INSIDEN
direbutnya mike dari tangan Ny
Marlina Moha-Siahaan oleh Ny Muslimah Mayulu-Mongilong, Sabtu, 28 September
2013, yang kemudian saya tulis (Skor 0-12
Untuk Mama Ven Lawan Mama Didi) mencuatkan istilah ‘’politainment’’. Tercetus
di grup diskusi Institut Bakid (lembaga yang bertahun lalu didirikan sejumlah
anak muda Mongondow), kata yang pengertiannya kurang lebih sejalan dengan
‘’infotainment’’ ini datang dari Loho Mokoagow.
Dua jempol untuk Loho. Dia dengan tepat menangkap dan
mengekspresikan dinamika politik dan para pelakunya di Mongondow dan Indonesia
umumnya dengan satu kata yang ‘’rasanya’’ familiar, sekaligus (sepengetahuan
saya) sangat jarang digunakan di negeri ini.
Dari penelisikan cepat saya menemukan infotainment berarti ‘’a film
or TV program presenting the fact about a person or event.’’ Sedangkan politainment, merujuk pada tulisan dua
pakar dari University of Fribourg-Freiburg, Louis Bosshart dan Lea Hellmüller, Pervasive Entertainment, Ubiquitous Entertainment, yang dipublikasi
di Communication Research Trends,
Volume 28 (2009) No. 2, terbitan Centre for the Study of Communication and
Culture, disebut sebagai ‘’the term refers to the symbiosis between politics and
entertainment.’’
Sebagaimana biasa, definisi-definisi yang bermuatan serius itu
di Indonesia diterjemahkan dan diimplementasi sesukanya hingga kalau bukan
kurang, maka menjadi berlebih-lebihan. Tayangan infotainment di teve-teve kita, misalnya, kemudian melulu tentang
artis, mulai dari yang benar-benar top dan bermutu hingga yang sekadar merasa
artis dan mengira dirinya populer. Sudah begitu, isu-isu yang diangkat pun
mudah membuat perut mulas: tak jauh dari pertengkaran, gosip kawin-cerai dan
selingkuh, narkoba, serta gaya hidup hedonis para pesohor. Karya, capaian
artistik, masterpiece, dan monumental
nyaris tak mendapat (atau diberi) ruang.
Demikian pula dengan politainment.
Alih-alih politikus yang ditampilkan di layar-layar televisi membawa
kebaharuan, entah dari latar belakang, gaya hidup, ide-ide, atau perilaku; yang mengedepan
justru kelakuan yang tak beda dengan ulah dan bual-bual kapiran artis-artis di
tayangan infotainment. Politikus kita
benar-benar memperlihatkan wajah buruk politik negeri ini: umumnya cuma bisa
petantang-petenteng, bodoh, tidak bermutu, payah dari sisi etika, jauh dari
profesional, rakus, dan korup.
Apakah insiden mike
di hajatan pernikahan yang melibatkan dua perempuan, tokoh publik dan politik
yang juga Caleg Pemilu 2014 dari Dapil Bomong untuk DPR Provinsi Sulut, itu adalah
peristiwa sosial biasa atau masuk kategori politainment?
Pembaca, saya yakin kearifan Anda mampu menempatkan konteks peristiwanya sesuai
dengan konvensi bermasyarakat yang kita anut.
Yang jelas, bagi saya pribadi, peristiwa politik serius dan
yang kelas politainment sangat mudah
dideteksi dari bagaimana peristiwa itu terjadi; atau dengan cara seperti apa
isunya disampaikan. Peristiwa politik atau yang melibatkan politikus, yang
terjadi dengan alasan sepele, memalukan, tidak substansial dan fundamental,
kita kategorikan sebagai konsumsi politainment.
Dari caranya, bila penyampaian isunya dilakukan dengan model kasak-kusuk
semacam, ‘’Psssttt, so tahu ngana...?”;
‘’Dengar-dengar....”; dan bahasa sejenis yang biasanya mengawali pergosipan,
apapun itu pastilah harus dikonsumsi dalam kerangka politainment.
