KOSAKATA cash in yang bertebaran di
tulisan-tulisan yang diunggah sejak Kronik
Mongondow mulai menyoroti praktek jurnalisme Harian Radar Bolmong (dan Grup MP umumnya), Rabu 2 Oktober 2013,
mengundang banyak keingin-tahuan. Bila disintesa, pertanyaan-pertanyaan yang
disampaikan berkisar pada bagaimana dan dipraktekkan seperti apa konsep yang
bak neraka bagi para pewarta profesional ini.
Seorang kawan, jurnalis media terkemuka di Jakarta yang
kebetulan berada di Manado pekan lalu dan tidak sengaja membaca blog ini, secara khusus mengontak saya
karena penasaran dengan konsep dan praktek cash
in. Dia tak percaya Radar Bolmong,
yang menjadi bagian dari grup penerbitan besar, secara terbuka mengangkangi
seluruh fundamen dan etika jurnalistik. Lebih tidak percaya lagi tatkala
diberitahu bahwa Harian MP yang menjadi induk Grup MP telah lama mempraktekkan
kewajiban cash in.
Saya menjelaskan, salah satu yang paling telanjang diamati
dari implementasi konsep cash in oleh
redaksi Grup MP adalah dengan menelisik halaman demi halaman Harian MP. Setelah
membolak-balik beberapa edisi Harian MP, kawan itu menyimpulkan,
halaman-halaman yang di bagi per daerah (kabupaten dan kota) memang umumnya
berisi ‘’berita dan tulisan tentang yang baik-baik saja’’, apalagi ketika
mengutip pejabat publik di level
elit. Kalau pun ada yang mengindikasikan pengungkapan masalah atau telisikan
kritis wartawannya, lebih ditujukan pada kalangan birokrasi di level bawah.
Jurnalis berpengalaman, terlebih setingkat redaktur senior
yang merangkak dari reporter di media dengan standar tinggi, mampu mengendus
sebuah berita ‘’berbau duit’’ atau ‘’kompromi keterlaluan dari pewartanya’’.
Setelah puas mencermati Harian MP, kawan itu berkomentar pendek, ‘’Kelihatannya
para wartawannya dengan sengaja dibongsai.’’
Akhirnya saya menemukan jalan masuk menjelaskan berita dan
tulisan di halaman-halaman daerah itu memang sengaja dibuat menguntungkan elit yang
sedang berkuasa, karena dari merekalah wartawan-wartawan Grup MP mengalirkan cash in, termasuk lewat kontrak
pemberitaan. Terbelalaklah mata kawan yang sudah lebih 20 tahu bekerja sebagai
wartawan itu. Terlebih ketika saya menunjukkan bahwa ada daerah yang sama
sekali diisolasi oleh Harian MP karena Pemkab-nya menolak mengikat kerjasama
pemberitaan.
Daerah yang saya maksud adalah Boltim, yang hanya terpaksa
diberitakan bila isunya benar-benar menjadi sorotan utama masyarakat. Kawan
wartawan itu kembali membuka-membuka Harian MP dan akhirnya mengakui bahwa dari
semua edisi yang dia ulak-ulik, empat kabupaten/kota di wilayah BMR punya
halaman sendiri, kecuali Boltim. ‘’Diasingkan oleh Koran No 1 di Sulut justru
menguntungkan. Sebab dengan begitu Bupati dan jajarannya bisa berbuat
sesukanya, sepanjang tidak fatal, pasti tak bakal masuk koran,’’ katanya
sembari terbahak-bahak.
Bahkan, dengan raut jahil, kawan wartawan itu menyarankan
agar saya mengontak para Bupati/Walikota dan jajarannya serta Gubernur Sulut
dan jajarannya supaya menghentikan kontrak kerjasama dengan Harian MP dan media
yang ada di bawah payungnya. Dengan begitu, tambahnya dengan tawa yang kian
ramai, ‘’Grup media ini jadi tidak punya berita, tidak dapat cash in, dan Bupati, Walikota, serta
Gubernur dan jajarannya tak terganggu dengan berita dan tulisan apa pun.’’
