BERITA itu
terselip di antara pikuk kabar politik Mongondow, khususnya pelantikan
Walikota-Wakil Walikota (Wawali) Kota Kotamobagu (KK) 2013-2018, Minggu (22
September 2013). Status BlackBerry
Messenger (BBM) seorang kawan, yang menulis (kurang lebih), ‘’Apa salah
Kabag Humas Bolmut hingga jadi
tersangka?’’ yang mendorong keingintahuan saya.
Dari seorang kawan lain, jurnalis sebuah situs berita yang
berpusat di KK, saya mendapat gambaran agak jelas, per 17 September 2013
Kejaksanaan (Kejari) Negeri Boroko menetapkan Kepala Bagian Hubungan Masyarakat
(Kabag Humas) Bolaang Mongondow Utara (Bolmut) dan mantan Bendahara Bagian
Humas sebagai tersangka tindak pidana korupsi (Tipikor). Tapi bagaimana
seluk-beluk Tipikor yang menjerat dua birokrat itu, kawan wartawan ini mempersilahkan
saya membuka tautan situs yang dia kirimkan.
Di tautan itu, http://www.swaramanado-online.com/index.php/daerah/bolmut/4728-kejari-tetapkan-kabag-humas-bolmut-dan-bendahara-jadi-tersangka.html,
Senin (23 September 2013), terpampang berita dengan tajuk Kajari tetapkan Kabag Humas Bolmut dan bendahara jadi tersangka. Di
tubuh berita kurang lebih dinyatakan penetapan kedua birokrat itu sebagai
tersangka Tipikor lewat surat perintah
penyidikan (Sprindik) Nomor 67/R.1.19/FD-I/09/2013 dan Nomor 68/R.1.19/FD-I/09/2013, tertanggal 17
September 2013. Dugaan kejahatan yang mereka lakukan berkaitan dengan
penggunaan dana di pos anggaran pembayaran koran dan advertorial di Bagian Humas Pemkab Bolmut pada tahun anggaran (TA)
2012 dan 2013, masing-masing senilai Rp 2 miliar dan Rp 3 miliar.
Bagi saya paparan
di SwaraManado Online masih tetap tak
menjawab pertanyaan mendasar: Apa yang mereka lakukan (dan modusnya) hingga
terjerat Tipikor? Dan berapa besar kerugian negara yang diakibatkan ulah
keduanya? Apakah mereka memanipulasi telah membayar nilai tertentu untuk sejumlah
langganan koran dan publikasi advertorial,
tetapi bukti-bukti yang ada di tangan Kejari menunjukkan tidak demikian
faktanya? Lalu akibat ‘’kreativitas keduanya’’ negara dirugikan senilai rupiah
tertentu?
Entah wartawan yang
kurang jeli menggali atau pihak kejaksaan tidak piawai mengungkap duduk-soalnya,
yang jelas dari konferensi pers di Kantor Kejari, Kepala Kejaksaan Negeri
(Kajari) Boroko hanya mengemukakan, ‘’Kami saat ini belum bisa menjelaskan
kepada publik total kerugian negara. Nanti setelah ada perhitungan dari
auditor, barulah kami memberikan informasi secara terperinci.’’
Sejak booming
media di Sulawesi Utara (Sulut) umumnya dan Mongondow khususnya, jumlah orang
yang menyandang (atau mengaku) profesi wartawan melimpah ruah. Sebagian besar
dengan modal nekad. Maka keajaiban-keajaiban pun terjadi. Reporter kemarin sore
yang masih sulit membedakan kata kerja dan kata benda, titik dan koma,
tiba-tiba didapuk sebagai Pemimpin Redaksi (Pemred); redaktur dicomot begitu
saja; dan reporter lahir dalam hitungan hari.
Hasil dari proses yang melawan hukum evolusi itu adalah
media, wartawan, berita, dan tulisan yang centang-perenang. Alih-alih memuaskan
keingintahuan dasar pembaca yang disasar, ketika menyimak kembali apa yang
disajikan, wartawan atau penulisnya sendiri pun mungkin punya tanda-tanya tak
kalah besar di kepala: Mengapa ini, bagaimana itu, siapa si anu, kapan, dan
lain sebagainya, yang sesungguhnya adalah dasar paling sederhana yang harus
dijawab seorang jurnalis sebelum dia menuliskan sesuatu pada para pembacanya.
