PROVINSI BMR
dipastikan tak masuk prioritas pembahasan Komisi II DPR RI periode 2009-2014
masa sidang akhir 2013. Saya membaca kabar tak mengejutkan ini dari berita Sinyo Harry Sarundayang Dinilai Setengah
Hati Soal PBMR di situs Totabuan.Co,
Sabtu, 12 Oktober 2013 (http://totabuan.co/2013/10/12/sinyo-harry-sarundayang-setengah-hati-soal-pbmr/).
Bagi yang mengikuti dinamika politik dan pemerintahan
Indonesia, belum masuknya keinginan BMR memisahkan diri dari Provinsi Sulut sebagai
bahasan Komisi II, dengan segera dimahfumi. Selain aspirasi ini baru diseriusi
setahun terakhir, berbagai pra syarat dan syarat calon provinsi baru ini mesti diakui
disiapkan sangat kasip dan karenanya ‘’mungkin’’ masih jauh dari sempurna. Yang
paling sederhana adalah batas-batas wilayah di Utara, antara Boltim dan Mitra,
yang hingga saat-saat terakhir pengajuan dokumen ke DPR RI belum sepenuhnya disepakati
oleh dua kabupaten ini.
Mengulik lebih ke dalam, pembentukan Provinsi BMR boleh
dibilang masih sebatas isu yang dianggap penting sekelompok elit dan
pendukung-pendukungnya. Kelompok ini pun terbagi di dua kutub yang sering
bersilang jalan. Bupati Boltim, Sehan Lanjar, misalnya, menjadi motor yang
paling kerap menyuarakan dan mendorong isu ini ke permukaan. Eyang praktis
dapat dikelompokkan, bersama dengan Ketua P3BMR dan jajaran di bawahnya, di
garis ‘’kelompok pekerja’’.
Kelompok itu, sekali pun di permukaan riaknya tak nampak,
sebenarnya berhadap-hadapan dengan para Kepala Daerah lain di BMR yang
cenderung ‘’dingin’’ dan tidak menunjukkan minat memberikan dukungan serius.
Sosok yang paling menonjol di ‘’kelompok pengganggu’’ ini adalah mantan
Walikota KK, Djelantik Mokodompit, dan beberapa orang yang dikenal sebagai
antek-antek politiknya. Dalam catatan saya, Djelantik hampir tidak pernah
menghadiri pertemuan-pertemuan antar Kepala Daerah di Mongondow yang membahas
isu Provinsi BMR.
Kelompok pengganggu itu, baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama juga mendistorsi proses pembentukan Provinsi BMR dengan aneka isu.
Sebagian warga Mongondow mungkin telah lupa bagaimana sejumlah orang yang
mengaku aktivis menggelar demo dengan membakar keranda dipajangi foto Gubernur
Sulut, SH Sarundajang. Demikian pula dengan kampanye omong kosong Muliadi Mokodompit,
MSi, bahwa cita-cita provinsi di wilayah Mongondow bakal terwujud Mei 2013,
bahkan dengan klaim mengantongi konfirmasi dari DPR RI dan sokongan KAHMI.
Belakangan belang Muliadi Mokodompit terungkap dari adanya
dugaan penyalahgunaan dana yang seharusnya dia pertanggungjawabkan ke P3BMR.
Dugaan ini, sepengetahuan saya, sudah dilaporkan oleh Denny Mokodompit ke
Polres Bolmong. Kasusnya berlanjut atau tidak, sekali lagi kita tanyakan saja
pada gerbang masuk Mapolres. Soalnya cukup banyak laporan ke polisi yang cuma
berakhir tak berbeda dengan melemparkan catatan belanja ke tong sampah. Hanya,
konsern saya, kendati terbukti tukang bohong dan gemar mencatut, hingga kini
Muliadi Mokodompit masih berani berkeliaran di Mongondow.
Sudah menjadi tipikal di negeri ini, di setiap isu-isu
besar, terutama yang terkait kepentingan publik, selalu ada orang dan pihak
yang secara sadar menyelip dan menyalip. Agenda, pernyataan, dan tingkah pola
mereka seolah-olah demi orang ramai; tapi yang sesungguhnya tak lain upaya
mencari panggung, dari sekadar mendapat perhatian dan tepuk tangan hingga
mengail di air keruh demi keuntungan pribadi.
Provinsi BMR (bersama rencana Kabupaten Bolteng) adalah isu
renyah, apalagi untuk para politikus yang sedang menyongsong kompetisi Pemilu
2014. Pernyataan-pernyataan yang riuh disuarakan anggota DPR Sulut dari PDIP,
Benny Rhamdani, yang di Pemilu 2014 mendatang mencalonkan diri sebagai anggota
DPD RI, misalnya, adalah cara yang masih cukup pantas dari pemanfaatan isu
pemekaran di wilayah Mongondow untuk kepentingan politik pribadi. Sekali pun
pernyataannya lama-lama membosankan karena cuma bombastis, berlebihan, tapi
‘’kurang dipikir matang’’.