Selesai dengan gambaran makro, dia kembali ke topik utama,
hal-ihwal penjabaran dan detil cash in,
yang juga dipertanyakan sejumlah orang yang menghubungi saya. Baiklah, di tulisan-tulisan
sebelumnya isu ini sudah berulang kali saya singgung, tapi memang tidak dalam
anatomi yang gamblang dan terstruktur.
Memahami cash in
sesungguhnya tidaklah rumit. Konsep yang dipratekkan redaksi Radar Bolmong ini (yang di-copy paste dari induknya) adalah
memadukan tugas usaha dan redaksi ke pundak pada wartawannya. Di tingkat
praktek, pewarta yang memikul kewajiban ini harus menjadikan berita, tulisan,
atau liputannya jadi sumber pemasukan uang tunai. Itu sebabnya kemudian dikenal
‘’bbi’’, ‘’bbk’’, dan advertorial.
Padahal tiga produk wartawan Radar
Bolmong ini sebenarnya cuma beda penamaan. Substansinya satu: Apa yang
ditulis harus menghasilkan uang dan karena itu mesti yang baik-baik saja agar
sumber berita mau merogoh kantongnya.
Sumber utama dari cash
in dalam bentuk ‘’bbi’’, ‘’bbk’’, dan advertorial
itu adalah Pemkab/Pemkot serta DPR, Parpol, politisi, kalangan dunia usaha,
tokoh publik, atau siapa pun yang kepingin ‘’nampang’’ di media. Gawat? Ya,
terlebih karena kewajiban itu ditetapkan dengan jumlah tertentu sesuai pos
liputan sang pewarta. Semakin ‘’basah’’ pos yang ditempati, kian besar neraka cash in yang ditanggung. Sebagai misal,
biro rata-rata sekitar Rp 30 juta per bulan, liputan kriminal Rp 5 juta bulan,
dan liputan politik Rp 15 juta per bulan. Tidak perduli wartawan yang dituntut
memasukkan uang segar itu adalah Carep atau wartawan senior yang telah mengabdi
bertahun-tahun di Radar Bolmong dan
di Grup MP.
Lalu di mana ‘’Gulag’’ konsep dan praktek cash in ini. Mari kita telisik lebih
cermat dengan mengambil contoh beban seorang Kepala Biro yang menanggung
setoran tunai Rp 30 juta per bulan. Bila di total, per tahun dia wajib
memasukkan Rp 360 juta ke kas Radar
Bolmong. Namun, nyatanya tidak sesederhana itu, terlebih karena beban ini
harus diterima tak lebih dari tanggal 30 per bulan. Kalau tagihan molor sebab masalah administrasi
misalnya, wartawan yang bersangkutan harus terlebih dahulu menalangi. Tidak
peduli dari kantong sendiri, pinjaman ke rentenir dengan bunga mencekik leher,
atau terpaksa menyewa tuyul dan babi ngepet. Tak ada setoran, bersiap-siaplah
dicaci hingga ancaman ‘’dibinasakan’’ dari Radar
Bolmong oleh Pemred Budi Siswanto.
Puncak kegawatan konsep dan praktek ala tiran komunis era
Stalin di Uni Sovyet ini dapat dipetakan dari gambaran seperti ini: Misalnya
pada Januari sang Kepala Biro hanya menyetor Rp 25 juta dari kewajiban Rp 30
juta, maka di Februari bebannya naik menjadi Rp 35 juta. Andai yang disetor
hanya Rp 25 juta lagi, pada Maret 2013 kewajibannya naik menjadi Rp 40 juta
karena selama dua bulan berturut dianggap berhutan masing-masing Rp 5 juta,
hingga total Rp 10 juta.
