BEBERAPA saat
setelah mengunggah Lembaga Adat, Dewan
Adat, Majelis Adat, Mainkan Saja.... (Sabtu, 12 Oktober 2013), saya
tercengang membaca Totabuannews.Com.
Di situs berita yang menitik-beratkan content-nya
pada peristiwa dan publik Mongondow ini, Jumat, 11 Oktober 2013, terpampang
berita Beri Gelar Adat, AMABOM Kujungi
Walikota dan Wawali (http://totabuanews.com/2013/10/11/beri-gelar-adat-amabom-kujungi-walikota-dan-wawali/).
Di tubuh berita dijelaskan, dalam rangka pemberian gelar
adat kepada Walikota-Wawali KK 2013-2018, Amabom sudah melakukan kunjungan ke
dua pejabat publik ini. Rencananya, gelar (katanya) adat tersebut masing-masing
Kolano untuk Walikota TB dan Simpal in Kalano pada Wawali JD. Penganugerahan
gelar ini, mengutip Walikota, akan disiapkan di waktu yang tepat agar tidak
bertabrakan dengan agenda lain.
Minta ampun, tampaknya memang banyak yang bengkok dari cara
pikir dan laku sebagian warga Mongondow yang merasa elit, tokoh, atau yang dielit
dan ditokohkan. Kali ini saya benar-benar jengkel terhadap Jemmy Lantong dan
Amabom-nya, yang sudah dengan sengaja melampaui batas toleransi mo-o-aheran di antara sesama orang
Mongondow. Sesama pewaris dan pemilik ke-Mongondow-an, terutama budaya, adat,
dan tradisinya.
Pertama, siapa
Amabom? Amabom adalah LSM atau Ornop yang bergiat di bidang budaya, adat, dan
tradisi masyarakat Mongondow. Apa tepatnya aktivitas mereka, harus dirujuk ke
statuta, AD/ART, atau akta pendiriannya.
Yang jelas mereka bukanlah wakil dan representasi resmi orang Mongondow
dalam urusan budaya, adat, dan tradisi. Secara spesifik, orang-orang yang
berhimpun dan bergiat di Amabom tidaklah pernah dipilih, ditunjuk, atau
didaulat (formal dan informal) menjadi rujukan, apalagi mercu suar adat.
Dengan kata lain, Amabom tidak punya wewenang, terlebih hak,
didengar atau dipatuhi oleh orang Mongondow. Karenanya, adalah pelanggaran adat
kalau tiba-tiba mereka mengambil alih hak budaya, adat, tradisi, dan sosial
dengan seenaknya menganugerahkan gelar pada Walikota-Wawali KK.
Kedua, adat adalah
aturan yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; atau wujud gagasan
kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang
satu dengan yang lainnya berkaitan menjadi satu sistem. Kemana penganugerahan
gelar adat pada elit atau tokoh-tokoh, khususnya yang berada di jabatan publik
tertentu, dirujuk? Kalau referensi yang digunakan adalah budaya dan tradisi
Kerajaan Bolaang Mongondow, yang kemudian menjadi adat orang Mongondow, maka
bagian dan versi yang mana? Versi Mongondow di dataran Passi dan Lolayan, versi
Molibagu-Pinolosian, versi Bintauna, atau versi Bolaang?
Versi mana pun dari praktek zaman lampau yang dijadikan
tautan mesti pula diverifikasi konteksnya dengan kekinian. Apakah
Walikota-Wawali dapat diindentikkan dengan Raja dan wakilnya, serta lembaga
yang menyematkan gelar sama seperti Dewan Kerajaan? Bila demikian adanya, maka
DPR KK-lah (dengan asumsi bahwa lembaga ini sama dengan Dewan Kerajaan) yang
paling pantas memberi anugerah adat. Tapi itu pun tidak terbatas
Walikota-Wawali, melainkan pula terhadap Sekkot, Dandim, Kapolres, Kejari, dan
Ketua PN. Dan posisi orang nomor dua bukan Wawali, tetapi Sekkot sebagai
padanan ‘’Perdana Menteri’’.
Orang-orang tua mengatakan, ‘’Adat sepanjang jalan, cupak
sepanjang betung’’ (Segala sesuatu ada tata caranya). Kalimat arif ini tidak
sekadar agar satu komunitas atau entitas menghormati hal-hal yang agung dan
luhur yang dijaga, dipelihara, dan terus ditegakkan; tetapi supaya segala
sesuatu itu dilaksanakan sepantas, selayak, dan sebagaimana mestinya.
