NIKMAT tontonan heli dan pesawat tempur yang bersiliweran di langit Jakarta bertepatan
dengan HUT TNI, Sabtu pagi, 5 Oktober 2013, kian meriah karena ‘’laporan
padangan mata yang lain’’ dari Kotamobagu. Pemred Radar Bolmong mengamuk pada jajaran di bawahnya menyusul ejekan
yang saya tulis, Taklimat untuk Pemred
Kelas Teri.
Rupanya pelajaran kewartawanan Meneer Budi Siswanto belum sampai di bab investigasi hingga dia
cuma mampu menyumpahi orang-orang di sekitar.
Maka mari kita lanjutkan tutoring jurnalistik untuk Tuan
Pemred, yang akan saya mulai dengan permintaan maaf pada ikan teri yang
telah dipersamakan dengan kebodohannya. Teri (panganan yang amat saya suka,
terutama bila di-‘’garo rica’’ oleh Ibu) lebih layak diberi kehormatan
dibanding Budi Siswanto. Sempat terpikir
menggantikan pemadanan teri dengan kepala timah (sejenis ikan yang umum
ditemukan di got-got di Mongondow), tetapi saya urungkan. Kepala timah ini adalah ikan
favorit lain yang saya pelihara (karena belum mampu membeli ikan hias) di wadah
kaca bekas kue semasa SD dan SMP.
Sembari mencari padanan yang tepat mendudukkan di kelas mana
dia pantas diletakkan, saya mulai dengan bukti baru profil kebingungan si
Pemred kita ini. Ultimatum pembangkangan bagi siapa pun yang bekerja di Radar Bolmong membuka blog saya, sukses dilanggar oleh Budi
Siswanto sendiri dengan mengunggah link
Kronik Mongondow di saluran komunikasi internal dengan jajarannya (ini
menunjukkan kedangkalan pengetahuan terhadap komunikasi modern, bahwa lalu
lintas pesan digital ke lebih dari satu orang sudah masuk cakupan UU ITE). Pengunggahan
link itu dilengkapi komentar ‘’marah si Katamsi’’, ‘’torang blum ba tulis
dia so murka’’, ‘’sekali lagi jangan ada yang respon, ‘’torang nda kelas dengan
dia’’, dan ‘’biar dia takancing
lentaran nafsu’’.
Kalau komentar yang menyertai link Kronik Mongondow itu adalah ujian, Budi Siswanto hanya
mendapat nilai 1 dari skala 10. Saya memang marah, tapi untuk hal yang sangat
prinsipil: Dia memelesetkan nama kakek buyut saya, Ginano menjadi Gilano. Meneer Pemred, Anda berada di bawah
langit dan memijak tanah Mongondow. Hormati hal-hal yang sakral dan profetik
yang tak bisa ditawar bagi orang Mongondow. Yang penghinaan terhadapnya
bersedia dibayar dengan berapa pun harga yang diminta. Kalau Anda tidak paham
arti kata ‘’sembelih’’, bersegeralah membuka kamus. Kami, orang Mongondow, tak
segan menggunakan dan mempraktekkan kata ini ketika membela martabat marga.
Catat saja: Saya akan
datang ke kantor Radar Bolmong untuk
menuntut pertanggungjawaban soal ini! Saya tidak akan mengatakan ‘’harga mati’’
atau sejenisnya, melainkan ‘’kalau harus mati atau mematikan pun’’, bila tidak
ada permintaan ampun terhadap penistaan nama baik buyut dan marga yang sangat
kami hormati, saya akan terus mengejar Budi Siswanto dengan segala cara. Dan telah
menjadi kebiasaan saya muncul di saat-saat tidak diduga. Jadi sebaiknya waspada
setiap waktu, di semua kesempatan, termasuk tengah tertidur sekali pun.
Nah, komentar selebihnya yang menyertai link blog ini, memperoleh nilai 0 karena menunjukkan kebingungan
dan kepanikan Pemred Radar Bolmong.
Bukankah saya sudah dinyatakan di-black
list? Dilarang keras direspons? Akan halnya urusan kelas, ya, memang jauh
berbeda. Bagaimana mungkin saya ikhlas disetarakan dengan Budi Siwanto? Saya
lebih bahagia dipersamakan dengan level reporter pemula dibanding Pemred jenis pomponu. Yang terakhir, ‘’takancing
lanteran nafsu’’ (ini juga harus dikoreksi, bukan ‘’lanteran’’ tapi
‘’lantaran’’), tentu halusinasi yang bersangkutan. Lelucon (kecuali penistaan
Ginano menjadi Gilano) kok harus
ditanggapi serius?
