POIGAR rusuh.
Status BBM salah seorang jurnalis di Kotamobagu itu saya baca Sabtu siang, 26
Oktober 2013. Wah, ada apa di Poigar? Masyarakat minta jadi kabupaten baru lalu
ketularan aksi menutup jalan dan merusak Mobdin ala warga Dumoga saat menuntut
pembentukan Bolteng? Tanya-tanya di kepala kian mengelembung karena kabar
susulan menginformasi ruas jalan di kawasan itu diblokir dan warga menyalakan
unggun bakaran ban bekas.
Membaca atau mendengar ada rusuh di wilayah Mongondow, asosiasi
kita biasanya tak jauh dari bentrok atau hadang-hadangan yang kerap meletus di
Dumoga. Saking seringnya, lama-lama kita mahfum dan menganggap kejadiannya tak beda dengan olahraga
tradisional masyarakat setempat. Dan karna sifat setempatnya, orang banyak yang
tak punya kaitan dan urusan, sebaiknya minggir sejauh mungkin. Panah wayer dan
batu yang beterbangan tak punya mata dan petunjuk arah ke sesiapa mesti
mendarat.
Menjelang sore mulai jelas musabab meradangnya warga tiga
desa di Poigar hingga mereka berdondong turun ke jalan menggelar aksi. Di
berita Protes Aktivitas PT Malta, Warga
Tiga Desa Blokade Jalan (http://totabuan.co/2013/10/26/protes-aktivitas-pt-malta-warga-tiga-desa-blokade-jalan/),
Totabuan.Co, Sabtu, 26 Oktober 2013,
menulis masyarakat yang keberatan dengan beroperasinya tambang biji besi di
wilayahnya, unjuk kebolehan karena marah mengetahui tiga tronton membawa masuk peti
kemas berisi peralatan penyedot pasir ke area konsesi PT Malta. Publikasi yang
sama juga ditemukan di Lintasbmr.Com,
Tolak Tambang Pasir Besi, Warga Poigar
Blokir Trans Sulawesi (http://lintasbmr.com/poigar-kembali-memanas-ribuan-warga-tolak-tambang-pasir-besi/).
Media lain, Harian Tribun
Manado, Minggu, 27 Oktober 2017, lebih rinci mengambarkan akibat kemarahan
warga arus lalu lintas yang melalui kawasan itu terhenti. Sonny Terjebak Selama 4 Jam dalam Antrean Kendaraan (http://manado.tribunnews.com/2013/10/27/sony-terjebak-selama-4-jam-dalam-antrean-kendaraan)
tulis koran ini, melengkapi konstruksi situasi untuk mereka yang tidak
mengalami langsung peristiwanya di Poigar.
Tambang sebagai salah satu industri yang ‘’meledak’’ di
negeri ini setelah 1998 menjadi isu panas tersendiri, terutama relasi antara
perusahaan dan para pemangku kepentingannya. Operasi tambang sendiri, khususnya
di Indonesia, sejak KK pertama diberikan pada Freeport di Papua, memang tak
henti diwarnai ketidak-sepahaman khususnya antara perusahaan dan masyarakat
sekitar.
Khusus tambang pasir besi, yang biasanya dioperasikan di
pesisir pantai, beberapa tahun terakhir diketahui kerap memicu bentrok. Jenis
tambang ini, terutama di persepsi penggiat lingkungan dan masyarakat sekitar,
dianggap paling merusak dibanding pengerukan metal dan mineral jenis lain.
Khusus di Sulut, selain PT Malta, huru-hara penolakan tambang pasir besi
tercatat terjadi di Pulau Bangka (Minut) dan pesisir Desa Paret (Boltim).
Bahkan tambang pasir besi di Desa Paret yang dioperasikan PT MPU dua kali
digeruduk dan dibakar massa.
Bertahun bekerja di perusahaan tambang membuat saya cukup
memahami masalah-masalah yang dihadapi industri ini dan para pemainnya. Di
Indonesia, pebisnis tambang sendiri setidaknya dibagi dalam tiga kategori. Pertama, perusahaan tambang yang memang
mengkhususkan diri di sektor ini dan punya track
record panjang. Perusahaan jenis ini sudah makan asam-garam, kenyang
masalah, dan menyadari, kendala terbesar yang dihadapi bisnis ini bukanlah
aspek teknis, melainkan non teknis, terutama ‘’izin sosial’’ dari para pemangku
kepentingan.