Janganlah budaya, adat, dan tradisi Mongondow dijadikan
main-mainan sejumlah petualang yang kini berhimpun di Amabom dan merasa
mendapat amanat langit seenaknya memberikan gelar. Memahami Mongondow,
jangankan gelar adat, sekadar menetapkan batas antar kampung pun diperlukan
tata cara dan tata laksana tertentu, termasuk melibatkan orang banyak dengan mobakid.
Sesiapa saja yang telah dilibatkan oleh Amabom berkenaan
dengan rencana anugerah gelar adat pada Walikota-Wawali? Kenapa pula gelarnya Kolano dan Simpal in Kolano (penggunaan ‘’in’’ juga keliru se-keliru-kelirunya,
karena seharusnya ‘’i’’)? Apakah gelar ini menunjukkan jenis kelamin
penyandangnya adalah laki-laki atau boleh pula untuk perempuan? Urusan bahasa
Mongondow saja belum genap, berani-beraninya mereka bicara gelar, disemati pula
dengan ‘’adat’’.
Kalau Amabom yang LSM/Ornop boleh sesukanya dan ditoleransi menganugerahkan
gelar adat, maka perhimpunan pecinta ayam jago dan ‘’kase bakalae ayam’’ juga absah
melakukan hal yang sama, sepanjang memiliki selembar legalitas hukum dan
sejumlah orang sebagai pengurus dan anggota. Lalu, setelah itu kita
proklamirkan saja wilayah Mongondow sebagai bagian dari konsersium Kerajaan
Langit yang berpusat di Mongolia Lama.
Dan ketiga, saya
mencermati, sejak pendiriannya, Amabom tiba-tiba mengambil peran sebagai
institusi yang melegitimasi budaya, adat, dan tradisi Mongondow. Mereka lupa
bahwa sebagai LSM/Ornop, fungsinya tak lebih dari fasilitator, advocator, dan mediator. Fungsi ini pun dengan catatan
kritis, orang-orang yang berhimpun di organisasi ini memang lebih tahu, paham,
dan khatam soal budaya, adat, dan tradisi daerah ini. Mereka adalah orang-orang
terpilih dan layak menjadi rujukan, tempat bertanya, dan moki-na’onda di tengah masyarakat Mongondow.
Demikiankah Amabom dan sosok-sosok yang berhimpun dan
menjalankan aktivitas organisasi ini? Kelakuan menerabas kepantasan dengan
mendatangi Walikota-Wawali untuk mengatur anugeraha gelar adat sudah
menunjukkan seberapa tinggi adab dan adat mereka dalam menghormati budaya dan
tradisi yang seolah-olah ingin diagungkan. Bagi saya, penerabasan itu tidak
berbeda dengan mempertontonkan bahwa Amabom dan orang-orangnya memang tak
beradat dan tidak tahu adat.
Sekadar menjadi fasilitator lahirnya Perda Lembaga Adat
(atau apapun namanya), menurut saya organisasi ini masih pantas didukung
seluruh warga. Tetapi lain soal kalau mereka kemudian mengambil alih penafsir budaya
dan tradisi orang Mongondow dengan menjadi lembaga pengatur, termasuk dengan
menganugerahi gelar adat pada siapa pun (terutama pejabat publik) sesuka selera
mereka sendiri.
Walikota dan Wawali yang juga penuh suka-cita menyambut
rencana anugerah gelar itu tampaknya sama buta-tuli dalam soal budaya, adat,
dan tradisi Mongondow. Padahal, sebagaimana yang dipercayai di daerah ini,
mereka bukan hanya pemimpin formal pemerintahan; tetapi juga pemangku adat.***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
AD: Anggaran
Dasar; Amabom: Aliansi Masyarakat
Adat Bolaang Mongondow; ART: Anggaran
Rumah Tangga; Dandim: Komandan Kodim;
JD: Jainudin Damopolii; Kapolres: Kepala kepolisian Resort; Kejari: Kepala Kejaksaan Negeri; KK: Kota Kotamobagu; LSM: Lembaga Swadaya Masyarakat; Ornop: Organisasi Non Pemerintah; Perda: Peraturan Daerah; PN: Pengadilan Negeri; Sekkot: Sekretaris Kota; TB: Tatong Bara; dan Wawali: Wakil Walikota.