Bagaimana bila di Maret cash
in yang berhasil disetorkan sebesar Rp 45 juta, yang berarti lebih besar Rp
10 juta dari kewajiban ditambah dana terhutang di Januari? Apakah kelebihan Rp
10 juta menjadi pengurang beban di Maret, hingga total cash in yang disetor hanya Rp 20 juta? Tidak juga! Kewajiban pada
Maret tetap Rp 30 juta dan kelebihan Rp 10 juta di Februari cukup dihargai
dengan kalimat, ‘’Tingkatkan terus prestasi Anda.’’
Yang lebih ekstrim lagi, sekali pun di April atau Agustus
Kepala Biro yang per tahun harus menyetor cash in total Rp 360 juta berhasil
mengumpulkan masing-masing Rp 100 juta dan Rp 250 juta, tidak membuat dia
dianggap telah memenuhi target. Pendek kata, tidak peduli berapa besar cash in yang disetor per bulan, kalau
jumlahnya kurang dari Rp 30 juta, kekurangannya diperlakukan sebagai hutang.
Sebaliknya, bila lebih dari Rp 30 juta, seberapa besar pun kelebihannya tetap tidak
mengurangi beban bulan berikutnya dan total target tahunan.
Jelaslah hanya iblis yang menerapkan manajemen setan seperti
itu. Saya sudah mencoba beragam pekerjaan dan profesi, tetapi baru di Radar Bolmong dan Grup MP-lah menyua
praktek media yang menginjak-injak profesi kewartaan sekaligus akal sehat
kemanusiaan.
Ada pembelaan yang disampaikan ke saya, bahwa kebanyakan
jurnalis Radar Bolmong sebenarnya
tidak menolak kewajiban cash in
karena mereka menikmati selisih dari jumlah yang ditagihkan ke sumber ‘’bbi’’,
‘’bbk’’, dan advertorial dalam bentuk
fee. Selisih jumlah yang ditagihkan
ke nara sumber (atau pemasang iklan) juga tergolong ‘’setengah penipuan’’ sebab
tanpa standar yang jelas. Sepenuhnya tergantung pada kepiawaian pemburu
‘’bbi’’, ‘’bbk’’, dan advertorial
meyakinkan pengguna jasanya, bahwa memang demikian tarif yang ditetapkan Radar Bolmong.
Adanya selisih yang masuk kantong wartawan itu diakui sumber
saya, namun dengan keluhan, ‘’Kebanyakan ‘bbi’, ‘bbk’, dan advertorial didapat dari Pemkab/Pemkot, birokrat, atau politikus,
yang pembayarannya memerlukan waktu lebih lama. Jadi biasanya ditalangi
terlebih dahulu dengan pinjaman ke rentenir, yang bunganya dibayar dengan
menggunakan selisih jumlah yang ditagih dan yang disetorkan ke kantor.’’ Gali
lobang tutup lobang ini, bagi saya cuma delusi menipu kewarasan dan jalan
terakhir sebelum terpuruk menanggung tumpukan hutang, yang akhirnya dituntut
dengan cara memalukan oleh Pemred lewat iklan dilengkapi potret wartawan yang
dituduh sebagai penghutang cash in.
Usai membeber anatomi cash
in Radar Bolmong, dengan geli
saya menatap wajah melonggo teman wartawan kawakan itu. Bermenit-menit dia
termanggu dan akhirnya menepuk jidat sembari menyemburkan, ‘’Gila
betullll...!’’ Setelah itu kami menutup mulut dan larut dalam diam yang bagai
telah membekap bertahun-tahun lamanya.***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
bbi: Berita
Berbayar Iklan; bbk: Berita Berbayar
Koran; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Carep: Calon Reporter; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; MP: Manado Post; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; Pemkot:
pemerintah Kota; Parpol: Partai
Politik; dan Sulut: Sulawesi Utara.