DIPIMPIN Pemred
Budi Siswanto, redaksi Radar Bolmong
memang dijadikan mesin uang, tak hanya dengan melanggar UU No 40/1999 Tentang
Pers dan KEJ. Praktek pengelolaan news
room di koran ini bahkan sudah tergolong tindak pidana terstruktur dan
terencana. Terhadap dua pelanggaran ini, wilayah jurnalistik dapat dilaporkan
ke Dewan Pers, sedang aspek kriminalnya ke pihak kepolisian.
Tidakkah saya terlampau berani menyatakan media arus utama
di BMR ini telah dengan sengaja disetir menjadi organisasi kriminal? Pembaca,
di beberapa tulisan sebelumnya saya sudah mengungkap kewajiban setiap wartawan
di redaksi Radar Bolmong menyetor
sejumlah uang yang mereka sebut cash in.
Target yang ditetapkan mengharuskan setiap jurnalis memonetisasi apapun yang
dia lakukan menjadi ‘’bbi’’, ‘’bbk’’, advertorial,
dan sejenisnya. Kasarnya, lakukan segala cara agar setiap berita tidak hanya
menjadi uang ketika pembaca membeli koran, tetapi bahkan nara sumber pun (halus
atau brutal) harus membayar setiap kalimat yang dia ucapkan.
Wartawan yang terilusi mereka masih menjalankan profesi
jurnalistik, mati-matian agar tak gagal menyetor cash in yang dengan tegas dan ketat selalu dikejar Pemrednya.
Termasuk terlebih dahulu menalanggi lewat pinjaman pada rentenir (yang berkonsekwensi
bunga 15-20 persen), terutama bila sumber cash
in berasal dari ‘’bbi’’, ‘’bbk’’, atau advertorial
dengan Pemkab, Pemkot, atau institusi birokrasi yang pencairannya memerlukan
proses yang memakan waktu.
Pewarta yang enggan atau gagal memenuhi target dianggap membangkang
terhadap kebijakan manajemen. Hukumannya minimal dipindahkan dari redaksi
hingga dipaksa mengundurkan diri atau dipecat. Saya kutipkan (dengan
penghilangan nama subyek dan penyesuaian tata bahasa) maklumat Pemred Radar Bolmong pada salah satu
wartawannya, sebagai contoh bagaimana tuntutan cash in ditegakkan: ‘’Khususnya
ngana (nama wartawan), kita sarankan
mundur jo dengan baik-baik. Parah ngana. Ngana so ndak bisa dibina. Ndak mau
dibina. Kalo ngana ndak mundur kita akan binasakan. Kurang mo lia keadaan,
ngana mundur, kita bikin mundur, atau iko sistem kantor, wajib capai.’’
Saya tahu persis bagaimana kelompok preman yang kerap
diidentikkan dengan brutalitas mengelola organisasinya. Hampir tak pernah saya
menyua atau mendengar instruksi seganas bahasa tidak berpendidikan yang
digunakan Pemred Radar Bolmong
terhadap wartawannya itu. Andai saya si wartawan, minimal keyboard komputer atau notebook
sudah berakhir jadi serpihan di kepalanya. Persetan dengan urusan hukum.
Kendati begitu, instruksi tersebut belum bertendensi
menyuruh atau menganjurkan kriminalitas atau tindak pidana. Wartawan hanya
diancam wajib mengikuti sistem kantor, apapun bentuknya. Wajib mencapai target
yang dibebankan. Kendati bukan target berita atau pemenuhan terhadap standar
jurnalistik, melainkan setoran sejumlah dana tertentu yang diwajibkan tanpa
sepotong dokumen hitam di atas putih, kecuali dengan dalih ‘’kebijakan
manajemen’’.
Kriminalitas terorganisasi, terstruktur, dan terencana yang
dipraktekkan Pemred Radar Bolmong
baru terang-benderang ketika dia memerintah jajarannya untuk ‘’mengerjai’’ DPR
KK. Perintah yang dikeluarkan pukul 13.10, Senin, 2 September 2013, selain
ekspisit bertujuan memeras (karenanya melanggar Pasal 1 dan Pasal 6 KEJ), juga
menggunakan bahasa yang sangat menista dan merendahkan anggota dewan yang
terhormat.
Instruksi Meneer
Pemred Budi Siswanto (sekali lagi dengan penghilangan nama wartawan yang
dituju) berbunyi, ‘’(Nama wartawan), bage ni dewan-dewan KK karena blum ada satu
setang ba kontrak. Suruh redaktur dan reporter Kinalang koordinasi.’’ Menyeramkan
betul perintah itu. Apa dosa DPR KK dan anggota-anggotanya pada Budi Siswanto
dan Radar Bolmong sehingga mesti mo bage? Ada hak apa dia menyebut
anggota-anggota DPR KK sebagai ‘’setang-setang’’ demi kepentingan mengejar
kontrak ‘’bbi’’, ‘’bbk’’, atau advertorial?
