INSTITUSI yang mampu
memaksakan sesuatu yang bertolak belakang dengan standar, norma, dan etika umum;
yang sukses menggiring sejumlah banyak orang berpendidikan majal akal-pikirnya;
adalah kamp konsentrasi seperti Gulag. Atau, lembaga indoktrinasi dan cuci otak
yang pernah sukses dipraktekkan rezim Nazi dan komunisme Uni Sovyet.
Saya tidak tahu dan tidak mau menyimpulkan apakah para
pewarta di Radar Bolmong (juga mungkin
di induknya), yang kini masih
bertahan memikul kewajiban cash in, adalah
sejenis Blu yang lain, hasil sugesti massal, produk pengindoktrinasi dan pencuci-otak
handal, atau karena ada faktor semacam kesetiaan sesama ‘’anggota perkumpulan
perompak’’, dimana semuanya dengan sumringah menikmati hasil jarahan sesuai
pangkat dan kontribusi masing-masing.
Yang jelas ada fakta-fakta yang didadah, yang membuktikan
praktek keredaksian Radar Bolmong
bukanlah sebagaimana yang dilindungi UU No 40/1999 dan dipandu KEJ. Ujilah
fakta ini dan sampaikan secara terbuka bila ternyata apa yang saya tulis tak
mendasar. Sekadar menolak dengan klaim tanpa pijakan dan bukti, itu ocehan gagah-gagahan
orang mabuk yang biasanya meramaikan pesta-pora para bajingan di novel-novel
dan film-film ber-genre petualangan.
Keempat, tuduhan bahwa
kritik dan kritisasi saya terhadap kebijakan dan praktek jurnalistik di Radar Bolmong dipandu barisan sakit hati,
tak urung memercik ‘’gatal hati’’. Dari mana pula dugaan ini dipetik? Sekali
pun hal-ihwal menduga ini sesungguhnya tak mengejutkan. Telah lama saya cermati
Grup MP adalah kelompok penerbit yang sungguh gemar menggunakan ‘’diduga’’ di
banyak tulisan dan pemberitaannya. ‘’Diduga Ada Penyelewengan Dana APBD’’;
‘’Diduga Pilkada akan Tertunda’’; ‘’Diduga Ada Pungutan di Seleksi PNS’’; dan
banyak duga-duga yang lain. Sebagai Korlip, Idham Malewa boleh mengecek isi
medianya sendiri.
Penggunaan ‘’diduga’’ itu juga menunjukkan kerja jurnalistik
yang serampangan dan setengah hati. Wartawan kok menulis dugaan mirip tukang gosip di kedai kopi. Kerja
jurnalistik yang benar adalah beranjak dari dugaan, menelusuri, mengumpulkan
fakta, menguji semua fakta, meminta konfirmasi dari pihak-pihak yang terlibat
dalam isu yang disorot, kemudian menuliskan dengan berimbang. Dengan begitu,
dari penjudulan sebuah berita saja, katakanlah seperti ‘’Ada Penyelewengan Dana
APBD’’; ‘’ Pilkada akan Tertunda’’; ‘’ Ada Pungutan di Seleksi PNS’’; kualitas
isi dan isunya sudah mengundang kepercayaan pembaca.
Pertanyaan saya: Kapan Korlip MP menanyakan pada sesiapapun
yang diduga barisan sakit hati (eks-eks wartawan yang keluar atau dikeluarkan
dari Grup MP), bagaimana perasaannya terhadap institusi tempat mereka pernah bekerja?
Pula, di bagian manakah dari tulisan-tulisan saya yang mengindikasikan,
menyiratkan, atau menyuratkan kesakit-hatian dan ada barisan sakit hati yang
menjadi sumber.
Idham Malewa, menduga-duga itu zalim. Jauh berbeda dengan menuliskan
fakta, terlebih melawan penganiayaan terhadap kemanusian, sebagai ikhtiar
menjaga kewarasan dan keberadaban kita. Bahkan bila diperlukan, menganiaya para
pezalim cukup dapat diterima akal sehat manusia modern yang beradab. Mungkin
tepat bila saya sitir BBM seorang kawan, wartawan Harian Jurnal Nasional, yang tak ada angin dan hujan, Jumat pagi (11
Oktober 2013), mendadak mengirimkan kutipan Pramoedya Ananta Toer (Anak Semua Bangsa, (1980), ‘’Kalau
kemanusiaan tersinggung, semua orang berperasaan dan berpikiran waras ikut
tersinggung. Kecuali orang gila dan orang yang memang berjiwa kriminil, biar
pun dia sarjana.’’
Kemanusiaan saya tersinggung mengetahui nasib
jurnalis-jurnalis Grup MP yang institusinya menerapkan neraka cash in lewat praktek jurnalistik
‘’bbi’’, ‘’bbk’’, dan advertorial.
