POLITISI, birokrat,
dan warga Boltim memang selalu penuh kejutan. Kali ini bukan datang dari tokoh
utama tukang bikin geger, Bupati Sehan Lanjar, yang ide, cerita, dan gaya
bertuturnya kerap menghenyakkan khalayak; melainkan Plt Kadishubkominfo, Zulfaki Gaib, sebagaimana
yang diwartakan Harian Radar Bolmong,
Marka Jalan Moat-Atoga Raib, Rabu 2
Oktober 2013.
Berbeda dengan membaca pernyataan Eyang di media atau
bereriungan langsung yang suka membuat saya mengeleng-ngelengkan kepala sembari
terbahak; menyimak Plt Kadishubkominfo lebih seru: saya terpiuh-piuh hingga
melelehkan liur dan airmata sembari membentur-benturkan kepala ke meja kerja.
Saya yakin, kalau ada kontes pernyataan kontroversi dari birokrat dan pejabat
negara, kutipan-kutipan dari Plt Kadishubkominfo yang dilansir Radar Bolmong itu bakal terpilih sebagai
‘’Yang Terlucu di 2013’’.
Wartawan yang melaporkan memulai dengan menulis, ‘’Proyek
pelebaran jalan meninggalkan kesan tak baik. Marka jalan yang digunakan selama proyek
dibiarkan terlantar di jalan.’’ Walau agak janggal, terutama kalimat kedua,
secara keseluruhan alinea pertama kreasi pewarta Radar Bolmong ini masih dapat dicerna akal sehat.
Pembaca yang lebih teliti tentu bertanya-tanya, bagaimana
mungkin marka jalan bisa terlantar? Tetapi apa itu marka jalan? Tidak perlu
membuka kamus teknik transportasi. Wikipedia
(http://id.wikipedia.org/wiki/Markah_jalan)
sudah menjelaskan dengan memadai apa itu marka jalan, yaitu: ‘’Suatu tanda yang berada di permukaan jalan atau di atas
permukaan jalan yang meliputi peralatan atau tanda yang membentuk garis
membujur, garis melintang, garis serong, serta lambang lainnya yang berfungsi
untuk mengarahkan arus lalu lintas
dan membatasi daerah kepentingan lalu lintas.’’
Penjelasan Wikipedia
itu masih memerlukan sedikit suntingan agar lebih tegas, bahwa marka (sesuai
petunjuk Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional dan Balai Pustaka, 2005, boleh juga
menggunakan ‘’markah’’) jalan melulu berurusan dengan garis dan tanda. Biasanya
garis-garis yang juga dikenal sebagai marka non-mekanik dibuat dari cat (berwarna
putih), thermoplastic, dan cold-plastic; serta marka mekanik
berbentuk paku jalan yang
dilengkapi reflektor. Selain marka, di seluruh jalanan (kecuali jalan
tanah yang kerbau pun enggan melewati), ada dua penanda lain: rambu lalu lintas
dan lampu lalu lintas.
Kembali ke soal ‘’marka jalan yang terlantar’’ sebagaimana
penggambaran wartawan yang menulis, boleh kita duga yang dimaksud mungkin
catnya telah memudar, garis-garisnya tidak lagi sesuai aturan, atau barangkali
paku jalan dengan reflektor yang dipasang tercerabut dan berceceran ke
mana-mana. Tapi di Boltim, yang listriknya pun masih dilayani ‘’perusahaan
kunang-kunang’’ dan ruas-ruas jalannya masih terseok dinaik-kelaskan, jenis
marka yang terakhir ini pasti tak bakal ditemukan.
Dengan memahami ‘’mahluk’’ marka jalan dan jenis-jenisnya,
alinea kedua tulisan yang kita bahas ini segera meletupkan tawa. Penulisnya
dengan bombastis menjabar: ‘’Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dishubkominfo,
Zulfaki Gaib, mengakui akibat perkerjaan banyak marka jalan yang rusak, bahkan
hilang. ‘Saya sendiri sempat melihat marka jalan dibiarkan begitu saja di
pinggiran jalan, sehingga secara pribadi saya langsung mengangkatnya. Karena
itu adalah tugas kami dinas perhubungan,’ ujarnya.’’
