SIDANG Paripurna
DPR RI, Kamis, 24 Oktober 2013, menyetujui pembentukan 65 DOB, salah satunya
adalah Provinsi BMR. Menurut Ketua Komisi II, Agun Gunandjar Sudarsa,
sebagaimana dikutip Jurnal Parlemen (http://www.jurnalparlemen.com/view/6606/inilah-65-calon-daerah-otonomi-baru.html),
‘’Jika pemerintah menyetujui usulan itu, maka Presiden akan menerbitkan Kepres
menunjuk menteri mewakili pemerintah membahas DOB bersama DPR.’’
Persetujuan DPR RI yang dihadiri Bupati-Wabup dan
Walikota-Wawali se BMR itu, anehnya disambut nyaris sangat biasa di Mongondow.
Tidak ada kemeriahan seperti ketika masyarakat bersuka di pemekaran KK, Bolmut,
Boltim, dan Bolsel. Media (termasuk digital), terutama yang terbit di
Kotamobagu, juga memberitakan seadanya. Mungkin karena selama ini isu Provinsi
BMR telah berulang kali ditulis dari berbagai angle, hingga di momen puncaknya justru tak ada lagi sisi yang
dianggap sangat menarik.
Kemungkinan lain sepinya pemberitaan Provinsi BMR karena
media, juga elit-elit dan tokoh yang hadir di Sidang Paripurna, menyadari
persetujuan DPR RI barulah langkah membuka pintu. Proses yang bakal dilalui
calon provinsi yang melepaskan diri dari Sulut ini masih panjang. Halangan
berikut yang menunggu adalah persetujuan pemerintah, yang pasti dilakukan
setelah kajian matang dan boleh jadi menggugurkan sejumlah DOB di antara 65
yang diusulkan sebagai hak inisiatif DPR. Lalu ada pembahasan di antara DPR RI
dan pemerintah yang pasti memakan waktu sebelum akhirnya dibawa ke Presiden
untuk ditanda-tangani sebagai UU.
Masyarakat BMR masih harus bersabar sembari mendorong lima
kabupaten dan kota bakal provinsi ini berbenah, menyiapkan diri agar tak gagap
dan terantuk-antuk. Sebab kendati gembira terhadap perkembangan bakal
terwujudnya Provinsi BMR, warga Mongondow sesungguhnya tahu persis, seluruh
elemen yang akan terlibat mengurus bila DOB ini jadi kenyataan, bakal
kerepotan.
Sejujurnya, BMR memang memiliki potensi sangat besar yang
siap dieksploitasi demi kemakmuran masyarakatnya. Tak ada yang mendebat bahwa
dibanding daerah lain di Sulut, BMR-lah yang paling lengkap dan prima potensi
SDA-nya. Tetapi tidak dengan SDM, khususnya di sektor birokrasi yang justru jadi
jantung dan mesin utama penggerak seluruh sumber daya yang ada. Ringkasnya:
Tersediakah cukup SDM birokrasi handal yang mengurus Provinsi BMR kelak ketika
cita-cita ini ada di genggaman?
Faktanya, hari-hari ini kita tahu tiap kali diperhadapkan
dengan kebutuhan SDM birokrasi siap pakai, lima pasang Bupati-Bawup dan
Walikota-Wawali dan jajarannya di BMR mesti rajin mengkonsumsi obat sakit
kepala. Para elit pening menimbang-nimbang siapa-siapa yang dipilih sebagai
pembantu utama hingga yang terbawa; sedang jajarannya berdebar-debar menanti
apakah tetap terpakai atau diparkir sebab dinilai masih memerlukan peningkatan
kompetensi. Yang terjadi kemudian adalah bongkar-pasang posisi yang lama-kelamaan
menjadi hantu tersendiri bernama ‘’isu rolling’’.
Para kepala daerah se BMR pun menerapkan macam-macam
strategi demi menemukan SDM handal yang cocok dengan visi, misi, dan gaya
kepemimpinannya. Mulai dari impor birokrat hingga tukar-menukar antar daerah.
Hasilnya, jauh dari menggembirakan. Bahkan bagi birokrat yang agak cerdas dan
sudah menyandang golongkan di atas IIID, isu rolling adalah jalur cepat mencapai posisi impian. Tak laku di satu
daerah, tinggal mengajukan diri ke daerah lain. Sekian dan terima kasih.
Terobosan yang dilakukan Bupati Boltim, Sehan Lanjar, dengan
menguji coba hampir seluruh pimpinan SKPD, Badan, serta Lembaga di jajarannya
dengan Plt dan Plh, adalah ikhtiar mempromosikan mereka yang dianggap mampu
tetapi mesti terlebih dahulu membuktikan kompetensinya. Masalahnya, dengan
pendekatan seperti itu Eyang tetap tak bisa mengelak dari problem laten
kurangnya SDM. Pimpinan SKPD berstatus Plt atau Plh pada akhirnya sulit digeser
karena siapa lagi yang dapat menggantikan?
