MELURUSKAN
sesuatu yang terlanjur bengkok dan sumir justru kerap mengungkap hal lain yang
lebih buruk. Berita Totabuan.Co, Minggu,
29 September 2013, Kasie Pidsus: Penyelidikan Kasus di Bagian Humas Bolmut Sudah Ada Unsur
Kerugian Negara (http://totabuan.co/2013/09/29/kasie-pidsus-penyelidikan-kasus-di-bagian-humas-bolmut-sudah-unsur-kerugian-negara/), memperjelas syak bahwa sejak mula penetapan Kabag Humas dan
mantan Bendahara Humas Pemkab Bolmut sebagai tersangka Tipikor, memang bau
busuk persekongkolan jahat.
Pemberitaan Totabuan.Co
itu adalah follow up publikasi
sebelumnya, Senin, 23 September 2013, Kejaksaan Negeri Boroko Tetapkan Dua PNS Bagian Humas Sebagai Tersangka
(http://totabuan.co/2013/09/23/kejaksaan-negeri-boroko-tetapkan-dua-pns-bagian-humas-sebagai-tersangka/), yang bersama berita sejenis
di Swaramanado Online saya kritik
sebagai ‘’praktek jurnalisme abot-abot’’. Di dua tulisan yang sudah dipublikasi
di blog ini (Media, Jurnalis, dan ‘’Pers APBD’’ dan Bau Amis Penetapan Tersangka Tipikor di Bolmut) saya mempertanyakan
pula dasar dan motif Kejari Boroko mentersangkakan dua birokrat itu.
Membaca
penjelasan Kepala Seksi Pidana
Khusus (Pidsus) Kejari Boroko, Budi Kristiarto, yang dikutip Totabuan.Co, tak urung saya menyemburkan
serapah favorit, ‘’Dungu!’’ Bukti-bukti apa yang telah diteliti Kejari Boroko lalu
berani-beraninya mereka memutuskan Kabag Humas dan mantan Bendahara Humas Pemkab
Bolmut sebagai tersangka? Apakah Tuan Jaksa Budi adalah sarjana hukum, sarjana
administrasi negara, dan sarjana akutansi hingga mampu sekaligus melaksanakan
tiga tugas dari tiga domain berbeda?
Pembaca, tinjauan
kritis dan kritik saya terhadap isu itu sebenarnya tak bermaksud mengusik pihak
manapun, termasuk jurnalis dan media di Sulut. Apa yang saya tuliskan di blog ini semata pertanyaan-pertanyaan
umum dan normatif, khususnya karena dari aspek jurnalistik pemberitaannya
terkesan dipaksa-paksakan. Penulis atau pewarta berpengalaman dengan gampang
dapat mengendus sebuah berita memang ditujukan demi membeber fakta; atau dengan
niat jahat tertentu, terutama pemerasan dan penghancuran nama baik.
Apalagi aparat
berwenang (polisi, jaksa, hakim) menjadi pemeras, baik sendiri-sendiri karena
wewenang yang dimilikinya maupun bekerjasama dengan oknum lain (termasuk
wartawan), sudah pula menjadi pengetahuan umum di negeri ini. Waspada, kritis, dan
mempertanyakan setiap isu hukum dan perilaku aparat penegaknya adalah cara
terbaik agar tak jadi korban, juga sebagai tindakan preventif supaya para
bajingan tidak memiliki cukup celah mempraktekkan modusnya.
Berdasar informasi
di ranah publik, terutama dari dua media digital yang aktif mempublikasi
beritanya, saya tak segan menuduh ditersangkakannya Kabag Humas dan mantan
Bendahara Humas Pemkab Bolmut sebagai konspirasi jahat antara kejaksaan dan
sejumlah oknum wartawan. Konspirasi yang dilakukan dengan cara sangat amatiran
ini, selain melanggar hukum, menunjukkan para pemainnya menganggap remeh
komunikasi modern yang kian memudahkan orang ramai mengakses informasi dan
bukti-bukti. Juga, mengadukan pelanggaran oleh penegak hukum ke insitusi di
atasnya dan menggalang solidaritas publik bersama-sama melawan kesewenang-wenangan.
Saya ingin menunjuk
hidung para bedebah dengan menggunakan bukti dari sumber yang sama, yang mulai
mengangkat isu ini, khususnya Totabuan.Co.
Di pemberitaan terbarunya, media ini menulis bahwa yang melaporkan adanya
dugaan penyelewengan dana di Humas Pemkab Bolmut adalah Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI) Kabupaten Bolmut. Musababnya, sejumlah wartawan anggota PWI
merasa dirugikan oleh (dugaan) pemalsuan tanda tangan dan cap/stempel milik
sejumlah media cetak di kabupaten ini. Akibat dugaan pelanggaran hukum
tersebut, para pengadu merasa dirugikan dalam proses pencairan dana advertorial di lingkungan Pemkab Bolmut.
