BELAJAR adalah
pengelanaan sepanjang hayat. Di usia yang melewati empat dasawarsa, keawasan saya
mengajarkan apa yang menjadi kelemahan kerap membawa kita menemukan kekuatan
dan hakikatnya.
Chendri Mokoginta, sejawat dalam ide dan wartawan Radar Bolmong yang urung rembuk menulis
di blog ini, kelemahan saya adalah
tidak takut membuka diri dan pikiran terhadap apapun. Ini menyakitkan, sebab
saya tidak pernah mampu berhenti menelisik, menetapkan zona nyaman, dan
membebaskan pikiran dari tanda tanya. Saya tahu pula, kelemahan itu
mendatangkan kekuatan yang justru lebih menakutkan, karena setiap yang kokoh,
berenergi siaga, dan tidak dengan sadar dikontrol, selalu menghasilkan
kerusakan.
Kalian, generasi kini yang berjarak era dengan saya, mungkin
lebih mudah mengkonklusi mengapa kita mesti menakuti kekuatan yang datang dari
proses memahami kelemahan itu lewat Coach
Carter, film inspiratif berlatar kisah nyata sepenggal riwayat pelatih bola
basket Richmond High School, Ken Carter. Dibintang-utamai aktor kakap Samuel L
Jackson, sepanjang film yang di-realese
2005 ini kita menyaksikan Coach Carter
tidak sedang mengajari bagaimana para pemain basket yang dia latih membuktikan
keberanian di lapangan, tetapi memahami ‘’ketakutan terbesar’’ bila kekuatan yang
mereka miliki tak ditata dan dikendalikan.
Dan jawaban itu dilontar dari salah satu anak didik Carter,
Timo Cruz (diperankan aktor Rick Gonzalez), yang mengklimaksi tontonan ini
dengan pernyataan, ‘’Our deepest fear is not that we are inadequate. Our deepest fear
is that we are powerful beyond measure. It is our light, not our darkness, that
most frightens us. Your playing small does not serve the world. There is
nothing enlightened about shrinking so that other people won't feel insecure
around you. We are all meant to shine as children do. It's not just in some of
us; it is in everyone. And as we let our own lights shine, we unconsciously
give other people permission to do the same. As we are liberated from our own
fear, our presence automatically liberates others.’’
Ahmad
Alheid, kawan lain dari masa romantis booming
media cetak di Sulut, yang hari ini (Kamis, 10 Oktober 2013) menulis Untuk Idham dari Seorang ‘’Kroni’’,
bagai mengingatkan agar saya tetap menakuti magma kekuatan yang menggolak di
kepala dan siap menyembur bersama kata dan kalimat di blog ini. Narasinya yang serupa suara rendah (hampir-hampir
mendekati solulokui) tetapi mengintimadasi, membuktikan yang tampak
lemah-lembut pun mampu mengekpresikan geram. Dia menabalkan kembali makna
kearifan yang kadang, sengaja atau tidak, terlupa.
Ya,
Chen (saya selalu menyapa Anda dengan panggilan ini), kearifan kerap kita
identikkan dengan kelemah-lembutan. Pada suara serak-serak basah karena usia tua
menuju uzur, lekak-lekuk keriput di jidat, rambut dan jenggot memutih, pula
langkah yang kian pelan dan hati-hati. Tidak. Kearifan bisa pula gemuruh suara Coach Carter memerintah running suicides pada anggota tim basket
Richmond High School hingga mereka tersungkur di lapangan.
Kearifan
adalah tentang bagaimana belajar, mengintisarikan yang ditapak, mengajarkan,
dan mengingatkan sesuatu yang penting bagi setiap orang (saya, Anda, kita
semua) agar menjalani dan menegakkan jalan hidup yang dipilih dengan konsisten.
‘’I came to coach basketball players, and
you became students. I came to teach boys, and you became men,’’ raung Coach Carter.
Tulisan-tulisan
saya di blog ini tidak sedang
mengajari supaya Anda menjadi jurnalis profesional dan Radar Bolmong menegakkan marwahnya sebagai lembaga berita yang
bertanggungjawab dan berpihak pada publik. Saya hanya mengingatkan Anda dan
media Anda agar menjadi pewarta profesional dan lembaga pemberitaan yang
kredibel. Saya memilih jalan berteriak, Ahmad Alheid dengan berbisik, dan
publik mungkin mengekspresikan dengan diam-diam meleceh koran yang Anda
terbitkan.
Chen,
kritik dan kritisasi saya sejak awal memang bukan berdasar dan didasarkan pada
pelecehan marga dan nama kakek buyut saya. Penistaan itu hanya salah satu dari
banyak temuan yang menunjukkan ada yang bengkok dari laku Pemred, kebijakan,
dan praktek keredaksian di Radar Bolmong.
