BEBERAPA orang
mengirim komentar dan tanggapan terhadap tulisan Terkutuklah Jurnalisme ‘’Radar Bolmong (1) dan (2) yang diunggah
Selasa, 22 Oktober 2013. Salah satu yang agak pedas adalah kritik saya hanya
tegas tatkala membahas pemajangan empat frame
foto cabul dan asusila di Harian Radar Bolmong
tergolong sudah berada di luar juridiksi UU Nomor 40/1999 Tentang Pers dan KEJ.
‘’Kalau bukan dijerat dengan pelanggaran UU Tentang Pers dan KEJ, lalu media
ini dan pengelolanya melanggar UU apa?’’ gugat salah seorang penanggap.
Gugatan itu sungguh benar. Saya memang tidak dengan gamblang
menunjuk UU dan tindak pidana apa yang dilanggar Radar Bolmong terkait isu foto-foto mengoda pikiran liar yang
diperankan sepasang oknum yang diduga PNS Pemkab Bolmong itu. Ketidak-tegasan
itu sesungguhnya disengaja karena saya menghindari menuding publikasi media ini
adalah pelanggaran terhadap UU Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi yang
diundangkan 26 November 2008.
Belajar dari kasus yang menimpa mantan Pemred Majalah Playboy Indonesia, Erwin Arnada, media
di negeri ini semestinya memahami sensitivitas isu (termasuk gambar) yang
mengandung asusila. Apa yang dialami Erwin bermula pada 2006 ketika Kejaksaan
mendakwa dia bersalah melanggar Pasal 282 KUHP. Pendakwaan ini dilakukan atas
desakan sejumlah organisasi masyarakat yang menilai isi Playboy Indonesia bertentangan dengan kesusilaan dan kesopanan
Pasal 282 KUHP itu terdiri dari tiga ayat, masing-masing,
Ayat (1), ‘’Barang
siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan,
gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, atau
barang siapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di
muka umum, membikin tulisan, gambaran atau benda tersebut, memasukkannya ke
dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki
persediaan, ataupun barang siapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan
surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh,
diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana
denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.’’
Ayat
(2), ‘’Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum
tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, ataupun barang siapa
dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum,
membikin, memasukkan ke dalam negeri, meneruskan mengeluarkannya dari negeri,
atau memiliki persediaan, ataupun barang siapa secara terang-terangan atau
dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkan, atau menunjuk sebagai bisa
diperoleh, diancam, jika ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan,
gambazan atau benda itu me!anggar kesusilaan, dengan pidana paling lama
sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.’’
Dan Ayat (3), ‘’Kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam ayat
pertama sebagai pencarian atau kebiasaan, dapat dijatuhkan pidana penjara
paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak tujuh puluh
lima ribu rupiah.’’
Di persidangan tingkat pertama di PN Jakarta Selatan, dakwaan
Jaksa ditolak, dan Pemred Playboy
Indonesia dibebaskan dari segala tuntutan. Demikian pula di tingkat banding
di PT DKI Jakarta, putusan hakim sama, Erwin Arnada dinyatakan tidak bersalah.
Tetapi di tingkat kasasi, MA memutus Erwin bersalah dan harus menjalani hukuman
penjara selama dua tahun. Hukuman ini dieksekusi 9 Oktober 2010 dengan
dijebloskannya dia ke LP Cipinang.
Edwin Arnada kemudian hanya menjalani hukuman sekitar 8,5
bulan. Berdasar PK yang didaftarkan ke MA dengan nomor perkara 972 K/Pid/2008, tanggal
29 Juli 2009, pada 25 Mei 2011 Hakim PK yang dipimpin Ketua MA, Harifin Tumpa,
memutus dia dibebaskan dari segala hukuman dan dinyatakan tidak bersalah. Namun,
namun tetap saja Erwin sudah terlebih dahulu mencicip jeruji besi LP Cipinang.
Pembaca, kasus Playboy
Indonesia yang membuat majalah ini ditutup pada 2007 dan Pemrednya dibui,
diproses dengan menggunakan KUHP, bukan UU No 44/2008. Dan saya memang cenderung
menggunakan pendekatan KUHP untuk skandal empat frame foto cabul dan asusila yang dipublikasi Radar Bolmong dengan pemahaman, bila kebodohan dan kecerobohan
sejumlah orang di redaksi koran ini diproses merujuk UU Tentang Pronografi,
media ini dapat dipastikan bakal tamat. Hukumannya akan bertumpuk-tumpuk, dari
denda bernilai milyaran rupiah, ancaman hukuman badan bertahun-tahun untuk para
penanggungjawab redaksi, hingga pencabutan badan hukumnya.
Namun konsumen Radar
Bolmong dan pembaca blog ini
punya pendapat dan penilaian sendiri yang sepenuhnya benar: Publikasi foto-foto
mesum itu melanggar berpasal-pasal dan berayat-ayat UU No 44/2008 dan karenanya
aparat berwenang mesti memproses skandal ini dengan penggunakan UU ini.
Secara subtansial publikasi empat frame foto mesum yang dikaburkan (tetapi gagal mengeliminasi
kecabulan dan asusila yang dikandungnya) oleh Radar Bolmong melanggar larangan-larangan utama UU Pornografi. Titik
beratnya pada memiliki, memanfaatkan, menyebarkan, menjadikan orang lain obyek,
dan memberikan akses terhadap material porno pada anak-anak. Mengingat koran
ini diterbitkan oleh badan hukum dan menjadi konsumsi publik, penerbitan gambar-gambar
itu juga menjerat pihak perusahaan yang membiayai dan para pengurusnya
(terutama jajaran redaksi).
Pasal 1, Ayat 1, UU
No 44/2008 menuliskan, ‘’Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto,
tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak
tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi
dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi
seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.’’
Sebab pornografi
bertentangan dengan nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian
luhur di negeri ini, di Pasal 4, Ayat (1) huruf d dinyatakan, ‘’Setiap orang
dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan,
menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan,
atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: ketelanjangan atau
tampilan yang mengesankan ketelanjangan.’’
Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
DKI: Daerah Khusus Ibukota; KEJ:
Kode Etik Jurnalistik; KUHP: Kitab
Undang-undang Hukum Pidana; MA:
Mahkamah Agung; Pemred: Pemimpin
Redaksi; PK: Pengajuan Kembali; PN: Pengadilan Negeri; PNS: Pegawai Negeri Sipil; PT: Pengadilan Tinggi; dan UU: Undang-undang.