Di lain pihak, saya mengamati para kepala daerah se BMR yang
asyik dengan pendekatan-pendekatan populis dan politis juga abai terhadap
peningkatan profesionalisme, kapasitas, dan kapabilitas SDM birokrasinya.
Selang tiga tahun terakhir berapa banyak birokrat yang disekolahkan,
dikursuskan, atau mengikuti pendidikan penjenjangan? Pertanyaan yang lebih
sarkas: Berapa banyak birokrat di BMR yang diberi kesempatan atau didorong
melanjutkan pendidikan minimal setingkat master di PT terkemuka di dalam dan
luar negeri?
Setiap kali berada di beberapa kota utama di Asia,
Australia, dan Eropa, di mana banyak warga Indonesia menempuh pendidikan master
atau doktoral, saya kerap bersua dengan birokrat peraih beasiswa dari kabupaten
dan kota Sulut, kecuali dari BMR. Ini fakta menyedihkan yang menunjukkan visi
profesionalisme umumnya kepala daerah di BMR memang tidak lebih tinggi dari
pagar Kantor Pemkab atau Pemkot.
BMR menjadi provinsi sendiri adalah keniscayaan dari harapan
warga Mongondow. Mengurusnya dengan benar dan demi kemaslahatan Mongondow dan
wilayahnya adalah soal lain yang tidak boleh tidak mesti jadi konsern mendesak.
Bila tidak, tata-menata Provinsi BMR bakal tak beda dengan menyelesaikan satu
masalah dengan banyak persoalan.
Tentang SDM pula, isu Provinsi BMR membeber fakta lain yang layak
jadi catatan kritis warga Mongondow, yaitu lemahnya para politikus dari daerah
ini mempersuasi media agar suara dan pemihakan mereka mengaung. Saya mengamati,
di pekan-pekan menjelang Sidang Paripurna DPR RI dilangsungkan, politikus yang
kerap dikutip menyatakan komitmennya justru Paula Sinjal dari FPD; bukan dua
legislator berlatar Mongondow, Didi Moha (FPG) dan Yasti Mokoagow (FPAN).
Saya prihatin dengan ketidak-piawaian dua legislator
berlatar Mongondow itu, yang menyia-nyiakan kesempatan politik besar menjaga
dan menaikkan performance mereka di
tengah persepsi publik BMR. Sama dengan keprihatinan terhadap sejumlah anak
muda yang memimpin organisasi kepemudaan (resmi), ‘’bersumbu’’ dan berlangit
pendek yang menuding-nuding pihak lain, utamanya Gubernur Sulut, sebagai
sandungan aspirasi Provinsi BMR. Dibahas dan disetujui BMR sebagai salah satu
di antara 65 DOB mestinya menjadi noda di jidat mereka.
Tentu saya tak perlu mengajari perlunya oknum-oknum itu
meminta maaf terbuka pada Gubernur Sulut, sebagaimana tudingan mereka yang juga
dipublikasi di ruang publik. Sadar sendiri dan tahu malulah. Demikian pula
terhadap sejumlah orang yang di belakang punggung yang mencaci saya di media
sosial karena keberatan dengan unggahan di blog
ini, Kamis, 17 Oktober 2012 (Para Pencari
Panggung di Isu BMR). Bukankah hanya dalam waktu singkat terbukti siapa yang
sungguh mendukung pewujudan Provinsi BMR dan siapa-siapa yang cuma jadi
sandunga; siapa pula yang punya panggung dan siapa yang memang mencari-cari
panggung, bahkan dengan melawan fakta, akal sehat, dan sekadar tuding-menuding
gagah-gagahan?***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
BMR: Bolaang
Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang
Mongondow; Bolmut: Bolaang Mongondow
Utara; Bolsel: Bolaang Mongondow
Selatan; Boltim: Bolaang Mongondow
Timur; DOB: Daerah Otonomi Baru; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; Eyang: Sapaan Akrab Bupati Boltim; FPAN: Fraksi Partai Amanat Nasional; FPD: Fraksi Partai Demokrat; FPG: Fraksi Partai Golkar; KK: Kota Kotamobagu; Plh: Pelaksana Harian; Plt: Pelaksana Tugas; PT: Perguruan Tinggi; RI: Republik Indonesia; SDA: Sumber Daya Alam; SDM: Sumber Daya Manusia; SKPD: Satuan Kerja Perangkat Daerah; Sulut: Sulawesi Utara; Wabup: Wakil Bupati; dan Wawali: Wakil Walikota.