PASAL dan
ayat-ayat di UU No 40/1999 dipertegas oleh KEJ yang menjadi anutan para pewarta
di Indonesia dalam menjalankan profesinya. Pasal 4 KEJ mencantumkan, ‘’Wartawan
Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.’’ Pasal ini,
secara resmi ditafsir, (1) Bohong
berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang
tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. (2) Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar
yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk. (3) Sadis berarti kejam dan
tidak mengenal belas kasihan. (4) Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara
erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk
membangkitkan nafsu birahi. Dan (5) Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip,
wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.
Pasal 4 KEJ
dipertegas lagi di Pasal 5, bahwa, ‘’Wartawan Indonesia tidak
menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak
menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.’’ Penafsiran yang
disepakati oleh seluruh organisasi wartawan terhadap pasal ini adalah, (1) Identitas adalah semua data dan informasi
yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak. Dan (2)
Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.
Dua pasal itu masih
ditambah Pasal 9, yaitu, ‘’Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber
tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.’’ Tafsir terhadap
pasal ini adalah, (1) Menghormati hak
narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati. Dan (2) Kehidupan
pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang
terkait dengan kepentingan publik.
Di bagian manakah
dari tiga pasal KEJ itu yang tidak dimengerti oleh jajaran redaksi Radar
Bolmong? Foto-foto yang dipapang di halaman depan korannya jelas cabul,
sekali pun dengan upaya blurring. Tak dapat diperdebatkan pula bahwa
dengan sengaja koran ini menyiarkan identitas korban kejahatan susila, hingga
memudahkan orang lain melacak. Tentu akan ada perdebatan apakah kedua oknum
yang berpose itu dikategorikan sebagai pelaku ataukah korban?
Beberapa kasus yang
dikategorikan peristiwa asusila, yang kemudian menjadi konsumsi publik negeri
ini lewat pemberitaan media membuktikan, sekali pun hanya melibatkan dua orang,
selalu ada pihak yang menjadi pelaku dan yang lainnya korban. Bahkan, keduanya
dapat dikategorikan sebagai korban bila gambar-gambar itu disimpan sebagai rahasia
pribadi, yang kemudian diambil (sengaja atau tidak) dan disebarkan oleh pihak
lain.
Demikian pula, Radar
Bolmong jelas telah menginjak-injak hak nara sumber agar kehidupan
pribadinya dihormati, kecuali untuk kepentingan publik, sebagaimana yang
diamanatkan Pasal 9 KEJ. Sekali lagi, apa kepentingan publik yang dikandung empat
frame foto dua oknum terduga birokrat
yang sengaja merekam ekspresi birahinya?
Publik boleh diberitahu bahwa ada skandal yang melibatkan
dua orang bukan-suami istri, yang kebetulan berprofesi sebagai PNS. Namun Radar Bolmong, oleh UU dan KEJ, tidak
diberi hak dan wewenang mempublikasi skandal itu seolah-olah adegan yang mereka
perankan adalah petunjuk yang membawa manfaat bagi siapa pun yang melihat.
Kebijakan dan praktek jurnalistik di redaksi Radar Bolmong yang tak henti saya kritik
dan kritisi, cepat atau lambat bakal menjerumuskan media ini tidak hanya pada
pelanggaran UU Tentang Pers dan KEJ. Yang mengejutkan, media yang mengedepankan
cash in lewat ‘’bbi’’, ‘’bbk’’ atau advertorial nyaris sebagai satu-satunya
tujuan penerbitannya ini, ternyata terjerembab lebih cepat. Isu yang
menjerumuskan pun cuma perkara ecek-ecek,
urusan celana dalam dan isinya dari sosok-sosok yang juga bukan kategori para
pembuat berita yang layak disoroti dan diberi porsi khusus.
Mengacu pada UU No 40/1999 dan KEJ, dengan sangat menyesal
saya menyimpulkan, berkenaan dengan skandal dua oknum birokrat yang diduga
bekerja di Pemkab Bolmong, publikasi Radar
Bolmong itu bukanlah praktek jurnalisme. Redaksi koran ini tidak berbeda
dengan sekelompok orang yang kebetulan mampu menulis berita, punya sejumlah
fakta dan bukti, kemudian dengan sengaja mengolah, mencetak, dan menyebarkan
sebagai material yang melanggar hukum, norma, etika, nilai-nilai agama, serta
konvensi sosial dan budaya masyarakat beradab. Mereka tidak pantas berlindung
di bawah UU Tentang Pers dan KEJ.
