Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, October 22, 2013

Terkutuklah Jurnalisme ‘’Radar Bolmong’’ (2)


PASAL dan ayat-ayat di UU No 40/1999 dipertegas oleh KEJ yang menjadi anutan para pewarta di Indonesia dalam menjalankan profesinya. Pasal 4 KEJ mencantumkan, ‘’Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.’’ Pasal ini, secara resmi ditafsir, (1) Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. (2) Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk. (3) Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan. (4) Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi. Dan (5) Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.

Pasal 4 KEJ dipertegas lagi di Pasal 5, bahwa, ‘’Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.’’ Penafsiran yang disepakati oleh seluruh organisasi wartawan terhadap pasal ini adalah, (1) Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak. Dan (2) Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.

Dua pasal itu masih ditambah Pasal 9, yaitu, ‘’Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.’’ Tafsir terhadap pasal ini adalah, (1) Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati. Dan (2) Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.

Di bagian manakah dari tiga pasal KEJ itu yang tidak dimengerti oleh jajaran redaksi Radar Bolmong? Foto-foto yang dipapang di halaman depan korannya jelas cabul, sekali pun dengan upaya blurring. Tak dapat diperdebatkan pula bahwa dengan sengaja koran ini menyiarkan identitas korban kejahatan susila, hingga memudahkan orang lain melacak. Tentu akan ada perdebatan apakah kedua oknum yang berpose itu dikategorikan sebagai pelaku ataukah korban?

Beberapa kasus yang dikategorikan peristiwa asusila, yang kemudian menjadi konsumsi publik negeri ini lewat pemberitaan media membuktikan, sekali pun hanya melibatkan dua orang, selalu ada pihak yang menjadi pelaku dan yang lainnya korban. Bahkan, keduanya dapat dikategorikan sebagai korban bila gambar-gambar itu disimpan sebagai rahasia pribadi, yang kemudian diambil (sengaja atau tidak) dan disebarkan oleh pihak lain.

Demikian pula, Radar Bolmong jelas telah menginjak-injak hak nara sumber agar kehidupan pribadinya dihormati, kecuali untuk kepentingan publik, sebagaimana yang diamanatkan Pasal 9 KEJ. Sekali lagi, apa kepentingan publik yang dikandung empat frame foto dua oknum terduga birokrat yang sengaja merekam ekspresi birahinya?

Publik boleh diberitahu bahwa ada skandal yang melibatkan dua orang bukan-suami istri, yang kebetulan berprofesi sebagai PNS. Namun Radar Bolmong, oleh UU dan KEJ, tidak diberi hak dan wewenang mempublikasi skandal itu seolah-olah adegan yang mereka perankan adalah petunjuk yang membawa manfaat bagi siapa pun yang melihat.

Kebijakan dan praktek jurnalistik di redaksi Radar Bolmong yang tak henti saya kritik dan kritisi, cepat atau lambat bakal menjerumuskan media ini tidak hanya pada pelanggaran UU Tentang Pers dan KEJ. Yang mengejutkan, media yang mengedepankan cash in lewat ‘’bbi’’, ‘’bbk’’ atau advertorial nyaris sebagai satu-satunya tujuan penerbitannya ini, ternyata terjerembab lebih cepat. Isu yang menjerumuskan pun cuma perkara ecek-ecek, urusan celana dalam dan isinya dari sosok-sosok yang juga bukan kategori para pembuat berita yang layak disoroti dan diberi porsi khusus.

Mengacu pada UU No 40/1999 dan KEJ, dengan sangat menyesal saya menyimpulkan, berkenaan dengan skandal dua oknum birokrat yang diduga bekerja di Pemkab Bolmong, publikasi Radar Bolmong itu bukanlah praktek jurnalisme. Redaksi koran ini tidak berbeda dengan sekelompok orang yang kebetulan mampu menulis berita, punya sejumlah fakta dan bukti, kemudian dengan sengaja mengolah, mencetak, dan menyebarkan sebagai material yang melanggar hukum, norma, etika, nilai-nilai agama, serta konvensi sosial dan budaya masyarakat beradab. Mereka tidak pantas berlindung di bawah UU Tentang Pers dan KEJ.

