BBM yang saya
terima, Senin, 7 Oktober 2013, dengan santun meminta izin menyampaikan kritik.
Waduh, memangnya kritik dilarang dan sejak kapan harus mengantongi izin
kepolisian? Kritik, dengan cara apapun dan kapanpun, tetaplah kritik. Saya
dengan sukarela menerima dan mempersilahkan yang dikandung pikiran dan hati itu
diekspresikan sebebas-bebasnya.
Ternyata, yang ingin diutarakan adalah penilaian bahwa tulisan-tulisan
yang saya unggah di blog ini,
terlebih yang belakangan berkaitan dengan kritik dan kritisasi terhadap Pemred
serta kebijakan dan praktek jurnalistik di Radar
Bolmong, bertendensi ‘’narsisme intelektual’’. O, ini bukan kritik tetapi
apresiasi, karena saya sendiri tidak pernah merasa menjadi intelek atau pantas
dianggap intelektual. Tulisan-tulisan saya hanya berlandas kewarasan, norma,
etika, sedikit referensi (jauh dibanding kelas Goenawan Mohamad), serta standar-standar
sosial dan budaya yang menjadi common
practices sehari-hari.
Terima kasih atas kritik (atau pujian) yang disampaikan itu.
Setidaknya ‘’narsisme intelektual’’ jauh lebih terhormat dan bermutu dibanding
narsisme jurnalisme cash in yang
mempraktekkan profesinya bahkan dengan instruksi memeras.
Sesungguhnya, saya tidak pernah menduga kritik dan kritisasi
saya terhadap Pemred Radar Bolmong dan
manajemen keredaksian yang dia praktekkan, yang lebih buruk dari kamp Gulag,
bakal mengundang heboh. Tidak pula tulisan-tulisan yang saya unggah bakal
membuka Pandoras’ Box, membuat segala
jin, iblis, setan, dan aneka penghuni neraka berhamburan; yang kini mulai
mengungkap apa, siapa, dan bagaimana modus satu kelompok media melakukan ‘’perampokan
halus’’ secara sistemik di Sulut lewat ‘’bbi’’, bbk’’, atau advertorial.
Kritik dan kritisasi saya (penjelasan yang berulang-ulang
rasanya mulai membosankan) dilindungi UU No 40/1999 yang mengikat dan wajib
dipatuhi setiap institusi media. Tidak pula melenceng dari hak warga negara
(bukan hanya pembaca Radar Bolmong)
untuk mengontrol sejauh mana media dan para pewartanya menegakkan KEJ. Bahwa
segala sesuatu yang berada di luar cakupan dan perlindungan UU N0 40/1999 dan
KEJ bukanlah perilaku dan praktek jurnalisme. Dia kriminalitas terorganisir,
terstruktur, dan terencana berkedok jurnalisme.
Tulisan saya juga dipublikasi terbuka di blog ini (memangnya Radar Bolmong mau memuat kritik saya terhadap compang-campingnya
isi korannya?), tidak dengan menyindir-nyindir, fokus hanya pada Pemred
(sebagai representasi kebijakan dan praktek di news room institusi pemberitaan), serta didukung fakta dan
kesaksian yang kesahihannya dapat diuji hingga ke Dewan Pers dan meja hijau.
Bahwa manajemen dan keredaksian Radar Bolmong tidak tahu, tidak mau tahu, atau bingung menyikapi,
bukan urusan saya. Bila mereka keberatan, tempuh upaya yang dijamin oleh hukum
di negeri ini. Atau buktikan dengan fakta-fakta yang menggugurkan bukti dan
argumen saya. Di saat yang sama, pihak-pihak lain yang hanya terkait karena
hubungan kekeluargaan atau kolega dan sesame jurnalis dari grup penerbitan yang
sama, berhak melakukan pembelaan terhadap Pemred Radar Bolmong dan kebijakan keredaksian yang dia praktekkan. Tapi
lakukan itu dengan cara yang sama-sama terbuka dan berharga-diri, dengan
argumen yang menunjukkan kualitas dan patut dihormati.
Musabab argumen yang diutarakan bermuatan emosi atau tidak,
saya tidak ambil pusing. Kalau Radar
Bolmong boleh mengedepankan cash in
dan memerintah pewartanya melakukan pemerasan, mengapa tidak kritik dan
kritisasi terhadap laku cemar itu dimuati emosi, bahkan sakit hati? Memangnya
ada ekspresi yang lebih baik dan tepat mewakili ungkapan terhadap gerombolan
perompak kecuali kutukan?