Sebagai pelanggaran hukum, dalam hal ini tindak pidana, yang
dirujuk adalah KUHP. Aparat berwenang, Polres Bolmong dan Kejari Kotamobagu, lebih
paham pasal dan ayat-ayat mana di KUHP yang dilanggar Radar Bolmong. Yang jelas mereka wajib mengambil tindakan tegas, ada
atau tidak laporan dari pembaca, dua terduga yang ruang pribadinya diumbar,
atau keluarga mereka. Apalagi dampak pemajangan foto-foto tidak pantas itu bahkan
lebih luas dari menampilkan dua orang berbeda jenis kelamin masyuk menyalurkan
syawat di tengah keramaian pasar. Luasnya daya jangkau koran dan ketahanannya
untuk terus dibaca dan dilihat kembali, secara sistematis menjadikan penyebaran
material cabul dan asusila berpotensi bergulir bagai bola salju.
Polisi khususnya tentu tidak akan menunggu ada pihak yang
bersuka rela melaporkan masyuk birahi sepasang manusia di tengah umum, baru
bertindak mengamankan keduanya. Sekadar tarian telanjang di ruang-ruang
tertutup dan remang-remang yang dikonsumsi sejumlah kecil orang saja sudah
membuat ‘’tanduk hukum’’ polisi tegak, apalagi publikasi tercela yang mudah
dirunut di mana dan bagaimana itu dibuat serta siapa aktor-aktor di baliknya.
Langkah hukum adalah upaya terbaik dan paling beradab
menangani kesengajaan publikasi cabul dan asusila oleh Radar Bolmong. Di sisi lain pengelola koran ini juga mesti
bersukur, kendati telah menginjak-ngijak norma (agama, sosial, budaya) dan etika
yang dianut mayarakat Bolmong, mereka belum digeruduk massa yang tersinggung
dan meradang.
Saya yakin MUI Bolmong tidak akan bereaksi; FPI yang biasa
bersuara dan beraksi keras (terutama di isu-isu minuman beralkohol) pasti
tiarap; DPR yang gemar omong pun mendadak sakit gigi; apalagi LSM atau organisasi mahasiswa seperti HMI dan sejenisnya yang
cuma riuh bila isunya menyerempet-nyerempet politik. Isu sejenis skandal
sepasang oknum birokrat itu, terlebih mereka bukanlah elit birokrasi atau tokoh
publik, memang kering pesan dan dana sponsor. Jadi, kecil kemungkinan ada yang
sungguh-sungguh serius dan bersedia bercapek-capek menyoal, terlebih menggelar
unjuk rasa menggungat Radar Bolmong?
Bagi saya pribadi, yang menyedihkan sekaligus mengundang
murka dari publikasi Radar Bolmong itu,
karena ada korban ikutan yang semestinya menjadi pihak yang pertama dan utama
mendapat perlindungan dari sorotan publik. Diakui atau tidak, penyiaran foto-foto
yang memudahkan orang banyak menemukan identitas sepasang oknum yang jadi
artisnya, juga berimbas pada diketahuinya siapa suami atau istri, anak-anak,
dan keluarga terdekat mereka.
Saya tidak dapat membayangkan seberapa remuk hati dan
jantung mereka melihat foto-foto tersebut; juga pandangan dan bisik-bisik
orang-orang sekitar. Tidak pula saya memiliki keberanian menduga-duga bagaimana
kehidupan dua oknum yang jadi obyek publikasi Radar Bolmong itu setelah gambar-gambar aksi mereka dideder telanjang dan vulgar.
Media yang dikelola orang-orang tak berotak, amatir, dan
jauh dari bijaksana, pada akhirnya memang cuma membawa kerusakan pada orang
banyak dan para pengelolanya sendiri.***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
bbi: Berita
Berbayar Iklan; bbk: Berita Berbayar
Koran; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; FPI: Front Pembela Islam; HMI: Himpunan Mahasiswa Islam; KEJ: Kode Etik Jurnalistik; KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
MUI: Majelis Ulama Indonesia; dan UU: Undang-undang.