PEMAJANGAN empat
foto cabul dan asulasi oleh Harian Radar
Bolmong terus menjadi perhatian publik yang lebih luas dari BMR dan Sulut.
Setelah situs Tempo Co melansir empat
berita terkait isu ini, Jumat, 25 Otober 2013, harian terkemuka Koran Tempo, Sabtu, 26 Oktober 2013, menurunkan berita yang menyoroti publikasi
foto-foto ini sebagai indikasi penyebaran pornografi.
Berita Koran Tempo yang
dimuat di Halaman Nusa itu bertajuk Radar
Bolmong Disarankan Minta Maaf Soal Foto Mesum (http://koran.tempo.co/konten/2013/10/26/325749/Radar-Bolmong-Disarankan-Minta-Maaf-Soal-Foto-Mesum),
dengan mengutip anggota Dewan pers, Nezar Patria; Ketua AJI Manado, Yoseph
Ikanubun; dan Pemred Radar Bolmong,
Budi Siswanto. Pernyataan Nezar dan Yoseph tidak berbeda dengan yang dapat
dibaca di Tempo.Co, tidak dengan
kutipan Budi Siswanto yang tampaknya baru pertama kali bersuara sejak skandal
ini meruyak.
Pada wartawan Tempo,
Pemred Radar Bolmong menyatakan foto yang dimuat medianya sudah disamarkan. ‘’Kami
berusaha profesional. Boleh dilihat foto sebelum dan sesudah dimuat. Sudah kami
blur," katanya. Budi Siswanto
juga mengemukakan, ‘’Kami tunggu Dewan Pers. Surat resmi permintaan untuk
mengirimkan koran juga belum sampai. Kami siap mempertanggungjawabkannya.’’
Sedap betul pernyataan Pemred yang juga ‘’panglima
jurnalisme cash in’’ di Radar Bolmong ini. Seolah-olah blurring yang dilakukan berhasil
menghilangkan, menutupi, atau menghapus jejak pemandangan syur foto-foto yang
mereka sajikan ke hadapan publik. Empat jempol (dua jempol tangan dan dua
jempol kaki) untuk Budi Siswanto. Dia justru memberi alasan sesiapa pun yang
berkepentingan terhadap media dapat mempertanyakan pemahamanan dan praktek
jurnalistik profesional di koran yang dipimpinnya.
Berhubung Budi Siswanto tidak punya kamus, saya ingin
berbaik hati mengajari pengertian profesional, profesionalisme, dan
profesionalitas sebagaimana yang semestinya dianut umum di negeri ini. KBBI
terbitan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional dan Balai Pustaka, 2005,
mencatumkan, pengertian ‘’profesional’’ antaranya: (1) Bersangkutan dengan
profesi; (2) Memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya; (3)
Mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya.
KBBI juga mencantumkan, ‘’profesionalisme’’ adalah: Mutu,
kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau orang yang
profesional. Akan halnya ‘’profesionalitas’’ tidak lain dari: (1) Perihal
profesi atau keprofesian; (2) Kemampuan untuk bertindak secara profesional.
Karena profesi, profesionalisme, dan profesionalitas yang
kita bicarakan berkaitan dengan jurnalis, jurnalisme, dan jurnalistik, Pemred
dan para pewarta di Radar Bolmong
perlu dipapar pula dengan pengertian yang benar dari tiga kata ini. Menurut
KBBI, ‘’jurnalis’’ adalah: Orang yang pekerjaannya mengumpulkan dan menulis
berita di surat kabar dan sebagainya; wartawan. ‘’Jurnalisme’’ tak lain:
Pekerjaan mengumpulkan, menulis, mengedit, dan menerbitkan berita di surat
kabar dan sebagainya; kewartawanan. Dan ‘’jurnalistik’’ dipahami sebagai: Yang
menyangkut kewartawanan dan persurat-kabaran.
Berlandas pemahaman itu, sejak mulai mengkritik dan
mengkritisi profesionalisme praktek jurnalisme di Radar Bolmong, saya
berkeyakinan media ini bukanlah produk jurnalistik dan wahana para pewarta
profesional. Fakta dan bukti-bukti yang saya tulis pun hingga kita tak pernah
dibantah, baik oleh pengelola koran ini maupun grup penerbit yang memayunginya.
Pemuatan foto cabul dan asusila yang kemudian menjadi isu
nasional adalah contoh nyata tidak profesionalnya pengelola Radar Bolmong menjalankan fungsi,
tanggungjawab, kewajiban, dan haknya sebagai jurnalis. Sebab foto-foto itu
terkait dengan berita, maka selayaknya dia tidak dicermati sebagai satu isu
yang berdiri sendiri. Dengan kata lain, bagaimana berita yang menjadi induk
foto-foto tak senonoh itu dari perspektif jurnalistik?
