EMPAT berita di
situs Tempo.Co, Jumat pagi, 25
Oktober 2013, membawa Harian Radar
Bolmong menjadi perhatian nasional. Yang mengusik malu, khususnya untuk
saya sebagai orang Mongondow, bukan sebab koran ini moncer dari kebijakan dan
praktek jurnalistiknya; melainkan karena kesuksesan jajaran redaksinya
menginjak-nginjak UU Tentang Pers dan KEJ.
Rangkaian berita yang diunggah selang dua jam itu,
masing-masing Masyarakat Kecam Radar
Bolmong Pasang Foto Mesum (http://www.tempo.co/read/news/2013/10/25/058524523/Masyarakat-Kecam-Radar-Bolmong-Pasang-Foto-Mesum);
Ini Sikap AJI Terkait Foto Radar Bolmong (http://www.tempo.co/read/news/2013/10/25/058524528/Ini-Sikap-AJI-Terkait-Foto-Radar-Bolmong);
14 Foto Mesum PNS di Manado Marak di
Gadget (http://www.tempo.co/read/news/2013/10/25/058524533/14-Foto-Mesum-PNS-di-Manado-Marak-di-Gadget);
dan Dewan Pers: Koran Radar Harus Minta
Maaf (http://www.tempo.co/read/news/2013/10/25/173524536/Dewan-Pers-Koran-Radar-Harus-Minta-Maaf),
adalah tamparan buat Radar Bolmong, Grup MP, dan bahkan Grup JP. Apalagi isunya
telah pula disulih ke edisi Inggris, Press
Council: Radar Newspaper Must Apologize (http://en.tempo.co/read/news/2013/10/25/055524564/Press-Council-Radar-Newspaper-Must-Apologize)
serta menjadi berita utama di situs Grup Tempo ini.
Rasanya lucu membayangkan wajah patron grup penerbitan yang menaungi Radar Bolmong, Dahlan Iskan, serta Ketua PWI Pusat, Margiono, yang
berlatar Grup JP ketika mereka disodori pemberitaan Tempo.Co. Belum lagi kalau diungkap lebih jauh bahwa jurnalisme
koran ini hancur-lebur karena cash in
yang dipraktekkan membuat jurnalisnya wajib memburu ‘’bbi’’, ‘’bbk’’, dan advertorial dengan mengabaikan aspek-aspek
dan standar paling minimal jurnalistik.
Sedikit saja ‘’dorongan’’, saya yakin isu yang dipicu Radar Bolmong ini bakal disusul
pengungkapan praktek jurnalistik di anak-anak Grup JP yang tersebar di seluruh
Indonesia. Bila itu terjadi dan terbukti ternyata setali tiga uang, imperium
bisnis media ini bakal diguncang gempa dasyat dan tsunami ketidak-percayaan
publik. Ujung-ujungnya bukan hanya mengganggu stabilitas bisnis mereka tetapi
juga menyerempet dan berpotensi meremukkan kredibilitas Dahlan Iskan sebagai salah
satu kandidat Capres 2014.
Saya ingin tahu apa kilahan Dahlan Iskan dan pembelaan Margiono
(yang jabatannya sebagai ketua PWI Pusat resmi dilekati ‘’Jawa Pos’’) terhadap
kebijakan dan praktek jurnalistik Radar
Bolmong dan Grup MP. Tapi saya tidak akan kaget kalau penyelesaian
masalahnya dilakukan khas kelompok penerbit ini. Satu-dua sekrup kecil
dikorbankan sementara sejumlah orang yang semestinya bertanggungjawab penuh,
tetap melenggang, bahkan menerima promosi ke posisi lebih tinggi. Terlebih kalau
mereka adalah bagian penting dari mesin penyedot cash in.
Sejatinya, memang tinggal menunggu waktu jurnalisme cash in Radar Bolmong dan Grup MP
menjerumuskan media ini dan kelompoknya ke jurang yang entah seberapa dalam.
Bukan karena derasnya arus mundur atau dimundurkannya para pewartanya, tetapi
karena kebijakan dan praktek jurnalistik yang diterapkan tidak lagi mengurusi
kelayakan produk yang disajikan ke hadapan sidang pembaca.
