SEJAK Jumat, 18
Oktober 2013, informasi itu berturutan datang dengan versi agak berbeda satu
dengan yang lain.
Kabar versi pertama dilayangkan seorang sobat wartawan di
Kotamobagu, bahwa per Kamis, 17 Oktober 2013, wartawan Harian MP Biro Bolmong,
Firman Toboleu, ditugaskan ke Radar
Bolmong di posisi Wapemred. Dengan demikian koran ini punya dua Wapemred,
masing-masing Firman dan Yokman Muhaling.
Versi kedua yang disampaikan beberapa kawan (juga berprofesi
jurnalis), menyebutkan Firman dipindahkan ke Radar Bolmong dengan jabatan Pemred, menggantikan Budi Siswanto
yang dipromosi menjadi GM. Di atas mereka berdua ada Taufik Adam sebagai
Direktur sekaligus ‘’orang nomor satu yang menjalankan operasi sehari-hari’’
karena Presdir, M Tauhid Arief, masih menjadi ‘’komandan tertinggi’’ anak
penerbitan Grup MP di Malut.
Mana yang paling benar di antara dua versi informasi itu? Menurut
salah seorang informan, ‘’Tidak penting apakah Firman masuk sebagai Wapemred
selama dua-tiga minggu, dua-tiga bulan, kemudian dilantik jadi Pemred atau
langsung resmi sebagai Pemred. Yang sudah confirm
dia dipindah ke Radar Bolmong. Tentu
pemindahan itu tidak mungkin hanya ke posisi Redpel atau Redaktur.’’
Penjelasan yang sangat masuk akal. Lagipula apa urusan saya
dengan perubahan di manajemen keredaksian Radar
Bolmong? Secara pribadi saya mengenal Firman sebagai wartawan yang tidak
riuh, humble, dan banyak senyum. Dia
tipe pewarta yang bertekun dengan pekerjaan sembari mengambil jarak dari
hiruk-pikuk khas jurnalis Indonesia umumnya yang senang mempertontonkan betapa
penting kehadiran mereka di tengah publik.
Pengetahuan dan penilaian saya terhadap Firman mungkin bias
karena kami memang tidak pernah bergaul secara intens, dibanding misalnya
hubungan saya dengan Tauhid Arief yang berakar hingga 20 tahun lampau ketika
setiap malam saling memberi dukungan di ‘’balapan’’ deadline zaman MP masih berkantor di Tikala. Saya tak dapat
menggambarkan Firman sebaik melukiskan bagaimana karakter Tauhid yang selalu
ceria tetapi kerap kelewat santai. Namun, di antara banyak perbedaan di antara
mereka, yang pasti saya tak meragukan keduanya adalah jurnalis yang baik,
dengan cara, gaya, dan ekspresi masing-masing.
Bahkan Firman lebih unggul dalam satu aspek: Di banyak
pertemuan dengannya, saya melihat dia adalah observer yang handal. Seorang
pencermat yang sekali pun tak bersuara, kehadirannya terasa kental. Andai Grup
MP menskenariokan Firman sebagai pengganti Budi Siswanto, menurut hemat saya
dia bakal menjadi role model dan
motivator yang diterima semua pihak.
Masalahnya, Firman (dalam posisi Pemred atau Wapemred) menapak
redaksi Radar Bolmong saat –diakui
atau tidak-- koran ini tengah diguncang krisis. Dua bulan terakhir sejumlah
wartawannya mengundurkan diri atau dipaksa mundur; beberapa dinon-aktifkan
(salah satunya bahkan dua kali menulis di blog
ini), serta yang terakhir saya mendengar lebih dari empat pewarta juga bakal
mengajukan pengunduran diri di pekan-pekan depan. Secara spekulatif bahkan
diprediksi, dengan derasnya arus keluar wartawan, bukan tak mungkin redaksi koran
ini bakal hanya diperkuat lima-enam wartawan dan dua calon reporter.
Minimnya jurnalis yang memperkuat redaksi bukan masalah di
jangka pendek. Sebagai bagian dari Grup MP, Radar
Bolmong tidak akan kering berita karena disuplai dari induk dan sesama anak
perusahaan yang lain, khususnya yang juga menempatkan wartawan di BMR.
Paling-paling yang berlangganan Radar
Bolmong sekaligus MP, Posko Manado atau Radar Manado, mesti menahan kecewa karena telah merogoh kantong
untuk dua-tiga produk tapi pada dasarnya cuma menerima satu.
Di jangka menengah dan panjang keterbatasan SDM justru lebih
mengguncang pencapaian target cash in.
