LAMA tak
berkontak, Kamis pagi, 10 Oktober 20013, Jemmy Lantong tiba-tiba menelepon
saya. Biasanya saya yang suka menghubungi dia, khususnya menjelang Idul Fitri
atau hari-hari khusus (termasuk Idul Adha). Perkara yang saya hatur pun
biasanya sangat serius. Menanyakan apakah Jemmy atawa Ama’ i Miti sedang
berencana menyiapkan hidangan ilulut
atau tidak.
Hidangan yang terbuat dari kulit, daging, dan tulang sapi,
yang dengan resep rahasia tertentu dimasak tanpa penyedap (termasuk garam) ini,
anehnya kaya rasa dan nuansa. Cara mengkonsumsinya pun tidak rumit dan sophisticated: cukup dengan dabu-dabu
(juga dengan diramu khusus) dan nasi mengepul. Sedapnya.
Pembaca, saya memang penggila ilulut ala Motoboi Kecil. Menurut saran dan simpulan lidah, leher,
dan perut saya, teknik warga Motoboi Kecil mengolah makanan amat sangat khas
Mongondow ini berbeda dengan yang umum ditemui. Ilulut dari ‘’negara tetangga’’ Jalan Amal ini lebih basah, berkuah
tapi juga tidak (ini bahasa yang membinggungkan tetapi demikian memang adanya),
dan smooth melewati seluruh jaringan
instalasi pengolah asupan tubuh manusia.
Dokter yang menyarankan agar saya menghidari melahap ilulut demi kemaslahatan kadar
kolesterol atau cengkeraman darah tinggi, pasti bakal dihapus dari daftar
konsultasi. Mengingat indera cecap saya tergolong kuper kuliner, wahai para
ahli kesehatan dan gizi, mohon diizinkan ilulut,
ikan asin, durian, pete, talas rebus, dan wine
tetap ada di daftar menu saya.
Sayang fantasi ilulut
harus diintrupsi. Jemmy yang nama lengkapnya selalu segan saya tulis (karna
sangat mirip dengan nama Ayahnya), menelepon demi sebuah perkara serius:
Bagaimana adat dan tradisi di Mongondow tetap dijaga dan dilestarikan (yang
luntur dan nyaris terlupa dikonservasi) melalui pelembagaan yang diformalkan
oleh otoritas publik tertinggi di setiap wilayah BMR. Bentuknya, menurut Ketua
Amabom ini, dituangkan dalam Perda Lembaga Adat.
Menjaga dan melestarikan budaya, tradisi, dan adat bagi
setiap komunitas, entitas, atau etnis adalah kewajiban luhur eksistensinya.
Ibarat berumah, tanpa tiga aspek penting itu, kita berdiam di bangunan tanpa
atap yang morat-marit dan boleh dimasuki siapa saja seenak ke mana telunjuk
neneknya mengarah (bermain-main upil di lobang hidup, mengorek-ngorek telinga,
atau mencungkil slilit di sela gigi, di sembarang tempat dan waktu).
Masalahnya, budaya, tradisi, dan adat adalah konvensi yang
hidup dan dihidupkan di tengah masyarakat, yang sifatnya menyatu bagai aliran
darah di tubuh manusia. Ketika dia dilembagakan, di penjuru dunia mana pun,
sesuatu yang luhur dan agung kerap tergelincir pada penyelewengan. Konstitusi
negeri ini, misalnya, ketika tafsir, penegakan, dan pengawalannya dilembagakan
lewat MK, justru tercoreng oleh kelakuan para penjaganya sendiri.
Warga KK pernah menyaksikan bagaimana Walikota 2009-2013,
Djelantik Mokodompit, memanipulasi adat menghadapi perseturuan dengan
lawan-lawan politiknya. Para pungawa adat dikerahkan, bersidang, dan akhirnya
menjatuhkan sanksi terhadap seteru politik Walikota, yang hingga kini
putusannya tak pernah dieksekusi. Kita akhirnya cuma menyaksikan lelucon yang
sebenarnya meleceh hal-hal yang tinggi dan dijunjung, yang diintisarikan dari
tahun-tahun dan abad sejak orang Mongondow pertama mulai menghuni Lopa’ in Totabuan.