Koreksi saya terhadap tulisan dan pemberitaan Radar Bolmong (Pentingnya
Cool Storit; Pendaftaran Student Idol Sampai 5 Oktober; dan
Marka Jalan Moat-Atoga Raib) adalah ikhtiar meluruskan
sesuatu yang bengkok dan memalukan. Sesuatu yang mestinya sangat dihindari
terjadi di media yang peduli pada profesionalisme dan kredibilitasnya. Di media
yang khatam memahami segala sesuatu yang dipublikasi tidak hanya mengungkap
fakta dan pendapat publik; tetapi merepresentasi potret internal di ruang
beritanya, tentang bagaimana tulisan atau berita dikumpulkan, diolah, dan
diterbitkan.
Kekeliruan-kekeliruan
yang ditunjukkan oleh tiga tulisan dan berita yang saya rujuk dan kritik
menunjukkan ada krisis kronis aspek paling dasar jurnalistik yang dipraktekkan
di Radar Bolmong. Saya bahkan tidak
mempertanyakan ‘’Kemana dan apa yang
dilakukan oleh Pemred sebagai penanggungjawab utama news room hingga tulisan dan berita yang patut dicemooh itu lolos dan
tiba di tangan pembaca?’’ Tidak pula mengedepankan syak: ‘’Mungkinkah
Pemred-nya buta dan pekak ikhwal jurnalistik?’’ Pun, ‘’Jangan-jangan wartawan Radar Bolmong tidak lagi fokus pada
menyajikan tulisan dan berita berkualitas, minimal memenuhi 5W + 1H, tetapi
sesuatu yang lain yang menghalangi mereka menjalankan pekerjaannya dengan
profesional dan bermartabat?’’
Saya
menghindari duga-duga agar tidak terpeleset jadi tukang fitnah, penista,
pencemar nama baik, dan sejenisnya. Tidak pula saya bergenit-genit melewati
batas mengkritisi dan mengkritik Radar
Bolmong hingga ke urusan ‘’internal rumah tangganya’’. Mau Pemred ternyata
dicomot dari peternakan lele, wartawannya lebih sibuk jualan onde-onde
ketimbang memburu berita, pengelolaan news
room-nya sama dengan pasar blante,
bukan urusan saya dan pembaca; sepanjang apa yang dicetak dan disirkulasi tidak
compang-camping, yang bahkan digunakan membungkus kacang pun tak layak.
Informasi dan bukti-bukti ‘’internal rumah tangga’’ Radar Bolmong justru membanjiri saya
setelah Taklimat untuk Pemred Kelas Teri
diunggah. Dengan pertimbangan saksama, hati-hati, dan dingin, saya memutuskan
menjadikan apa yang diterima itu sebagai informasi publik. Media adalah ‘’pilar
keempat’’ demokrasi, ‘’anjing penjaga’’ yang bertanggungjawab, berhak, dan
wajib mengontrol jalannya kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
lebih dari sekadar remeh-temeh politik, ulah pejabat publik, dinamika ekonomi
terkini, dan sebagainya. Namun, di saat yang sama dia juga tidak terbebas dari
cermatan, selisikan, pantauan, dan penilaian orang ramai.
Informasi dan bukti-bukti yang saya terima mengkonfirmasi:
Pemred Radar Bolmong tidaklah dilatih
dan terlatih sebagai wartawan. Dia berasal dari bagian support, tepatnya pemasaran. O, ternyata tukang jualan.
Mudah-mudahan bukan penjual ikan teri, tetapi minimal sirkulasi koran atau
iklan. Terhina betul sang teri kalau diurusi pedagang seperti Budi Siswanto.
Dia mengelola news room seperti
warung kelontong. Setiap wartawan, apalagi yang dilekati jabatan biro, dipikuli
beban cash in (seumur hidup saya baru
menemukan istilah ini digunakan oleh redaksi) Rp 10 hingga Rp 30 juta per
bulan. Dan bahwa kesibukan utama dan terutama Meneer Pemred (yang penggambaran terhadapnya membuat saya mengasosiasikan
dengan pegawai VOC), adalah menagih target cash
in dengan cara melebihi tuntutan ketua perkumpulan preman.
Obsesi target dan dagang Pemred yang tak beda dengan antek
Kompeni itu, membuat dia tak segan mempermalukan, menghina, dan menista
wartawan yang dianggap gagal memenuhi kewajiban cash in. Wartawan yang belum atau tidak menyetor cash in dipanggil lewat iklan agar
menyelesaikan piutangnya. Tidak heran di pekan-pekan ini sejumlah wartawan
berombongan meninggalkan Radar Bolmong,
membangkang, bahkan ‘’menyerbu’’ kantor dengan menenteng pitou, sebab merasa kehilangan muka karena diiklankan sebagai
pengutang oleh Pemrednya.***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
5W + 1H: What
(Apa), Who (Siapa), When (Kapan), Where (Di mana), Why (Mengapa), dan How
(Bagaimana); HUT: Hari Ulang Tahun; ITE: Informasi dan Transaksi Elektronik;
Pemred: Pemimpin Redaksi; SD: Sekolah Dasar; SMP: Sekolah Menengah Pertama; TNI:
Tentara Nasional Indonesia; UU:
Undang-undang; dan VOC: Vereenigde
Oostingdische Compagnie.