Sungguh saya penasaran melakukan content analysis terhadap seluruh pemberitaan Radar Bolmong di edisi-edisi setelah instruksi itu dikeluarkan. Bila
isinya melulu positif dan puja-puji, berarti yang dimaksud ‘’setang-setang’’ itu
menggigil gentar. Kalau negatif atau tiba-tiba sangat sepi isu (padahal salah
satu keahlian anggota dewan adalah menciptakan aneka isu), pasti aliran cash in dari DPR KK masih seret.
Media adalah institusi ekonomi yang menjual jasa komunikasi.
Dari prinsip dasar ekonomi dia sama dengan warung kelontong. Sebagai pengguna
jasa atau pembeli komoditi yang ditawarkan, siapa pun anggota masyarakat bebas
menentukan bersedia atau tidak. Pemilik warung kelontong yang mencegat orang di
depan tempatnya berjualan, memaksa belanja dengan todongan parang, adalah
perbuatan kriminal. Wartawan yang dengan pena dan recorder menodong anggota DPR KK untuk mengontrak ‘’bbi’’, ‘’bbk’’,
atau advertorial, bukan jurnalis. Dia
kriminalis yang tidak lagi dilindungi UU No 40/1999 dan KEJ. Dan media di mana
dia berhimpun serta Pemrednya jelas perkumpulan bandit yang dipimpin
bromocorah.
Yang membuat saya tidak habis pikir, siapa dan atas wewenang
dari mana Budi Siswanto memiliki kepercayaan diri menyebut anggota DPR KK
sebagai ‘’setang-setang’’? Apakah dia merasa kastanya lebih tinggi dari anggota
dewan yang terhormat? Saya ingin melihat mimik anggota-anggota DPR KK setelah
info ini dibeber. Kalau mereka tidak tersinggung, saya meragukan kewarasannya.
Terlebih, Radar Bolmong berkantor dan
diterbitkan dari KK serta Pemred-nya ada di kota ini. Sudahlah urusan tindak
pidana, tetapi dari budaya dan tradisi di Mongondow, sanksi terhadap instruksi
yang melecehkan itu bahkan lebih dari sekedar mongompat kon’ lipu dan diusir keluar BMR.
Saya juga ingin tahu reaksi warga, pendukung, dan kerabat
anggota DPR KK. Apakah mereka akan membela kehormatan anggota DPR-nya. Atau,
karena memang anggota DPR KK sudah berkelakuan seperti ‘’setang-setang’’, kita
aminkan saja pelecehan oleh Budi Siswanto. Kita menerima instruksi itu sebagai
fakta dan bukan tindakan menyuruh dan mengajurkan pelanggaran kepatutan dan
hukum; serta pengeluarkan kata-kata yang menghina dan melecehkan.
Jelas ada fakta ada perintah Pemred Radar Bolmong agar wartawannya menyelewengkan tugas, wewenang, dan
fungsi pers. Yang saya beber memang baru yang ditujukan ke DPR KK, namun
sebaiknya Pemkab, Pemkot, dinas-dinas dan lembaga, termasuk perseorangan dan
kalangan dunia usaha, segera mengevaluasi setiap keterkaitannya dengan
pemberitaan media ini. Apakah tulisan atau berita yang dipublikasi benar-benar
produk kerja jurnalistik atau ekspresi ancaman supaya bersedia mengontrak
‘’bbi’’, ‘’bbk’’, atau advertorial?
Mengacu pada UU No 40/1999, siapa pun (termasuk saya) berhak
membawa tindakan pelanggaran oleh Pemred Radar
Bolmong ke Dewan Pers dan polisi. Dewan Pers karena bagaimana pun Radar Bolmong adalah institusi pers. Sedangkan
polisi, selain karena instruksi itu bermuatan tindak pidana, Budi Siswanto juga
bukan wartawan. Dia loper koran yang didapuk jadi Pemred, jadi hampir mustahil
mengantongi keanggotaan PWI, apalagi AJI.
Kalau pun pembaca blog
ini mau bersabar, menunggu hingga lebih banyak bukti yang saya sodor berkaitan dengan
pelanggaran UU Pers, KEJ, dan tindak pidana yang dimotori Budi Siswanto, jangan
kuatir. Menukil mantan Ketua PD, Anas Urbaningrum: Serial tulisan yang sudah
diunggah baru bab pembuka. Saya bahkan belum menyentuh level dan kebijakan sedikit di atas Pemred, apalagi yang ada di
puncak-puncaknya.***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
AJI: Aliansi
Jurnalis Independen; bbi: Berita
Berbayar Iklan; bbk: Berita Berbayar
Koran; BMR: Bolaang Mongondow Raya; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; KEJ: Kode Etik Jurnalistik; KK: Kota Kotamobagu; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; Pemkot: Pemerintah Kota; PD: Partai Demokrat; PWI: Persatuan Wartawan Indonesia; dan UU: Undang-undang.