Celakanya, manajemen Radar Bolmong
baru menerima ‘’titah’’ bahwa di 2014 mendatang pemasukan dari ‘’bbi’’,
‘’bbk’’, atau advertorial dinaikkan
30 persen dibanding 2013. Selain target cash
in, para dewa di jajaran puncak ‘’katanya’’ juga menetapkan koran yang
dicetak dan terjual harus mencapai jumlah paling sedikit 5.000 eksemplar per
hari.
Minimnya jumlah wartawan menyebabkan pemasukan cash in melorot tajam. 10 jurnalis
dengan (misal) kewajiban Rp 10 juta per bulan, membawa masuk dana segar ke kas
perusahaan sebesar Rp 100 juta. Dengan hanya 5 wartawan, setiap orang harus
menanggung Rp 20 per bulan supaya jumlah yang sama tetap tercapai. Dengan
menaikkan target lebih besar 30 persen, maka minimal beban setiap wartawan
bertambah tak kurang dari Rp 6 juta. Bagaimana kalau targetnya Rp 30 juta per
bulan? Firman Toboleu pasti mulai berkeringat dingin ketika menghitung-hitung
pikulan yang dibebankan ke pundaknya.
Bagaimana dengan oplah? Menjual koran sama sekali berbeda
dengan menjajakan panada. Koran yang
diburu pembaca adalah yang kredibel dan isinya memang dibutuhkan. Produk
kebijakan dan praktek jurnalistik Radar
Bolmong yang compang-camping bukanlah pilihan yang mengundang selera.
Tantangan untuk Firman adalah: Meniadakan cash
in agar berita dan tulisan yang dipublikasi Radar Bolmong berkualitas top dan karenanya diperlukan pembacanya;
atau memburu cash in dan wassalam
dengan oplah. Konsumen media yang kian cepat bertambah cerdas dan selektif
hanya akan melempar koran ‘’bbi’’, ‘’bbk’’, atau advertorial ke tong sampah.
Pembaca, sebagian besar Anda mungkin tidak ingat atau tidak
tahu beberapa tahun silam pernah terbit Tabloid Totabuan yang isinya khusus ditujukan dan tentang Mongondow. Umur
tabloid ini tidak panjang, tetapi melahirkan beberapa jurnalis yang ada di
antaranya kemudian bergabung ke Harian MP. Percaya atau tidak, oplah riil (yang
terjual langganan dan eceran) Totabuan
ternyata lebih besar hampir dua kali dari oplah Radar Bolmong saat ini.
Dari semua aspek, Totabuan
juga jauh di atas kelas Radar Bolmong.
Media ini benar-benar melarang pewartanya menerima apapun dari sumber berita,
semua yang dipublikasi mutlak memenuhi standar kerja jurnalistik, serta redaksi
dan usaha diberi pembatas yang tak dapat ditawar. Nyatanya Totabuan menguntungkan. Buktinya, hanya dalam beberapa bulan
redaksi dan usaha punya mobil (bekas) operasional yang diberi nama Kumbai oleh para pengelola media ini.
Andai sedemikian prospektif-nya, mengapa tabloid itu berumur
pendek? Jawabannya, Totabuan ditutup
bukan karena rugi, ditinggal pengelolanya, atau sebab kehilangan pembaca,
melainkan faktor lain yang bila dikenang hingga kini selalu membuat hati eks
orang-orangnya meleleh.
Dengan dukungan membesarkan semangat Firman Toboleu, saya
berharap dia mampu menjadi ‘’kapten’’ yang diharapkan jajaran redaksi, konsumen
Radar Bolmong, dan masyarakat BMR
umumnya. Semoga promosi itu bukan hukuman, tetapi benar-benar apresiasi
terhadap profesionalisme, ketrampilan, dan kecakapannya sebagai jurnalis. Akan
halnya penunjukkan Budi Siswanto di posisi GM, hanya menunjukkan bahwa semakin
ngawur dan tidak kompetennya seseorang di Grup MP, sepanjang dia patuh pada
‘’para dewa’’ dan piawai jadi mesin uang, selalu tersedia jabatan lebih tinggi
dan wewenang yang kian besar.***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
bbi: Berita
Berbayar Iklan; bbk: Berita Berbayar
Koran; BMR: Bolaang Mongondow Raya; GM: General Manager; Malut: Maluku Utara; MP: Manado Post; Pemred: Pemimpin Redaksi; Presdir:
Presiden Direktur; Redpel: Redaktur
Pelaksana; SDM: Sumber Daya Manusia;
dan Wapemred: Wakil Pemimpin
Redaksi.