PERINGATAN yang
bersiliweran di SMS dan BBM, Rabu sore (2 Oktober 2013), menjalar bagai api
menebas ilalang kering. ‘’Dumoga rusuh. Warga yang menuntut pemekaran Bolteng
melakukan penghadangan Mobdin. Jangan melewati Simpang Tiga Dolodua.’’ Tak lama
kemudian tanda awas ini disusul foto Mobdin yang dirusak dan dicorat-coret para
penghadang.
Maafkan saya, wahai warga Dumoga dan sekitar, rusuh di
wilayah Anda bukan kabar menarik lagi. Budaya onar yang dikembangkan di wilayah
ini (seolah-olah perkelahian antar kampung adalah olahraga tradisional yang
mesti dilestarikan; menghadang orang dan –merusak-- kendaraan yang lewat
sebagai hobi; dan aneka perilaku destruktif masyarakat abad kegelapan sebagai
gaya hidup), membuat umumnya kami di seantero wilayah Mongondow lain kian
pintar mengasah ketidak-pedulian. Sepanjang itu terjadi antara sesama kalian,
laksanakan saja sesukanya.
Tetapi, bagaimana dengan pihak lain, terlebih mereka yang
sama sekali tak punya sangkut-paut dengan urusan yang jadi pokok-soal? Mengapa
kepala Anda yang gatal lalu tangan dan kaki orang lain mesti dikepruk? Masuk
akal dimanakah, sebagaimana yang saya baca dari beberapa situs berita, salah
satunya Tribun Manado, Oknum Warga Dumoga
Rusak Mobil Pelat Merah (http://manado.tribunnews.com/2013/10/03/warga-dumoga-rusak-mobil-plat-merah),
Kamis (3 Oktober 2013), kecewaan
karena rencana pembentukan Kabupaten Bolteng belum masuk agenda Komisi II DPR
RI, diekspresikan secara serampangan dan tanpa adab?
Ada
hubungan apa antara Mobdin DB 8162 AM milik BKKBN Pemrov Sulut yang dirusak
massa penghadang dengan urusan pemekaran Bolteng? Tupoksi BKKBN adalah
pengendalian penduduk dan kesejahteraan keluarga, yang biasanya dengan serampangan
kita sederhanakan tak jauh dari urusan kondom, pil KB, IUD, dan sejenisnya;
serta pemberdayaan agar keluarga di Indonesia sejahtera secara sosial dan ekonomi.
Apa karena Komisi II DPR RI kekurangan kondom, pil KB, dan IUD lalu mereka
enggan memasukkan pembahasan pemekaran Bolteng dalam agendanya? Kalau demikian
adanya, BKKBN Sulut memang harus ikut bertanggungjawab!
Yang
saya tahu, DB 8162 AM yang berisi petugas sosialisasi KB semata berada di
tempat yang salah, di waktu yang salah, karena mengambil jalur menuju (atau
kembali) dari tempat bertugas di ruas jalan yang melintasi Dumoga. Saya
menguatirkan, besok-lusa kelakuan barbar masyarakat Dumoga ini dijadikan
preseden dan dipraktekkan pula oleh komunitas lainnya di Sulut. Katakanlah
karena warga Manado kesal dengan kepemimpinan Walikota dan Wawali-nya, lalu
mereka melampiaskan dengan menghadang Mobdin, mobil, dan warga Dumoga, yang
kebetulan ke kotanya.
Pemekaran
Bolteng adalah keniscayaan yang tak hanya diharapkan oleh warganya. Secara
pribadi, di beberapa kesempatan, saya menyampaikan pada Wabup Bolmong yang juga
warga Dumoga, Yani Tuuk, bahwa banyak manfaatnya bila Bolteng dimekarkan
sebagai daerah otonomi sendiri. Sejujurnya, saya bukanlah orang yang gemar
mendukung pemekaran. Bagi saya, yang pertama (dan utama) mencecap berkah
pemekaran wilayah tetaplah sejumlah kecil elit, sementara perbaikan kehidupan
orang banyak yang berstatus rakyat hanya beranjak setara kecepatan siput.
Apalagi bila SDM di daerah yang dimekarkan jauh dari kompetitif di pasar
persaingan pendidikan, sosial, ekonomi, dan politik.
SDM
yang menguatirkan seperti itulah yang kini dipertontonkan warga Dumoga dengan
perilaku ‘’’rusuh salah tempat’’-nya. Bila benar pemantik kerusuhan itu karena
DPR RI belum mengagendakan pemekaran Bolteng sebab ada kekurangan persyaratan,
yang pertama dimintai pertanggungjawaban adalah orang-orang yang berhimpun di
Panitia Pemekaran. Kerja mereka tentu tidak genah; mereka belum pintar (atau
memang tidak tahu), sebab dokumen yang diajukan ternyata jauh dari sempurna.
Pihak berikutnya adalah Pemkab dan DPR daerah induk, yang telah mengabaikan
kekurangan persyaratan itu sehingga mengganjal proses yang semestinya
berlangsung smooth di Komisi II DPR
RI.