Saat tokoh-tokoh dan elit publik dengan seenaknya
membengkok-bengkokkan adat, di kampung-kampung orang banyak terseok-seok meraih
pengangan pada sejumlah kecil tetua yang masih setia meniupkan roh agung etnis
Mongondow ini. Kendati, kian hari mereka juga hampir tak kuasa menahan derasnya
lumeran adat yang kepayahan diterjang arus budaya dan tradisi kontemporer. Tak
semua yang baru buruk, tak selalu yang lama itu baik dan benar. Tetapi
kehilangan seluruh yang lama bukanlah esensi peradaban.
Bangunan budaya, adat, dan tradisi yang dikonstruksi dari
setiap pengalaman yang ditapaki orang Mongondow kini hanya dipraktekkan sekadar
sepotong seremoni. Seorang tetua memberi pengantar dalam bahasa Mongondow di mintahang telah menjadi adat karena kita
orang Mongondow; mogama’ harus
diselenggarakan di setiap ikatan pernikahan karena demikian kata adat; dan para
pemimpin mesti menyandang gelar adat karena dia adalah pemangku budaya dan
tradisi Mongondow.
Kita seolah melupakan mintahang
bukan sekadar makan-makan dalam sedih, senang, susah, dan syukur. Orang
Mongondow mengalami amnesia permanen bahwa kalau ada mogama’, bagaimana dengan
mopobui? Jangan ditanya lagi dengan gelar yang biasanya disematkan ketika
seorang tokoh naik ke jabatan publik tinggi. Kita tak peduli setelah itu
ternyata dia curang dan hanya menjarah hak orang banyak; gagal melaksanakan
amanah; serta cacat dan buruk secara sosial, dia tetap Ki Sinungkudan. Praktek adat Mongondow dalam tafsir tahun-tahun ke
belakangan ini memang memilukan hati.
Kesadaran itu membuat saya spontan menyatakan dukungan
terhadap upaya Jemmy mendorong re-aktualisasi budaya, adat, dan tradisi
Mongondow, sepanjang dia sesuai, tepat, dan sejalan dengan kekinian. Sekali pun
saya juga bukan fans Amabom yang di
beberapa kesempatan kerap saya kritik. Ikhtiar yang baik harus
dibersama-samakan perwujudannya.
Di sisi lain, saya tak dapat menyembunyikan kekuatiran.
Melembagakan adat dengan menuangkan dalam bentuk Perda tidaklah sulit. Mau
diberi nama ‘’Lembaga Adat’’, ‘’Dewan Adat’’, Majelis Adat’’, atau
‘’Perhimpunan Penderita Supi’ dan
Darah Tinggi’’, laksanakan saja. Tapi bagaimana dengan implementasinya?
Siapa-siapa yang berhak duduk dan bagaimana memilih mereka? Soalnya, sejauh
yang saya ketahui, urusan tetek-bengek teknis bukanlah hal sulit; tidak dengan
kearifan dan kebijakan yang menjadi fondasi utama adat Mongondow.
Saya kuatir bahkan baru ditahap menentukan orang per orang
yang dipercayai menjadi hakim keberadatan dan peradatan orang Mongondow, kita
sudah terjebak di tengah arena perebutan pengaruh dan klaim. Belum lagi
menetapkan mana yang menjadi wilayah budaya, adat, dan tradisi; dan mana yang
mesti tetap tunduk pada hukum formal dan praktek-praktek berbangsa dan
bernegara. Bagaimana pun Mongondow adalah bagian dari Republik Indonesia.
Tapi saya percaya pada ajaran orang-orang tua bahwa niat
baik harus diwujudkan. Kalau ternyata setelah itu dia menjadi bengkok, maka
tinggalkan dan mulai mencari ikhtiar baru yang lebih baik. Karenanya, Jemmy dan
seluruh orang Mongondow, mari kita urus perkara ini dengan sebaik-baik,
sesaksama-saksama, dan sesegera-segeranya.***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
Amabom: Aliansi
Masyarakat Adat Bolaang Mongondow; BMR:
Bolaang Mongondow Raya; KK: Kota
Kotamobagu; kuper: Kurang Pergaulan;
MK: Mahkamah Konstitusi; dan Perda: Peraturan Daerah.