saya tahu, kekalahan selalu membawa kecewa.
Kekalahan Djelantik membuat saya cukup lama menutup buku
keterlibatan langsung dengan politik praktis di Mongondow. Dengan Om Jambat
sendiri, sekali-dua saya masih menyambangi dia di Jalan Mantan, tetapi
percakapannya tidak lagi tentang dinamika sosial dan politik, melainkan
hal-ihwal durian dan aneka tanaman yang merimbuni pekarangan luas kediamannya.
Waktu berjalan dan jarak membatasi hubungan-hubungan antar
manusia. Demikian pula komunikasi dan pertemuan saya dengan Om Jambat. Kendati begitu,
Senin, 14 Otober 2013, setiba di Kotamobagu saya sempat bertanya kabar Om
Jambat pada salah seorang kerabat, sebelum reriuangan di Kopi Jarod Sinindian.
Sebatas itu hingga Kamis, 24 Oktober 2013, saya menerima kabar berpulangnya Om
Jambat ke hadirat-Nya. Satu lagi ‘’tiang’’, yang dengan caranya sendiri turut
menopang Mongondow selama tahun-tahun kehidupannya, rebah.
Ingatan-ingatan dan nostalgi pribadi saya tentang Om Jambat
berpercikan. Di kejauhan, saya hanya dapat menziarahi Almarhum dengan doa.
Selamat jalan, Om. Sebagaimana pun engkau dan yang ditorehkan sepanjang hayat
selalu hidup di bumi kita, Mongondow.***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
BBM: BlackBerry
Messenger; BMR: Bolaang Mongondow
Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; DOB: Daerah Otonomi Baru; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; DPW: Dewan Pengurus Wilayah; MP: Manado Post; PAN: Partai Amanat Nasional; Pemred:
Pemimpin Redaksi; PPI: Pemeran
Produksi Indonesia; PT: Perguruan
Tinggi; RI: Republik Indonesia; RS: Rumah Sakit; SMA: Sekolah Menengah Atas; SMP:
Sekolah Menengah Pertama; Sulut:
Sulawesi Utara; dan UU:
Undang-undang.