Saya bersimpati dan berempati pada mereka yang masih bekerja maupun yang ‘’ditendang’’
atau ‘’menendang dirinya’’ keluar dari kelompok penerbitan ini. Nah, Anda
berdiri di sisi yang mana menyikapi fakta yang demikian? Di antara orang-orang
yang berperasaan, berpikiran waras, dan tersinggung; atau orang gila dan mereka
yang memang berjiwa kriminil?
Kelima, apa dan
kepada siapa Pemred Radar Bolmong memiliki
moral obligation? Moral obligation seorang Pemred adalah berkhimat
pada profesinya, kewajiban, dan tanggungjawabnya. Menetapkan kebijakan dan
menegakkan praktek jurnalistik yang menjunjung kaidah-kaidah dan etika
jurnalisme. Dia bukanlah pedagang kelontong atau debt collector yang sibuk mengerahkan tenaga pemasaran atau tukang
tagih demi memenuhi, bahkan melampaui, target mengalirnya bertumpuk-tumpuk uang.
Wujud moral obligation
seorang Pemred adalah mengelola news room
dari hulu ke hilir dengan disiplin tinggi, inspiratif, serta mendukung kekebebasan
dan kreativitas para jurnalis menghasilkan tulisan dan berita yang berkualitas
dan layak dipercaya. Dia menjadi garda terdepan menjaga produk-produk jurnalistik
media yang dipimpin agar bebas dari segala intervensi (termasuk dari pemilik
modal dan elit-elitnya sendiri) dan hanya berpihak serta melayani kepentingan
publik.
Adakah keluhuran jurnalisme seperti itu masih diajarkan di
Grup MP? Pemred Radar Bolmong, Budi
Siswanto, dan Korlip MP, Idham Malewa, pasti lebih fasih menjawab dan
menjabarkan.
Dan keenam, korelasi
perilaku Pemred, kebijakan, dan praktek jurnalistik Radar Bolmong dengan fakta lapangan, Bapak Korlip Harian MP, tampaknya
hanya tak dapat dilihat dan didengar oleh mereka yang buta hati dan menulikan inderanya.
Lihat saja tulisan dan berita yang dimuat koran ini setiap hari. Tidak cukup?
Bagaimana dengan berombongannya jurnalis Radar
Bolmong meninggalkan tempat mereka mengabdi, bahkan termasuk wartawan
seperti Sumitro Dolot yang sudah melampaui satu dasawasa mengabdi di Grup MP.
Saya tidak akan mengungkap bagaimana siasat, trik, dan upaya
para pewarta Radar Bolmong supaya
sumber berita mengkontribusi kebutuhan cash
in semaksimal mungkin. Membuka fakta-fakta yang saya temukan hanya
mengakibatkan kerusakan ikutan yang tidak perlu. Bagi saya mereka adalah korban
dari sebuah sistem rusak dan tak beradab, yang didisain sepenuhnya menghamba
pada penyedotan dan penumpukan kapital demi kemakmuran sebesar-besarnya untuk
perusahaan, ‘’para dewa’’, dan elit-elit di atasnya.
Idham Malewa, Anda Korlip media yang menjadi induk kelompok
penerbitan yang mengklaim terbesar di Sulut. Anda punya pengetahuan, kecakapan,
sumber daya, dan perangkat menggali lebih dalam korelasi yang dipertanyakan
itu. Bila itu dilakukan, saya berani bertaruh hasilnya bakal membuat jengah akal
sehat, nurani, dan hati kecil Anda.
Begitula. Namun yang saya tuliskan ini baru tahap icip-icip seberapa lezat ‘’menu’’ induk Radar Bolmong. Dan mari kita tutup
dengan pertanyaan sebagai PR kecil untuk Korlip MP: ‘’Sejak kapankah onani
menjadi ‘isme’? Bolehkah saya menyematkan ‘onanisme’ pada jurnalis dan media
yang hanya memuaskan diri dengan fantasi liar sendiri, seolah-olah
mempraktekkan jurnalisme tapi nyata-nyata mengangkangi prinsip-prinsip
dasarnya?’’
Jika boleh, ‘isme’ itu memang anutan yang pas untuk praktek
jurnalisitik, jurnalis, dan grup media Anda.***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
APBD: Anggaran
Belanja dan Pendapatan Daerah; bbi:
Berita Berbayar Iklan; bbk: Berita
Berbayar Koran; BBM: BlackBerry
Messenger; Korlip: Koordinator
Liputan; MP: Manado Post; Pilkada: Pemilihan Kepada Daerah; Pemred: Pemimpin Redaksi; PNS: Pegawai Negeri Sipil; PR: Pekerjaan Rumah; dan Sulut: Sulawesi Utara.