POLITIK dan
pemerintahan di Boltim sungguh sangat dinamis sejak Pilwako KK usai. Di
beberapa bual-bual sosial yang saya ikuti dipercakapkan bahwa tensi tinggi yang
menghangatkan kabupaten ini, khususnya yang dipertunjukan Bupati Sehan Lanjar,
tak lepas dari kekalahan kakaknya, Muhamad Salim Lanjar, di Pilwako.
Mengingat pertemanan dengan Eyang, biasanya saya dengan
penuh semangat mendebat pengait-ngaitkan seperti itu. Bukan soal benar-tidaknya
isu yang dikemukakan, tetapi lebih pada adu argumen adalah penyegar pikiran dan
untuk menggali lebih banyak info. Salah satu sifat alamiah para politikus dan
aktivis, terlebih di Mongondow, ketika pendapat atau pernyataan mereka
ditentang, apa yang ada di dalam kantong dan hati tanpa disadari ditumpahkan
habis-habisan.
Saya yakin, setelah hati dingin dan akal sehat kembali
menghuni batok kepala, peninglah yang bersangkutan. Boleh jadi sesumbar yang
terlanjur diucap berbusa-busa dengan ludah memercik kemana-mana itu ternyata
bagai menggali kubur sendiri. Contoh terkini dari ketidak-mampuan mengontrol
mulut dan lidah itu melibatkan seorang aktivis yang cukup dikenal di seantero
Mongondow dan KPU KK.
Begini ceritanya: Masuknya nama (mantan) Walikota KK, DjM,
di DCT Pemilu 2014 digugat oleh PAN ke DKPP. Yang menjadi terduga –demikianlah
bahasa yang digunakan di lembaga ini— adalah KPU KK. Orang ramai pun
memperbincangkan isu ini, termasuk di sejumlah tempat bereriungan di Kotamobagu
seperti Kopi Jarod atau Korot.
Lalu muncullah tokoh kita ini, yang di mana-mana mengklaim
dan menyatakan dirinya sebagai pemikir di balik PAN dan para petingginya
(terutama Walikota KK, TB, dan anggota DPR RI Sulut asal PAN, Yasti Mokoagow).
Salah satu sesumbar yang menggelagar adalah pengakuan bahwa gugatan ke DKPP
adalah hasil olah pikir dan strategi yang dia rumuskan. Dan bahwa dengan
gugatan tersebut para personil KPU KK saat ini terancam dipecat dan tamat
eksistensinya.
Omongan panas disaat suhu isu menggelegak itu ditangkap lalu
disebarkan oleh para pendengar dan penyimak hingga akhirnya tiba di kuping
ketua dan anggota KPU KK. Apa yang terjadi berikutnya? Dari yang saya ketahui,
personil-personil KPU KK merasa amat disakiti dan tengah menyiapkan langkah
yang pasti akan memukul telak yang bersangkutan.
Kembali ke isu utama tulisan ini, Boltim dan dinamika politik
serta pemerintahannya. Sebagai bagian dari komunitas politik dan aktivis, walau
menikmati berbagai cerita dan ‘’bocoran’’, saya berusaha keras menjaga prinsip:
Pertama, jangan pernah menyebutkan
sumber informasi bila itu membahayakan yang bersangkutan. Dua, jangan perdulikan sesumbar dan omong besar karena kadar
kesahihan informasinya biasanya 20 persen benar, 60 persen cuma abab, dan 20
persen lainnya sangat meragukan. Ketiga,
cross check berulang-ulang setiap
informasi yang penting agar pada akhirnya yang didapat adalah subtansi, bukan
ikutan yang sekadar bumbu dan penyedap. Dan keempat,
bila akhirnya harus disampaikan pada pihak yang menjadi obyek isu, maka
sifatnya adalah kritik, masukan, atau bahkan pertanyaan, bukan provokasi.
Dapat dibayangkan bagaimana nasib seorang PNS di Boltim yang
jengkel dengan tabiat Eyang hampir tiga bulan terakhir, yang di setiap apel PNS
selalu menyemburkan kemarahan, bila saya nakal dan menginformasikan kutipan
asli serapahnya? Kendati secara faktual belakangan Bupati Boltim memang gemar
marah-marah di hadapan para birokrat bawahannya, tak beda dengan perempuan yang
sedang ‘’datang bulan’’ atau bahkan memasuki masa menopause.
Tanpa mengutip lebih rinci apa saja yang menjadi keberatan
dari umumnya birokrat di Boltim terhadap kebiasaan ‘’darah tinggi’’ Eyang, saya
tak sungkan mencontohkan ancaman mutasi dan pencopotan terhadap PNS yang
berdomosili di KK adalah salah satu yang dianggap paling menggores perasaan.