Produk media cetak bermutu rendah atau buruk pasti dijauhi
konsumen, yang ditakar dari stagnan atau turunnya oplah. Dengan oplah yang
rendah, bagi konsumen dan pengguna jasa yang cerdas, harga ‘’bbi’’, ‘’bbk’’,
dan advertorial Radar Bolmong juga dinilai dengan recehan. Apa boleh buat, redaksi
yang berisi orang-orang dengan kompetensi rendah, dipandu Pemred yang sudah
saya nilai ‘’sekelas teri’’, cuma mampu kembali ke resep kuno: Menjual sensasi dan
skandal, yang biasanya ampuh memicu adrenalin pembaca dan mendorong mereka
memburu koran yang memuat. Sensasi dan skandal yang paling menggiurkan apalagi
kalau bukan yang berhubungan dengan kamar tidur dan ruang pribadi.
Terjerembablah Radar
Bolmong. Saya tak ragu di Selasa, 22 Oktober 2013, koran ini sempat
mencicip kenaikan oplah signifikan. Tetapi di saat yang sama mereka menekan
denotator bom yang ledakannya berantai dan merusak ke segala arah. Kerusakan
itu, sebagaimana yang dilansir Tempo.Co,
sudah diisyaratkan anggota Dewan pers, Nezar Patria, dapat melebihi sanksi
sesuai yang diatur UU No 40/1999 Tentang Pers dan KEJ.
Menurut hemat saya, Nezar sangat berhati-hati dan berupaya
bijak menyikapi skandal foto cabul dan asusila yang dipajang Radar Bolmong di halaman depannya. Dia
menitik-beratkan pada UU Tentang Pers dan KEJ sembari mengingatkan Dewan Pers
tidak berwenang membredel sebuah media. Namun dengan mengisyaratkan perbuatan
yang dilakukan jajaran redaksi Radar
Bolmong berpotensi pidana, dia sejalan dan sebangun dengan analisis yang
telah berkali-kali saya tulis di blog
ini.
Tanpa bermaksud mendebat Nezar, saya punya pendapat lain. Sekali
pun Dewan Pers tidak memiliki hak membredel sebuah media yang tidak lagi
mempraktekkan jurnalisme sebagaimana aspek-aspek dasar dan fundamentalnya,
institusi ini berwenang mengeluarkan rekomendasi. Rekomendasi itulah yang dapat
digunakan aparat berwajib, kepolisian atau kejaksaan, menyeret Radar Bolmong dan para pengurusnya ke
meja hijau; menuntut penutupan korporasi penerbitnya dan menghukum orang-orang
yang bertanggungjawab.
Saya juga tidak sejalan dengan Nezar Patria, bahwa sebagai
tindak pidana, perbuatan jajaran redaksi Radar
Bolmong ditindaklanjuti setelah ada laporan masyarakat setempat. Bila
mengacu pada Pasal 282 KUHP, apa yang disampaikan Nezar tidak keliru. Tetapi
saya percaya aparat kepolisian dan kejaksaan tidak buta tuli serta paham betul
UU Pornografi-lah yang lebih tepat digunakan menjerat koran ini. Dengan
demikian seluruh pihak terkait, perusahaan dan penanggungjawab redaksi, mutlak
memikul konsekwensi publikasi vulgar foto-foto cabul dan asusila itu.
Lepas dari telah bergulirnya isu tersebut ke level nasional,
saya tak henti terkagum-kagum dengan manajemen Radar Bolmong dan Grup MP. Hingga tulisan ini dibuat, mereka kukuh
tak mengeluarkan satu pun pernyataan resmi, terlebih meminta maaf pada publik
yang dirugikan. Jurnalisme cash in
dan produknya tampaknya dianut dan diamini dengan konsisten, apapun kata dan
pendapat umum.
Melihat ketangguhan sikap orang-orang yang bekerja di grup
penerbitan itu, dengan rendah hati saya merevisi pendapat yang selama ini kerap
disampaikan ke mana-mana. Bahwa, sekte atau kelompok kepentingan terkuat dan
paling gigih yang dikenal di peradaban manusia adalah yang berkaitan dengan
keagamaan, oriantasi seksual, serta ideologi komunis. Mohon maaf, fenomena Radar Bolmong dan Grup MP membuat saya
mesti menambahkan satu lagi, yaitu kalangan ''penganut jurnalisme cash in’’ hingga mereka bertobat dan
kembali ke jalan yang benar.***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
bbi: Berita
Berbayar Iklan; bbk: Berita Berbayar
Koran; Capres: Calon Presiden; JP: Jawa Pos; KEJ: Kode Etik Jurnalistik; KUHP:
Kitab Undang-undang Hukum Pidana; MP:
Manado Post; Pemred: pemimpin
Redaksi; PWI: Persatuan Wartawan
Indonesia; dan UU: Undang-undang.