Sesuatu yang teramat dasar kita hasilkan ketika mencari tahu dengan panduan pra
syarat pemenuhan kelayakan sebuah berita: 5W + 1H. Sebab itu, mari kita simpang
yang pribadi dalam ruang sendiri. Kita kedepankan segala yang memang menjadi
kewajiban jurnalis, praktek jurnalisme, media, dan kita semua sebagai
pertanggungjawaban pada posisi dan porsi publik yang dipilih.
Tersebab
itu tulisan-tulisan saya juga difokuskan pada Pemred, kebijakan, dan praktek
keredaksian yang dia ditegakkan di news
room Radar Bolmong. Lengkap
dengan kembang-kembang dan bunga-bunga. Bahwa ada perasaan hingga tukang sosapu lante pun terhantam ‘’bom’’ yang
saya jatuhkan, itu collateral damage
yang tak terhindarkan. Itu pun cuma perasaan (hal mustahak yang siapa sanggup
melarangnya?). Ibarat Radar Bolmong adalah
sebuah kapal, ketika dia dilayarkan, segala kebijakan yang diputuskan dan wajib
dijalankan awak-awaknya, berkonsekwensi pada semua makluk hidup dan benda mati
yang ada di atasnya. Jangankan tukang sosapu
lante, semut yang ikut menumpang pun turut menanggung risiko ketika bahtera
karam digulung ombak.
Orang
per orang di Radar Bolmong, sesuai
dengan level struktural, fungsi, dan tanggungjawab, identik dengan
institusinya. Ketika keluar dari pintu kantor, tak hanya dalam konteks bekerja
profesional, Anda bukan lagi sekadar Chendry Mokoginta. Anda, juga jurnalis dan
support system hingga jajaran
terbawah di pohon manajemen, adalah representasi Radar Bolmong.
Mungkin
saya harus mengingatkan, dari media pula publik belajar mengeneralisasi
identitas pribadi dan profesional seseorang. Buka-buka kembali Radar Bolmong, cermati bagaimana,
misalnya, kerabat seorang korban kecelakaan dikutip dan ditulis ‘’ menurut
keluarga korban’’, ‘’dari informasi keluarga korban’’; atau yang ekstrim
terhadap seorang tersangka tindak pidana, seperti frasa ‘’bantah keluarga
pelaku’’ atau ‘’kata kakak tersangka pembunuhan’’.
Tidak
usah panas hati. Setiap profesi dan lembaga punya resiko identitas
sendiri-sendiri. Sebagai jurnalis dan masih bekerja di Radar Bolmong (demikian pula tukang sosapu lante yang kita sitir), Anda berhak membela bendera tempat
bernaung, tetapi tentu dengan menyodorkan bukti-bukti dan fakta yang kredibel
dan sahih; atau menjadikan kritik dan kritisasi itu jalan masuk mengubah
kebijakan dan praktek yang salah, keliru, bengkok, dan lancung.
Di
luar itu, perkara apakah sejauh ini saya menggertak saja, nanti pada waktunya kita
buktikan bersama. Yang jelas, dengan menjunjung kesadaran takut pada kekuatan
yang dimiliki, saya masih terus menulis dan tak bakal berhenti menelisik,
mendadah, membedah, serta membeberkan segala sesuatu yang tidak pada tempatnya
dari kebijakan dan praktek keredaksian Radar
Bolmong sebagai lembaga berita. Kalau yang saya lakukan adalah perlawanan,
ya, ini perang terhadap kebobrokan. Kalau dipersepsi sebagai kampanye, ya, dia
adalah advokasi menyadarkan media, para pewarta, dan publik bagaimana semesti
profesi orang-orang mulia (para penjaga ‘’pilar keempat demokrasi’’) dan
produknya melayani tanggungjawab dan fungsinya.
Selebihnya,
terutama derasan tausiah respek terhadap nilai-nilai yang diluhur dan dihormati
di kebudayaan dan tradisi Mongondow terhadap Budi Siswanto, belum akan saya
sentuh. Ada sesi tersendiri yang disiapkan untuk pelajaran pentingnya
perhormatan pada lokalitas sebagai elemen penting yang mesti diindahkan media
dan para jurnalisnya, di mana dia berada dan menjadi bagian integral dari
publik setempat.
Lalu
saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan berterima kasih karena Chendry
Mokoginta sudi mengingatkan, sebagai pesilat yang memamah-biak berjurus-jurus
latihan setiap hari, saya mesti menakuti mereka yang mahir menggunakan belati.
Anda benar, Chen. Ketakutan terbesar saya bukanlah siapa dan seberapa paripurna
kemahiran si ahlul belati, tetapi di
bagian mana bilah tajam mengkilap itu harus disarangkan di tubuh pemainnya
sendiri.***
Singkatan dan Istilah yang
Digunakan:
5W
+ 1H: What
(Apa), Who (Siapa), When (Kapan), Where (Di mana), Why (Mengapa), dan How
(Bagaimana).