Sorotan saya terhadap Pemred serta kebijakan dan praktek
keredaksiannya di Radar Bolmong, juga
dengan tegas sedapat mungkin dibatasi pada wilayah publik. Memang ada urusan
pribadi, penistaan terhadap marga dan nama kakek buyut saya, tetapi itu akan
diselesaikan dengan cara pribadi pula. Sekali pun, penistaan itu menjadi salah
satu bukti (bersama bukti-bukti lain, termasuk instruksi memeras DRP KK),
bagaimana kualitasnya sebagai Pemred yang akhirnya termanifestasi dari wajah
koran yang melecehkan publik (nara sumber dan pembacanya).
Itu sebabnya saya keberatan dengan ulah Bambang Hermawan,
wartawan Posko Manado, Ketua PANDU
Sulut, yang juga adik kandung Budi Siswanto, yang menyebarkan olok-olok dan
sindirin ‘’GILA Noh’’ di media-media sosial. Saya akan mengurusi hal ini
di kesempatan khusus sebagai masalah
pribadi.
Namun, secara terbuka, sikap saya adalah: Bambang Hermawan,
Anda boleh membela profesi, grup penerbitan di mana Anda bekerja, dan kakak
Anda, tetapi lakukan dengan cara ‘’laki-laki’’. Jangan mengikuti jejak becek
penghinaan terhadap sesuatu yang sangat pribadi dan prinsipil. Sebelum
terlambat, saya ingin mengingatkan, Anda tidak tahu monster dan hewan jahat
seperti apa yang sedang Anda usik. Jangan sampai mereka bangun dan menciptakan
kerusakan, juga sesal sepanjang sisa kehidupan Anda. Ini Mongondow, tanah
tempat bermukim para pemaaf yang welas asih dan suka ria dalam susah-senang;
sekaligus juga para pendendam yang punya ingatan dan kesabaran panjang menuntut
piutang nista.
Saya juga kecewa dengan Korlip Harian MP, Idhan Malewa, yang
hanya menyindir-nyindir lewat status BBM, yang kemudian di-capture dan diteruskan oleh beberapa kawan. Begini, Bung Korlip,
kalau sebagai jurnalis Anda menilai apa yang saya tulis keliru, putar bale, dan sesat, tulis dan
publikasi bantahan yang membuktikan keberatan itu. Kalau saya dinilai menzalimi
Radar Bolmong, bahkan grup MP, beber
di tulisan dan bagian mana penzaliman itu dilakukan? Bukankah saya telah
membuktikan bahwa sebagai sebuah institusi Radar
Bolmong memang menzalimi awak redaksinya?
Lebih mengecewakan lagi, Selasa (8 Oktober 2013), Idhan
Malewa mem-broad cast BBM yang berisi
aneka tuduhan, mulai dari sasaran saya bukanlah Budi Siswanto, melainkan
institusi (yang mana, Radar Bolmong atau
grup-nya hingga ke JP?); blog ini
hanya mengumbar kejanggalan dan salah analisis; yang dijalankan Pemred Radar Bolmong adalah strategi pasar yang
mengadopsi praktek Grup MP (ini juga membuka Pandora’s Box yang lain); pembantaian; serta tulisan-tulisan saya
kehilangan fairness, logika,
menghasut, dan mencari pembenaran dari sekutu dan ‘’Brutus-Brutus’’. Baiklah,
kalau ini diperlakukan sebagai perang dan diperluas kemana-mana oleh salah satu
level eksekutif di di Redaksi MP, mari kita berperang.
Namun, sebelum itu, Idham Malewa, saya berterima kasih
karena di broad cast tersebut Anda
menuliskan pernah mengagumi dan membela pikiran-pikiran saya semasa mahasiswa.
Ini tidak akan saya lupakan.***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
bbi: Berita
Berbayar Iklan; bbk: Berita Berbayar
Koran; BBM: BlackBerry Messenger; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; JP: Jawa Pos; KEJ: Kode Etik Jurnalistik; KK:
Kota Kotamobagu; Korlip: Koordinator
Liputan; MP: Manado Post; PANDU: PAN Muda untuk Indonesia; Pemred: Pemimpin Redaksi; dan UU: Undang-undang.