Demikian pula dengan anggota DPR RI, Didi Moha(PG) dan Yasti
Mokoagow (PAN) yang berjanji mengawal proses pemekaran Provinsi BMR. Bagaimana
upaya dua politikus asal Mongondow ini dalam ‘’mengawal’’ proses Provinsi BMR,
hanya mereka yang tahu persis. Yang jelas sejak meruyaknya kabar tak masuknya
isu ini dalam bahasan Komisi II DPR RI, Didi dan Yasti belum kedengaran
suaranya. Dengan baik sangka, saya menduga mereka masih memformulasi alasan
supaya tak kehilangan muka dan dianggap ternyata memang cuma ‘’anak bawang’’ di
DPR RI.
Tiga politikus itu tentu saja lebih baik dibanding umumnya
politikus Bolmong di DPR Sulut yang hampir tak kedengaran bersuara. Kemana mereka
dan apa yang dikerjakan? Bukankah ‘’tugas’’, tabiat, dan hobi politikus antara
lain adalah bersuara? Rugi betul warga Bolmong memilih politikus yang selain wowo’, ternyata juga pongo atau setidaknya somu-somu.
Namun, di antara sosok, tingkah, dan keriuhan yang
disuarakan berkenaan dengan Provinsi BMR, yang membuat saya mengerutkan kening
dan mengeleng-ngeleng adalah pernyataan Ketua KNPI Bolmong, Anhar Pasambuna,
dan Ketua KNPI Boltim, Haris Pratama Soemanta. Sebagaimana dikutip Totabuan.Co, Anhar menilai tak masuknya
Provinsi BMR dalam pembahasan DPR RI di periode sidang hingga akhir 2013 karena Gubernur SH Sarundajang hanya berjuang setengah hati. ‘’Kelihatan memang
setengah hati. Pernyataan-pernyataan di setiap kesempatan, bahkan di media,
hanya janji,’’ kata Anhar. Penilaian Ketua KNPI Bolmong ini dipertegas
koleganya, Ketua KNPI Boltim, bahwa, ‘’Hanya satu kata, Pemprov (Sulut) lambat.’’
Sebagai politikus
dan perpanjangan tangan Pemerintah Pusat di Sulut, SH Sarundajang tentu turut
bersiasat dalam isu Provinsi BMR. Apakah ‘’permainannya’’ demi mendukung dan
mempercepat terwujudnya keinginan yang diklaim sebagai harapan seluruh warga
Mongondow; atau sebaliknya memperlambat, harus dibuktikan tidak sekadar dengan
tuduhan dan penilaian subyektif. Saya tidak punya urusan dengan SH Sarundajang,
tetapi akal sehat politik saya mengatakan: Mengingat dia sudah berada di
periode kedua kepemimpinan, semestinya Gubernur Sulut berada di antara mereka
yang mendukung sesegera mungkin Provinsi BMR terwujud. Dia mantan birokrat
handal dan politikus piawai yang amat paham bahwa seorang tokoh memerlukan legacy supaya namanya dikenang dengan
indah, khusyuk, dan penuh hormat. Dan Provinsi BMR adalah salah satu legacy yang paling mungkin dan paling
monumental.
Dengan begitu,
pernyataan Anhar Pasambuna yang bersambut-gayung dengan Harris Pratama
Soemanta, adalah omongan pencari panggung yang mengindikasikan mereka masih
jauh dari pantas memimpin organisasi sekelas KNPI. Walau organisasi pemuda ini
belakangan juga cuma sekadar pajangan di acara-acara resmi pemerintah dan
kemasyarakatan, ketuanya tetap saja merepresentasi ‘’sesuatu’’. Tidak punya
otak dan asal bicara itukah yang ingin dijadikan persepsi KNPI di Bolmong dan
di Boltim?
Lagipula,
sebenarnya apa yang sudah disumbangkan organisasi ini dalam mendukung
terwujudnya Provinsi BMR? Kalau sekadar bising tidak karuan dan menambah daftar
kejengkelan baru, para pilot bentor yang lalu-lalang di seantero Mongondow
dengan musik membahana lebih mumpuni dan teruji.***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
bentor: Becak
Bermotor; BMR: Bolaang Mongondow
Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; Bolteng: Bolaang Mongondow Tengah; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; DPD: Dewan Perwakilan Daerah; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; Eyang: Nama populer Sehan Lanjar; KAHMI: Korps Alumni Himpunan Mahasiswa
Islam; KK: Kota Kotamobagu; KNPI: Komite Nasional Pemuda Indonesia;
Mapolres: Markas Kepolisian Resort; Mitra: Minahasa Tenggara; P3BMR: Panitia Pembentukan Provinsi
Bolaang Mongondow Raya; PAN: Partai
Amanat Nasional; PDIP: Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan; Pemilu:
Pemilihan Umum; PG: Partai Golkar; Polres: Polres Resort; RI: Republik Indonesia; dan Sulut: Sulawesi Utara.