Politainment (tidak
usah repot-repot menelusuri kata ini di kamus karena secara resmi memang belum
tercatat) pula yang segera memenuhi benak saya, Senin (30 September 2013)
ketika mendapat kisikan yang disampaikan setengah berbisik, ‘’Psssttt, so tahu kalu PG KK mo bekeng
Musdalub?’’ Saya tidak dapat berpura-pura tidak tahu. Beberapa hari
sebelumnya info Musdalub ini telah saya terima dari seorang kawan politikus di
KK, lengkap dengan nama-nama fungsionaris PG yang menginisiasi serta kandidat
yang bakal diusung.
Saya agak meragukan informasi itu. Rekam-jejak PG yang sukses
bertahan melintasi turbulence politik
Indonesia lebih 40 tahun terakhir, menempatkan Parpol ini sebagai hampir
satu-satunya partai yang mapan dalam segala hal, terutama sistem dan mekanisme
organisasi. Menggantikan ketua saat ini, mantan Walikota KK 2009-2013, DjM,
yang masa kepengurusannya baru berakhir 2015, harus dengan alasan yang sangat
fundamental. Tidaklah cukup semata karena dia dianggap tidak mampu
menggendalikan roda organisasi atau gagal mencapai sejumlah target politik,
khususnya menempatkan kembali kader PG di kursi Walikota KK 2013-2018. DjM baru
boleh diganti bila dia melanggar aspek paling tidak dapat ditolerir sebagaimana
diatur di dalam konstitusi partai.
Apa pelanggaran tak termaafkan itu? Sekalipun cukup khusyuk
mengikuti perkembangan politik di KK, saya kebingungan ketika mencoba menjawab
pertanyaan sederhana ini. Benar bahwa PG yang mengusung DjM-Rustam Simbala (RS)
kalah di Pilwako KK; menggugat di MK dan kembali kalah; lalu DjM terdaftar di
DCT Pemilu 2014 sebagai Caleg DPR KK Dapil Kotamobagu Barat, yang kini sedang
di proses di DKPP karena ada keberatan dari PAN. Selebihnya, PG KK adem-ayem saja.
Tapi begitulah politik dengan segala intriknya. Tenang di
permukaan belum tentu demikian adanya di ‘’arus bawah’’. Apalagi warga
Mongondow umumnya tahu persis, pengaruh Ketua PG Bolmong, Ny Marlina
Moha-Siahaan (tokoh yang hubungan politik, sosial, dan pribadinya dengan DjM
kerap ‘’demam tinggi’’), masih sangat kuat. DjM memang memimpin PG KK, tetapi
fungsionaris-fungsionaris utama di bawahnya praktis berasal dari kader-kader
yang dibesarkan Ketua PG Bolmong.
Dengan peta pengaruh seperti itu, bagi analis politik
amatiran, rumor Musdalub PG KK barangkali segera dimaknai sebagai tindakan
mengeliminasi kekuatan DjM dan pendukungnya di Pemilu 2014. Tanpa kekuatan
politik signifkan, peluang DjM menjadi anggota DPR KK (bila DKPP mengabsahkan
peng-DCT-annya), putra, putri, dan kerabat yang dicalonkan di DPR
Kabupaten/Kota dan Provinsi, bakal penuh aral melintang. Dengan begitu kesempatan
bagi kelompok yang berseberangan dengan DjM di tubuh PG KK khususnya dan
seluruh Bolmong umumnya, menjadi terbuka lebar.
Begitu sederhananyakah dinamika politik di PG KK? Karena
tetap tidak menemukan alasan fundamental bisik-bisik Musdalub, saya akhirnya
meng-amin-kan apapun informasi yang berhembus dan dihembuskan seputar isu ini.
Anggap saja kita sedang menikmati babak baru politainment di Mongondow. Toh
keramaian yang bakal tumpah akhirnya cuma berkisar pada mereka-mereka yang
bermain atau dipermainkan.
Sedapnya duduk (atau berdiri) di posisi penonton bersama
khalayak lain, kita bebas mencaci, mencibir, memuji, dan bertepuk tangan.***