Pernyataan ‘’profesional’’ Budi Siswanto adalah upaya
terakhir mengais-ngais perlindungan, tak beda dengan kesia-siaan orang
tenggelam meraih pegangan, sekali pun itu moncong hiu. Media profesional macam
apa yang mewajibkan pewartanya memburu ‘’bbi’’, ‘’bbk’’, dan advertorial demi menyetor jutaan rupiah
dan disaat yang sama menggaji mereka pas sesuai UMP? Pemred profesional di
manakah yang jangankan khatam UU No 40/1999 dan KEJ, urusan kata, titik koma,
dan pilihan kalimat saja masih minta ampun cemang-cemongnya?
Dalam konteks berita yang menyertai pemajangan foto-foto tak
senonoh itu, hanya dengan satu-dua pertanyaan kita dapat membuktikan
‘’profesionalisme’’ yang diklaim Pemred Radar Bolmong omong kosong belaka.
Pertanyaan-pertanyaan itu adalah: Memangnya tiga (Foto Mesum PNS Bolmong
Beredar, Sanksi Adat Dilempar ke Laut, dan Wabup Usul Dipecat)
ditulis dengan pendekatan jurnalistik sebagaimana jurnalisme yang dipahami,
dianut, dan dipraktekkan oleh para profesionalnya? Yang paling dasar, apakah
pewarta yang meliput dan menulis melakukan check,
re-check, crosscheck, balance, dan menerapkan fairness? Adakah pasangan yang jadi obyek pemberitaan diminta
komentar, pernyataan, atau bantahannya?
Mereportase sebuah isu dari bisik-bisik yang beredar
tidaklah sulit. Teknologi komunikasi modern memberi ruang seluas-luasnya,
bahkan bagi wartawan pemula atau sekadar tukang gosip yang berlagak jurnalis,
memungut isu, menulis, dan mempublikasikanya. Cara inilah yang dilakukan
jajaran redaksi Radar Bolmong ketika
menulis berita disertai empat frame
foto cabul dan asusila yang kini berubah menjadi skandal tersendiri.
Seolah tak kapok, satu hari sesudahnya, Rabu, 23 Oktober
2013, media ini masih menurunkan berita spekulatif, asumtif, dan insinuatif,
masing-masing PNS Selingkuh Makin
Menjadi, Pemkab/Pemkot Siapkan Sanksi Tegas dan Kasus Cerai BMR Tinggi. Apa takaran dan pembanding ‘’makin
menjadi-nya’’ selingkuh PNS? Siapa yang mengeluarkan statistiknya? Seberapa
valid statistik itu? Dan kalau ‘’kasus cerai di BMR tinggi’’, apakah dia
korelatif dengan fakta bahwa para pencerai adalah PNS yang terbukti selingkuh?
Alih-alih memupuk amarah, kian hari ulah dan kilah Pemred (dan
jajarannya) Radar Bolmong justru
makin mengundang iba. Dalih profesional dan menunggu sikap Dewan Pers hanya menunjukkan
betapa mereka cuma punya kesombongan disertai kebodohan serta kegigihan tak
memperdulikan praktek umum di negeri ini (yang aturannya bahkan dituangkan
dalam UU), juga pendapat dan penilaian orang banyak. Sementara orang banyak
inilah yang justru menjadi konsumen utama jasa dan produk yang mereka produksi.
Saya ingin melihat bagaimana pengelola koran ini dan grup
penerbit yang memayunginya berkelit jika Dewan Pers tidak hanya menilai
fakta-fakta permukaan, bahwa mereka telah melanggar UU Tentang Pers, KEJ, UU
Pornografi, dan Pasal 282 KUHP; tetapi juga menukik hingga ke akar penyebabnya.
Dengan alasan apapun, ‘’jurnalisme cash
in’’ yang diadopsi dari induknya di Grup MP, yang dipraktekkan di Radar Bolmong dengan komandan Pemred
Budi Siswanto, adalah pelecehan dan penghinaan terhadap jurnalisme, bahkan
tindak pidana.***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
AJI: Aliansi
Jurnalis Independen; bbi: Berita
Berbayar Iklan; bbk: Berita Berbayar
Koran; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; KBBI: Kamus Besar Bahasa Indonesia; KEJ: Kode Etik Jurnalistik; KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
MP: Manado Post; Pemred: Pemimpin Redaksi; PNS: Pegawai Negeri Sipil; UMP: Upah Minimum Provinsi; dan UU: Undang-undang.