Kedua, perusahaan
investasi yang menanamkan uang dan menguasai perusahaan tambang. Kepentingan
utamanya adalah menjaga agar investasinya mendatangkan keuntungan maksimal.
Untuk itu perusahaan yang dimiliki, terlebih bila itu entitas yang terdaftar di
bursa saham, harus menunjukkan performance
tinggi, teknis dan non teknis. Biasanya jenis perusahaan seperti ini sangat sensitif
terhadap gejolak sosial di sekitar operasinya. Sebagai catatan, sebagian besar
jenis perusahaan pertama juga masuk kategori jenis kedua karena mereka
terdaftar di bursa saham, dalam maupun luar negeri.
Dan ketiga, perusahaan
tambang yang dimiliki dan dioperasikan oleh para pemain baru di sektor ini atau
mereka yang memiliki dana dan punya koneksi politik kuat. Berakhirnya rezim KK
dan PKP2B setelah keluarnya UU No 4 Tahun 2009 Tentang Minerba membuat Kepala
Daerah punya kewenangan besar mengeluarkan IUP, IUPK, dan IPWR. Berbondonglah
pengusaha kelontong, pemilik pabrik sandal, bahkan artis yang kelebihan uang,
menanamkan duit di operasi tambang. Kepemilikan izin tambang itu kian mudah apalagi
bila jenis pengusaha ini dekat dengan penguasa daerah.
Karena tujuan utama kalangan usaha jenis ketiga itu semata
menciptakan mesin uang, titik berat operasi tambangnya adalah mengeruk
sebanyak-banyaknya dan menjual sesegera-segeranya. Pendekatan yang sangat
teknis ini biasanya mengabaikan aspek-aspek lain yang justru amat sangat
penting bagi industri tambang: Keseimbangan dan keberlanjutan lingkungan; serta
stabilitas dan keberlanjutan dinamika
dinamika sosial, ekonomi, budaya, dan keamanan sekitar operasinya.
Bagi pengusaha jenis ketiga ini (dan saya berkeyakinan PT
Malta juga masih startup di bisnis
tambang), cukup dengan mengantongi izin mereka berhak men-deploy peralatan dan mulai menggaruk bahan tambang di areal yang
dikuasai. Toh izin yang dikantongi
sudah dilengkapi berbagai syarat dan pra syarat, terutama Amdal. Ada keberatan
dari masyarakat sekitar yang terkaget-kaget karena lahan miliknya disodori
dokumen pembebasan, jalan dan areal pemukimannya mendadak dipenuhi lalu lalang
kendaraan operasi dan alat berat tambang, bahkan protes dan demo, adalah urusan
aparat berwenang.
Polisilah yang kemudian menjadi garda depan dan kambing hitam,
berhadap-hadapan dengan massa yang muak dan meluapkan amarahnya. Bupati-Wabup
atau Gubernur-Wabup, instansi dan badan yang berwenang pun biasanya cari aman
dengan aneka kilah. Alasan paling klasik yang kerap dinyatakan adalah demi
ekonomi daerah; daerah memerlukan investasi; perusahaan sudah menempuh cara
legal dan berhak menjalankan operasi berdasar izin yang dikantongi; dan bahwa
masyarakat bakal turut menikmati berkahnya lewat program Comdev, sponsorship, dan donasi .
Padahal bisnis tambang modern yang profesional tidak lagi
menumpuhkan operasinya semata pada aspek legal dan teknis. Manajemen pemangku
kepentinglah yang kini menjadi panglima sukses-tidaknya eksplorasi dan
eksploitasi satu perusahaan tambang.
Tidak mengindahkan manajemen pemangku kepentingan sama
artinya dengan bunuh diri terstruktur. Dan untuk amuk penolakan terhadap
operasi PT Malta oleh warga Poigar, sepanjang perusahaan bersikukuh hanya dengan
pendekatan legal dan teknis, saya berani menyatakan tinggal menunggu waktu lalu
nasibnya bakal berakhir sama seperti PT MPU di Desa Paret.***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
BBM: BlackBerry
Messenger; Boltim: Bolaang Mongondow
Timur; Comdev: Community Development;
IUP: Izin Usaha Pertambangan; IUPK: Izin Usaha Pertambangan Khusus; IPR: Izin Pertambangan Rakyat; KK: Kontrak Karya; Minut: Minahasa
Utara; Mobdin: Mobil Dinas; PKP2B: Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara; PT MPU: Perseroan Terbatas Meitha
Perkasa Utama; Wabup: Wakil Bupati;
dan Wagub: Wakil Gubernur.