Ya ampun, saya membayangkan Plt Kadishubkominfo Boltim
sungguh sakti, setara Herkules, sang dewa berdaya tahan dan berkekuatan super dari mitologi Yunani. Mengangkat
serakan paku jalan yang dilengkapi reflektor memang tidak sulit, kendati
setelah itu tetap saja membuat lutut, pinggang, bahu, dan kedua lengan perlu
ditempeli koyo dan dibaluri panimbur. Terlebih kalau paku-paku jalan itu
benar-benar berceceran sepanjang Moat hingga Atoga.
Bagaimana dengan marka yang melekat di atas permukaan jalan?
Mungkinkah Plt Kadishubkominfo mengangkat dan memindahkan bongkahan-bongkahan
aspal yang masih dilintangi cat, yang menunjukkan itu bekas marka jalan? Berapa
besar dan berapa banyak bongkahan-bongkahan yang dipindahkan?
Prasangka yang mendadak membekap kepala saya mencurigai,
jangan-jangan jurnalis yang menulis tidak mewawancarai Plt Kadishubkominfo?
Jangan-jangan nara sumbernya adalah Thor yang mampu mengupas permukaan jalan
dengan kapak Mjolnir-nya; Superman yang memindahkan bongkahan sebesar bukit
hanya dengan tiupan; atau Iron Man yang dilengkapi dengan aneka peralatan
berteknologi tinggi? Atau, jangan-jangan yang dimaksud bukanlah marka jalan,
tetapi pembatas jalan atau rambu lalu lintas?
Kalau pembatas jalan dan yang terbuat dari kayu, cukup masuk
akal Plt Kadishubkominfo berinisiatif segera memindahkan dari pinggiran jalan.
Paku yang digunakan merangkai kayu pembatas jalan berpotensi menimbulkan bahaya
ketika terlindas roda mobil atau sepeda motor; juga ancaman tetanus pada siapa
saja yang tak awas menjaga pijakannya. Tapi bagaimana dengan pembatas jalan
yang kini umumnya terbuat dari plastik keras atau beton bertulang? Tetap saja
bisa, namun Plt Kadishubkominfo tentulah penggila fitness dan tercatat sebagai atlet atau mantan atlet angkat berat.
Jadi, satu-satunya yang dapat diterima kewarasan kita,
‘’barang’’ yang digambarkan sebagai marka jalan oleh Radar Bolmong itu tak lain dan tak bukan adalah rambu lalu lintas.
Tafsir ‘’rambu lalu lintas’’ ini saya rujuk dari sepotong alinea terakhir,
‘’Mantan Kadis Capil itu menambahkan dengan adanya marka jalan sebenarnya
mempermudah warga mengetahui keadaan dan situasi dari jalan.’’ Tidak ada
keraguan lagi, yang ditulis sebagai tomat, dengan mengutip mangga, ternyata
adalah adalah manggis!
Siapakah yang harus didudukkan sebagai ‘’tersangka’’ dari
kekeliruan beranak-pinak itu? Plt Kadishubkominfo karena kutipan-kutipan
pernyataannya menunjukkan ketidaktahuan parah masalah paling dasar di lingkup
pekerjaannya? Sebab dia tak bisa membedakan marka jalan, pembatas jalan, rambu
lalu lintas, dan lampu lalu lintas? Sekalipun berstatus Plt, saya meragukan
Kadishubkominfo mengeluarkan pernyataan bengkok seperti itu. Sungguh celaka
Pemkab dan warga Boltim bila Kadis yang bertanggungjawab untuk urusan
perhubungan, komunikasi, dan informasi, ternyata buta perhubungan, ngawur dalam
berkomunikasi, dan ujung-ujungnya menyebarkan informasi sesat.
Patut diduga yang harus didudukkan di kursi pesakitan adalah
wartawan yang menulis, redaktur yang mengedit, redaktur pelaksana yang
mengawasi operasi ruang berita sehari-hari, dan pemimpin redaksi yang
bertanggungjawab terhadap seluruh isi koran. Dan saya pun hilang kata-kata
untuk menggambarkan kebodohan tingkat dewa dari tulisan itu, kecuali, ‘’Sungguh
amat terlallllllluuuuuuuuuuuuuuu...!’’***
Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Capil: Catatan Sipil; Hubkominfo: Perhubungan, Komunikasi dan Informasi; Kadis: Kepala Dinas; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; dan Plt: Pelaksana Tugas.
Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Capil: Catatan Sipil; Hubkominfo: Perhubungan, Komunikasi dan Informasi; Kadis: Kepala Dinas; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; dan Plt: Pelaksana Tugas.