Hal
mustahak berikut yang harus dilakukan, terutama oleh mereka yang merasa elit
dan menjadi tokoh di tengah warga Bolteng, adalah menjelaskan selengkap-lengkap
dan serinci-rincinya, bahwa pemekaran bukanlah usaha membuat dodol. Upaya
menjadikan sebuah wilayah berdiri sendiri adalah kerja yang dihitung dalam
bilangan tahun, bukan satu dua-hari; dengan kesiapan lebih dari aspek-aspek
teknis pemerintahan. Dan bahwa setelah banyak pemekaran wilayah (provinsi,
kota, dan kabupaten) di negeri ini, nyatanya sebagian hanya menjadi beban
Pemerintah Pusat dan masyarakatnya sendiri.
Tengoklah
bagaimana beberapa daerah pemekaran justru lebih riuh politik perebutan
kekuasaan dan meraup keuntungan ekonomi oleh beberapa elitnya, ketimbang
memaksimalkan otonomi bagi kemaslahatan rakyat. Fasilitas, infrastruktur, dan
layanan publik yang diharapkan membaik dan lebih menyentuh, jauh tertinggal
dibanding megahnya rumah pribadi, mewahnya mobil dan gaya hidup, serta
gendutnya perut elit-elit yang mendaulat (atau didaulat) sebagai ‘’pahlawan
pemekaran’’.
Pemekaran
adalah upaya bermartabat dan konstitusional membuktikan bahwa sebuah entitas di
wilayah tertentu siap membangun peradaban sendiri. Di zaman kini, peradaban
yang dimaksud bertumpuh pada ketaatan hukum, proses yang demokratis,
mengindahkan HAM, ketata-laksanakan, serta stabilitas sosial-ekonomi-dan
keamanan. Semua pra syarat peradaban seperti ini ditumpuhkan pada kecerdasan,
keterdidikan, akal sehat, kesama-rataan, inovasi, dan transparansi.
Di
manakah seluruh aspek-aspek penting itu diletakkan ketika urusan memenuhi
satu-dua dokumen persyaratan pemakaran Bolteng justru direspons dengan kebiasaan
anarki? Wajarkah sebuah masyarakat yang kesenangannya berlaku di luar adab umum
diberi tempat di tengah negara dengan dasar yang sewelas-asih dan bermartabat
seperti Pancasila?
Warga
(calon) Kabupaten Bolteng, dengan kelakuan Anda-Anda yang tak mengindahkan aspak-aspek
utama peradaban modern, kalau akhirnya sebuah daerah otonomi berhasil dirikan,
dia tak beda dengan ring tinju atau arena perkelahian bebas raksasa. Pemilihan
Bupati-Wabup adalah pesta tawuran massal, seleksi anggota DPR sama dengan ajang
perkelahian jalanan anak SMA, dan penunjukkan aparat pemerintahan didasarkan
bukan pada profesionalisme dan kompetensi tetapi seberapa besar otot dan pita
suaranya.
Lalu
ketika menjalankan tugas dan wewenangnya, Bupati-Wapub harus dilengkapi baju
besi, tameng, dan mengendarai kendaraan lapis baja. Anggota DPR bersidang
dengan menggunakan pelindung kepala dan uniform
petarung bela diri, demi kesiapan menghadapi apapun yang bakal meledak. Sedang
aparat birokraksi, hingga ke tingkat kelurahan dan desa, mesti dibekali
jampi-jampi dan ilmu kebal. Masyarakat yang tidak tahu aturan hanya mungkin
dipimpin oleh tiran; pendekar silat, petinju handal, atau jago karate; atau
sekalian kita impor superhero dari
Marvel dan DC Comics.
Lanjutkan
saja segala hadang-hadangan, rusak-rusakkan, dan bahkan bakar-bakaran, apalagi
kelihatannya aparat berwenang jerih mengambil tindakan tegas, seolah HAM hanya berhak
dimiliki para perusuh, tidak untuk mereka yang jadi korban. Namun demikian,
jangan harap Kabupaten Bolteng bakal terwujud. Pemerintah Pusat dan DPR RI
bukanlah gerombolan idiot yang akan memberikan otonomi pada masyarakat dan
wilayah yang jelas-jelas membuktikan ketidak-pantasannya mengatur diri
sendiri.***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
BBM: BlakcBerry
Messenger; BKKBN: Badan Koordinasi
Keluarga Berencana; Bolteng: Bolaang
Mongondow Tengah; Bolmong: Bolaang
Mongondow; DPR RI: Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia; HAM: hak
Asasi Manusia; IUD: Intrauterine
Device; KB: Keluarga Berencana; Mobdin: Mobil Dinas; Pemprov: Pemerintah Provinsi; SMA: Sekolah Menengah Atas; SDM: Sumber Daya Manusia; SMS: Short Message; Sulut: Sulawesi Utara; Tupoksi: Tugas Pokok dan Fungsi; Wabup: Wakil Bupati; Wawali: Wakil Walikota.