Pernyataan Korlip Harian MP, Idham Malewa, yang
disebar melalui BBM, terutama berkaitan dengan orang-orang yang bersetuju dan
patut diduga menjadi sumber fakta yang saya beber dalam mengkritik dan
mengkritisasi Harian Radar
Bolmong, mengundang reaksi pihak yang
dituju. Untuk itu, saya sajikan ke hadapan Anda, Pembaca, tanggapan dari Ahmad
Alheid yang tidak hanya relevan terhadap Idham Malewa, tetapi patut disimak
oleh kalangan jurnalis umumnya dan para penikmat media.
Oleh Ahmad Alheid
IDHAM Malewa, Korlip Harian MP, menyematkan sebutan kroni bagi segelintir
penikmat Kronik Mongondow dan
“Brutus-Brutus” bagi “kalangan dalam” RB –mungkin juga, Grup MP—yang terlibat
pada “geger” yang ditiupkan Bang Tamsi. Karena saya termasuk pada daftar
penerima BBM dari Idham, barangkali, menjadi bagian yang dia golongkan sebagai
kroni Bang Tamsi. Apalagi, saya terlanjur nimbrung lewat sebuah artikel yang
dimuat Kronik Mongondow. Terlepas
dari benar atau tidaknya asumsi saya, Idham harus dijawab. Siapa tahu, jawaban
ini bisa tercipta menjadi obrolan yang mengasyikkan.
Idham, biasanya
saya tersinggung berat bila dianggap sebagai kroni seseorang. Apalagi, jika
sebutan kroni itu dikaitkan dengan politisi –sementereng apa pun namanya di daerah
ini. Lagi pula lidah saya tak terbiasa menjilat pantat penguasa atau mereka
yang merasa punya kuasa dan kendali atas hajat hidup orang banyak. Namun, saya
sungguh-sungguh berlapang dada digolongkan sebagai kroni Bang Tamsi. Menjadi
kroni seorang esais berkelas cukup membuat dada saya agak berkembang.
Saya selalu
senang menceritakan tradisi sewaktu di tabloid Kabar dan Totabuan.
Menceritakan masa-masa pergaulan dengan para “pendekar kepenulisan” di Bumi
Nyiur Melambai sebagai kisah penuh romantisme. Mengamati wajah Endi Biaro
--seorang aktivis HMI dan turut berkecimpung sebagai wartawan Kabar— yang berdecak kagum menyimak
rubrik “Ufuk” yang berisi esai-esai Bang Tamsi. Motivasi yang dipantik sejak
dari Kabar itu, mungkin, yang
kemudian mengantarkan Endi dinobatkan sebagai pemilik blog terbaik di Detik.com.
Hari-hari itu,
Idham, telah menjebak “para kroni” ini pada militansi mengasah kepenulisan.
Keterampilan menulis ditularkan, penggunaan huruf dan tanda baca dipelototi,
kepekaan jurnalistik diasah, dan ihwal menelisik data dijejalkan. “Si Penulis
Cepat” --meminjam sebutan Hamid Basyaib untuk Bang Tamsi— adalah “penyiksa”
utama bagi awak Kabar. Juga, di
kemudian hari, bagi Totabuan. Andai Kabar bisa hidup lebih lama, mungkin
telah menjadi mercusuar bagi penikmat karya jurnalistik di daerah ini.
Semua eks Kabar
–-semisal Endi, Asep Sabar, Raymond Pasla, Begie Ch Gobel, Jamaluddin Lamato,
dan kami yang datang belakangan bergabung ketika Kabar tengah dirundung tengkar “para pendekar”— barangkali bisa
menirukan mimik dan gesture Bang
Tamsi kala naik pitam. Semua kegeramannya adalah tentang data tak lengkap
jelang tengat, kekacauan struktur penulisan, nara sumber yang tak
terkonfirmasi, dan atau kekeliruan penulisan huruf dan kesalahan tanda baca.
Pemeriksaan produk penulisan dilakukan saksama sebelum diantarkan ke
percetakan.
Perlakuan serupa
diterapkan pada artikel opini yang masuk ke tabloid mingguan ini. Di zaman Bang
Tamsi meninggalkan Kabar, saya pernah
terkena “dampratan” Pitres Sombowadile karena meloloskan sebuah artikel opini.
Karena kesalahan menangkap instruksi, artikel yang semestinya diteruskan ke
tong sampah, saya per-“moy” dan memaksakan memuatnya.
Kabar, juga Totabuan, menyiapkan iklim
bagi mereka yang bertekad mengasah kemampuan menulis dan reportase. Persentuhan
singkat dengan media ini cukup memberi saya wawasan tentang jurnalistik. Secara
tidak langsung, Kabar juga memacu
semangat media lain agar menaikkan mutu kewartaan dan perwajahan. Karena itulah
banyak pembaca setia lembaga berita ini menyayangkan “kematian” tabloid yang
hanya berumur sekira tiga tahun ini.
Tetapi, bagi
saya, Kabar dan Totabuan tetaplah ingatan yang membanggakan.