Pertama, dugaan pemalsuan tanda tangan dan cap/stempel hingga merugikan proses
pencairan dana advertorial di Pemkab
Bolmut berarti: Ada advertorial yang
sudah dipublikasi tetapi dananya sulit atau tak dapat dicairkan. Pertanyaan
saya pada Tuan-tuan Jaksa di Kejari Boroko, di bagian mana ada kerugian negara
bila barang/jasa yang harus dibayar dengan dana APBD dapat dibuktikan berwujud?
Kalau kemudian
masalahnya adalah dugaan pemalsuan tanda tangan dan cap/stempel, ini tindak
pidana biasa yang menjadi domain polisi; bukan urusan Kejari Boroko. Cuma jaksa
dungu atau yang berniat jahat menyelewengkan penegakan hukum yang bersedia
menerima laporan tindak pidana biasa dan memprosesnya dengan pelintiran sebagai
kasus Tipikor.
Dan kedua, apa urusan PWI dalam kasus ini?
PWI ini organisasi wartawan, organisasi media, atau tempat berlindung para
pemeras berkedok jurnalis? Praktek jurnalistik bukanlah rocket science. Masyarakat tahu persis ada dua bagian besar yang
sama sekali terpisah di setiap institusi media: redaksi dan usaha. Redaksi
mengurusi apa yang akan dipublikasi (berita, feature, reportase panjang , atau reportase investigatif); sedang
usaha menangani segala sesuatu yang berkaitan dengan aspek bisnis, termasuk
iklan dan advertorial.
Dengan pembagian
wilayah redaksi dan usaha yang ketat seperti itu, bila wartawan menemukan ada
dugaan tindak pidana oleh oknum birokrasi, yang dia lakukan adalah mengumpulkan
fakta, meminta pernyataan dari pihak-pihak terkait dan berwenang, kemudian
menulis dan mempublikasikan temuannya. Publikasi wartawan di medianya, bila
valid dan kredibel, dapat digunakan sebagai referensi bagi penegak hukum untuk menjalankan
kewajibannya dengan melakukan penelitian, penyelidikan, dan penyidikan.
Adakah wartawan
yang sebelumnya telah menulis dugaan penyelewengan yang kini dituduhkan ke
Kabag Humas dan mantan Bendahara Humas Pemkab Bolmut? Dari telisikan saya, sama
sekali tak ada. Yang ada adalah pemberitaan tiba-tiba dan sumir ditetapkannya
dua birokrat ini sebagai tersangka Tipikor.
Sejalan dengan
pembagian kewenangan redaksi dan usaha, pemuatan iklan atau advertorial adalah pengikatan hukum
antara media dan pemasang iklan atau advertorial.
Kalau salah satu pihak melanggar kesepakatan, dia boleh jadi adalah kasus perdata
atau pidana. Dalam kasus dugaan pemalsuan tanda tangan dan cap/stempel, tak
lain adalah pidana biasa yang harus dilaporkan oleh jajaran pimpinan
perusahaan media yang bersangkutan. Laporan ke pihak kepolisian memang boleh
diwakilkan pada siapapun, termasuk wartawannya, sepanjang dia mengantongi surat
kuasa dari pemimpinan perusahaan atau pemimpin umum.
Dengan demikian,
tidak ada urusan dan wewenang apapun dari seorang wartawan, terlebih tanpa
surat kuasa, melaporkan dugaan tindak pidana ke penegak hukum. Kecuali
wartawan tersebut juga merangkap sebagai pemimpin umum, pemimpin perusahaan,
pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, redaktur, reporter, fotografer, tukang
cetak, dan loper. Dia adalah pemilik sekaligus pengelola tunggal medianya. Dan
media seperti ini, menurut saya, patut dipertanyakan kredibilitas dan
kepantasannya sebagai mitra kerjasama.
Fakta-fakta yang
dikonklusi dari dua pertanyaan besar itu menegaskan keyakinan saya, bahwa
dugaan Tipikor yang ditimpakan pada Kabag Humas dan mantan Bendahara Humas Pemkab
Bolmut memang sejak awal didasarkan pada niat dan rencana jahat. Karenanya,
saya (yang sama sekali tak bersentuhan, apalagi berkomunikasi dengan keduanya)
berharap mereka mesti menggugat balik dengan melaporkan oknum-oknum di
Kejaksaan Boroko ke Kejati Sulut dan Kejagung.
Akan halnya PWI
Bolmut, dua birokrat yang kini berstatus tersangka berhak menyeret mereka ke
kepolisian dengan sangkaan tindak pidana pencemaran nama baik, manipulasi, atau bahkan pemerasan. Sejalan dengan laporan ke kepolisian, pengaduan juga
dilayangkan ke PWI Pusat dan Dewan Pers agar dua lembaga ini tahu ada
pelanggaran etika dan penghinaan terhadap profesi pewarta di Bolmut oleh sejumlah
oknum atas nama jurnalisme dan organisasi para jurnalis.***