Sebagai pelanggaran hukum, dalam hal ini tindak pidana, yang dirujuk adalah KUHP. Aparat berwenang, Polres Bolmong dan Kejari Kotamobagu, lebih paham pasal dan ayat-ayat mana di KUHP yang dilanggar Radar Bolmong. Yang jelas mereka wajib mengambil tindakan tegas, ada atau tidak laporan dari pembaca, dua terduga yang ruang pribadinya diumbar, atau keluarga mereka. Apalagi dampak pemajangan foto-foto tidak pantas itu bahkan lebih luas dari menampilkan dua orang berbeda jenis kelamin masyuk menyalurkan syawat di tengah keramaian pasar. Luasnya daya jangkau koran dan ketahanannya untuk terus dibaca dan dilihat kembali, secara sistematis menjadikan penyebaran material cabul dan asusila berpotensi bergulir bagai bola salju.

Polisi khususnya tentu tidak akan menunggu ada pihak yang bersuka rela melaporkan masyuk birahi sepasang manusia di tengah umum, baru bertindak mengamankan keduanya. Sekadar tarian telanjang di ruang-ruang tertutup dan remang-remang yang dikonsumsi sejumlah kecil orang saja sudah membuat ‘’tanduk hukum’’ polisi tegak, apalagi publikasi tercela yang mudah dirunut di mana dan bagaimana itu dibuat serta siapa aktor-aktor di baliknya.

Langkah hukum adalah upaya terbaik dan paling beradab menangani kesengajaan publikasi cabul dan asusila oleh Radar Bolmong. Di sisi lain pengelola koran ini juga mesti bersukur, kendati telah menginjak-ngijak norma (agama, sosial, budaya) dan etika yang dianut mayarakat Bolmong, mereka belum digeruduk massa yang tersinggung dan meradang.

Saya yakin MUI Bolmong tidak akan bereaksi; FPI yang biasa bersuara dan beraksi keras (terutama di isu-isu minuman beralkohol) pasti tiarap; DPR yang gemar omong pun mendadak sakit gigi; apalagi LSM atau organisasi mahasiswa seperti HMI dan sejenisnya yang cuma riuh bila isunya menyerempet-nyerempet politik. Isu sejenis skandal sepasang oknum birokrat itu, terlebih mereka bukanlah elit birokrasi atau tokoh publik, memang kering pesan dan dana sponsor. Jadi, kecil kemungkinan ada yang sungguh-sungguh serius dan bersedia bercapek-capek menyoal, terlebih menggelar unjuk rasa menggungat Radar Bolmong?

Bagi saya pribadi, yang menyedihkan sekaligus mengundang murka dari publikasi Radar Bolmong itu, karena ada korban ikutan yang semestinya menjadi pihak yang pertama dan utama mendapat perlindungan dari sorotan publik. Diakui atau tidak, penyiaran foto-foto yang memudahkan orang banyak menemukan identitas sepasang oknum yang jadi artisnya, juga berimbas pada diketahuinya siapa suami atau istri, anak-anak, dan keluarga terdekat mereka.

Saya tidak dapat membayangkan seberapa remuk hati dan jantung mereka melihat foto-foto tersebut; juga pandangan dan bisik-bisik orang-orang sekitar. Tidak pula saya memiliki keberanian menduga-duga bagaimana kehidupan dua oknum yang jadi obyek publikasi Radar Bolmong itu setelah gambar-gambar aksi  mereka dideder telanjang dan vulgar.

Media yang dikelola orang-orang tak berotak, amatir, dan jauh dari bijaksana, pada akhirnya memang cuma membawa kerusakan pada orang banyak dan para pengelolanya sendiri.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

bbi: Berita Berbayar Iklan; bbk: Berita Berbayar Koran; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; FPI: Front Pembela Islam; HMI: Himpunan Mahasiswa Islam; KEJ: Kode Etik Jurnalistik; KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana; MUI: Majelis Ulama Indonesia; dan UU: Undang-undang.