Jurnalisme abot-abot kian
menemukan tempat karena beberapa media mainstream
di Sulut, yang semestinya dari sisi sejarah dan rekam-jejak telah mencapai
kematangan, secara sadar mendudukkan isi publikasinya bukan lagi tentang ‘’fakta
dan kebenaran’’. Mereka menjadi sekadar warung, toko, atau pusat belanja
informasi yang setiap huruf, kata, dan tanda-tanda bacanya dinilai dengan
rupiah.
Saya tidak perlu menyebutkan media mana saja yang memelopori
kebijakan redaksi yang sebenarnya melawan seluruh prinsip-prinsip hakiki
jurnalisme itu. Bukan rahasia lagi, hanya satu atau dua media yang terbit di
Sulut (khususnya cetak) yang bebas dari halaman berbayar atau kontrak kerjasama
antara media bersangkutan dengan pemerintah daerah (Pemda) –yang didanai dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)-- serta institusi bisnis. Salah
satu penanda adalah dipajangnya foto pejabat publik tertinggi Pemda di sisi
atas atau logo institusi bisnis yang terikat dalam kontrak kerjasama itu.
Sekali-dua menyua foto pejabat publik dengan uniform resmi lengkap (mirip foto-foto
yang menghiasi ruang-ruang kantor pemerintah), kita masih bertoleran. Tetapi
mana tahan bila setahun atau bahkan lima tahun berturut. Belum lagi isi
pemberitaannya, yang diklaim sebagai produk jurnalistik, tidak berbeda dengan
lelehan iler. Pembaca, kalau Anda tidak percaya, coba ambil salah satu media
cetak dengan halaman yang saya gambarkan dan peras. Yang Anda panen adalah
bual-bual para pejabat publik dan ludah hasil jilatan wartawan yang menulis.
Segala sampah yang dikonsumsi pembaca, yang membayar
langganan per bulan atau sejumlah rupiah untuk edisi eceran, bernilai informasi
sangat minim. Yang mengemuka hanyalah narsisme sejumlah kecil pejabat publik. Dan
itu, khususnya dalam hal kontrak kerjasama antara media dan Pemda, adalah
penyalahgunaan anggaran negara, hak rakyat, dengan kemasan seolah-olah demi
komunikasi dan transparansi antara institusi dan pejabat pelayan publik dan
masyarakat luas.
Melihat praktek ‘’pers APBD’’ itu, saya pun tak segan
menyatakan bahwa daerah yang dipimpin oleh pejabat publik di Sulut (tak peduli
Gubernur, Bupati, Walikota, atau jajaran di bawahnya) yang menyetujui kontrak
kerjasama kerjasama pemberitaan, layak disebut dungu. Salah satu tugas media dan
jurnalisnya adalah mengontrol kepentingan publik, perilaku lembaga dan pejabat
publik. Kian banyak berita buruk yang disiarkan media semestinya harus
disyukuri. Dengan demikian langkah pembenahan dapat dengan cepat diambil dan
tepat sasaran.
Tetapi apa konteks repetan saya dengan ditetapkannya Kabag
Humas dan mantan Bendahara Bagian Humas Pemkab Bolmut oleh Kejari Boroko? Ada
tiga hal: Pertama, ‘’pers APBD’’ yang
dipraktekkan di Sulut umumnya dan Mongondow khususnya membuktikan standar
jurnalistik para pewartanya memang hampir menyentuh dasar sumur. Kedua, omongan pejabat publik (khususnya
aparat berwenang) dikutip nyaris tanpa sikap kritis dan keingintahuan sebagai salah
satu laku substantif seorang wartawan. Bukankah menetapkan seorang tersangka
Tipikor tanpa penjelasan apa yang dilakukan dan modusnya; dan terlebih jumlah
(sekali pun baru sekadar perkiraan) kerugian negara yang diakibatkan, adalah
kesewenang-wenangnya yang juga melawan hukum?
Dan ketiga
(sekaligus yang terpenting), kalau urusan langganan koran dan advertorial menjadi pintu masuk dugaan
penyalagunaan uang negara, maka hampir seluruh pejabat publik tertinggi di
Sulut harus diperiksa dengan dugaan yang sama, dengan bukti kontrak kerjasama
pemberitaan antara Pemda dengan media yang isinya umumnya bukan demi kepentingan
layanan publik.
Dengan menggunakan sedikit nalar, pengetahuan, dan
kecermatan, kita tahu bukti-bukti
penyalahgunaan uang negara dalam urusan kontrak kerjasama media dan Pemda
seterang tegakan Gunung Ambang atau Klabat.***