Tapi ada hal yang
“salah” sebagai hasil belajar dari “para pendekar”. Kita selalu merasa serupa
diri yang tak lengkap menekuni profesi sebagai jurnalistik. Kita menetapkan
standar terlalu tinggi untuk mendapatkan “pangkat” selaku penulis dan jurnalis.
Saya sempat tercerabut dari dunia jurnalistik, memasuki kehidupan LSM atau
Ornop, dan kembali mencoba menjalani profesi ini di lain kesempatan.
Di suatu hari,
saya mendapat kesempatan mengikuti pelatihan jurnalistik yang digelar Yayasan
Lestari, sebuah LSM di Manado yang bergerak pada isu-isu lingkungan. Salah
seorang pematerinya adalah Andreas Harsono, pendiri majalah Pantau dan pengintroduksir genre
jurnalisme naratif (sastrawi) di Indonesia.
Di sana, Idham,
hadir juga wartawan-wartawan --bahkan mungkin kelas redaktur-- dari media Anda. Coba Anda tanyakan kepada
yang hadir bagaimana Andreas menyebut koran terbesar di Sulut waktu itu!
Saya cukup
beruntung memiliki kesempatan menemani Andreas ke Jalan Roda. Dia menceritakan
kisah perjalanannya ke daerah kepulauan. Seorang pastor yang berbincang
dengannya di tengah perjalanan menyelipkan pertanyaan, apa agama Andreas.
“Agama saya adalah jurnalisme,” jawabnya lugas. Cerita itu kelihatan sederhana.
Tetapi, membuat saya mafhum apa arti jurnalisme bagi seseorang seperti Andreas.
Saya lebih mengerti ketika menyimak Elemen-Elemen
Jurnalisme karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Sebagai sebuah “agama”,
tentu saja, jurnalisme punya “syari’at”-nya sendiri.
Saya yakin,
Idham, Anda pernah membaca Elemen-Elemen
Jurnalisme. Sehingga semua lembaga berita tak sesuka hatinya menetapkan
“pakem” jurnalisme sendiri-sendiri. Bila setiap lembaga berita dan
masing-masing jurnalis berhak menentukan standar jurnalisme sesuai
keinginannya, apa artinya klaim Pilar Keempat Demokrasi? Dimana forum kritik
ditempatkan? Bagaimana keberpihakan terhadap kebenaran dijalankan?
Toleransi
terhadap standar yang disesuaikan dengan kemampuan khalayak pembaca adalah
dalih yang harus diperiksa kembali. Benar, bahwa standar yang menjadi dasar
kritikan Andreas terhadap media mainstream
di Indonesia, terlalu ideal untuk diterapkan hari ini. Namun, tidak serta-merta
dijadikan alat merasionalisasi penghancuran kaidah-kaidah jurnalisme.
Kami prihatin,
Idham, karena masih menyisakan cinta bagi jurnalisme di lubuk hati. Jurnalisme
merupakan ruang bagi publik memperoleh informasi yang benar. Itulah sebabnya,
jurnalisme memberikan beberapa syarat yang harus dipenuhi lembaga berita dan
para jurnalisnya. Jurnalis ibarat hakim saat berhadapan dengan data-data yang
terkumpul dan menjahitnya sebagai sebuah karya.
Tanggung jawab
yang tidak kecil yang diemban jurnalis dan lembaga tempat dia bekerja menuntut
penyajian fakta yang akurat. Di sisi lain, menghindari paparan kepentingan yang
mengotori integritas mereka. Dengan demikian, lalu-lintas informasi tidak
distortif. Semua itu dapat diwujudkan selama loyalitas terhadap publik dijaga
dan disiplin verifikasi dikedepankan. Selama ada semangat mengikuti standar
jurnalisme yang benar, Idham, saya yakin lembaga Anda tidak akan tergelincir
terlalu jauh pada praktek yang menodai profesi dan lembaga Anda.
Anda tentu paham,
Idham. Sebab Anda yang menggeluti jurnalistik saat ini. Saya sekadar
mengingat-ingat ihwal pelajaran masa lalu soal jurnalisme dan, sekarang ini,
menghadapi produk lembaga berita sebagai konsumen. Saya hanya menyodorkan
sebuah ingatan bahwa semua kaidah itu, elemen-elemen yang dipersepsikan bersama
oleh para jurnalis profesional, senantiasa membuat saya merasa tak layak jadi
jurnalis. Dan saya kerap heran bertemu orang-orang yang dengan mudah mendapuk
diri sebagai “jurnalis”. Pembawa berita, sejak jaman dahulu kala,
kredibilitasnya tidak boleh memiliki cacat dan cakap merangkum informasi.
Bagaimana pembaca tak tersesat jika pembawa pesan nyata tak cakap?
Di sini kita
perlu mempertegas batas perbedaan antara lembaga berita, corong kelompok
tertentu, dan pamflet. Itu saja, Idham.***
Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
BBM: BlackBerry Messenger; HMI:
Himpunan Mahasiswa Islam; Korlip:
Koordinator Liputan; LSM: Lembaga
Swadaya Masyarakat; MP: Manado Post;
Ornop: Organisasi Non Profit; dan RB: Radar Bolmong.