Bagi beberapa orang yang langsung menyampaikan keluhan ke saya, adalah hak
Bupati merumuskan dan mengambil kebijakan apapun. Tetapi kalau kebijakan itu
terlebih dahulu digunakan sebagai alat dan alasan menakut-nakuti bawahan,
menurut mereka, ‘’Eh, kalu mo copot, noh
copot jo. Nyanda usah banya’ ba lamu’,’’
Bila ditarik ke belakang, ke awal 2013, sebenarnya Eyang
kian tidak asing dengan ancaman copot-mencopot birokrat di jajarannya,
khususnya para Kepala SKPD. Seingat saya, dia bahkan mengkampanyekan bakal
membawa SK pencopotan ke mana-mana. Dokumen ini sudah ditandatangani dan siap
dibubuhi nama pejabat yang disua melakukan pelanggaran berulang atau tak
termaafkan.
Mungkin Eyang terlupa dengan yang pernah diperjanjikan itu.
Atau, dia ingat tetapi memilih cara yang lebih halus: tak bosan memarahi
jajarannya. Namun, dengan demikian di balik punggungnya Eyang kerap
dipercakapkan sebagai sosok yang ‘’mudah berjanji, mudah pula melupakan
janji.’’ Persepsi ini bahkan diusulkan oleh salah seorang kawan (yang juga
mengenal dekat Eyang) sebagai materi kampanye calon penantangnya di suksesi
Bupati-Wabup Boltim dua tahun ke depan. Kata kawan ini, ‘’Pasang saja baliho di
samping balihonya Eyang dengan tagline,
’Nyanda pang ba janji sama dengan di sablah’.’’ Ide yang sungguh jenius
sekaligus mendidik.
Lalu-lintas percakapan tentang Boltim dan Bupatinya itu
tiba-tiba mencapai anti klimaks tatkala Eyang benar-benar melakukan rolling pada Kamis, 19 September 2012.
Dari pemberitaan Kontraonline (http://kontraonline.com/13584/rolling-pejabat-dan-penandatanganan-pakta-integritas-pemkab-boltim/),
Rolling Pejabat dan Penandatanganan Pakta
Integritas Pemkab Boltim, saya melihat ada 20 pejabat setingkat Kepala
Dinas, Kepala Badan, dan Staf Ahli, yang dilantik. Ini belum terhitung dengan
jajaran di bawahnya, semisal Sekretaris Dinas atau Badan, serta Kepala Bidang
(Kabid) dan Kepala Bagian (Kabag).
Karena tidak percaya dengan spekulasi bahwa birokrat Boltim
yang bermukim di KK tidak akan kebagian kursi, saya tak mencermati dan
membandingkan siapa dan bermukim di mana orang-orang yang mendapat giliran
diembani amanat oleh Eyang itu. Saya lebih tertarik (pula tercengang-cengang)
karena 20 pejabat setingkat Kepala Dinas dan Kepala Badan yang dilantik ternyata
tak diangkat definitif. Mereka hanya ‘’Plt’’ atau ‘’pelaksana tugas’’. Tanpa
repot-repot mengumpulkan informasi dari seluruh negeri, kita sah bersyak lewat rolling yang dia lakukan Eyang berhasil
membawa Boltim memecahkan rekor kabupaten dengan jumlah Plt Kepala Dinas dan
Badan terbanyak di Indonesia.
Lucunya, setelah pelantikan para Plt itu beberapa kali saya
menyua berita yang mengutip pernyataan Eyang, bahwa dia memberi kesempatan tiga
bulan pada kabinet baru itu untuk membuktikan kinerjanya. Pertanyaannya:
Bagaimana kalau setelah tiga bulan kinerja birokrasi di Boltim tetap jalan di
tempat? Apakah Eyang akan mencopot para Plt itu dan menggantikan dengan Plt
yang lain?
Cukup tersediakah stok birokrat yang memenuhi syarat
kepangkatan dan pengalaman untuk jabatan Kepala Dinas dan Badan, sekali pun
sekadar Plt? Tidakkah dikuatirkan, karena terbatasnya sumber daya, setelah
evaluasi dilaksanakan Eyang akhirnya hanya dapat menukar para Plt itu dari satu
posisi ke posisi yang lain, mirip permainan dam?
Pembaca, saya sungguh ingin mengetahui alasan kebijakan Plt
massal yang diambil Eyang, antisipasi jangka menengah dan panjangnya terhadap
masalah sumber daya birokrasi di Boltim, serta apa sesungguhnya visi besarnya
terhadap pemerintahan dan pembangunan di kabupaten ini? Mudah-mudahan dalam
waktu dekat ‘’cuaca hati’’ Eyang sudah cerah dan dia punya keluangan waktu
menerima telepon atau anjangsana saya.
Saya sungguh berhati-hati, sebab menelepon atau beranjangsana
di waktu, tempat, dan suasana hati yang salah bisa-bisa membuat posisi sebagai
‘’teman’’ dia degradasi menjadi ‘’Plt teman’’.***