NANGKA,
sebagaimana kerabatnya, manggis, mentimum, kedondong, dan aneka jenis buah
lainnya, mewarnai sejumlah peribahasa Indonesia. Di Sekolah Dasar (SD), begitu
melewati pelajaran ‘’Wati, Budi, dan Iwan’’ serta berbagai awalan, imbuhan, dan
saudara-saudaranya, berkenalanlah kita dengan peribahasa.
Peribahasa sendiri, kata Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KUBI) dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional (Balai Pustaka, 2005), adalah, ‘’Kelompok kata atau kalimat yang tetap
susunannya, biasanya mengiaskan maksud tertentu.’’ Pengertian yang lain,
‘’Ungkapan atau kalimat ringkas, padat, berisi perbandingan, perumpamaan,
nasihat, prinsip hidup atau aturan tingkah laku.’’
Pelajaran zaman SD itulah yang membadai kepala ketika saya
membaca sejumlah pemberitaan terkait kelanjutan isu terdaftarnya Walikota Kota
Kotamobagu (KK), Djelantik Mokodompit (DjM), di Daftar Calon tetap (DCT)
Pemilihan Umum (Pemilu) 2014, Sabtu (31 Agustus 2013). Situasi terkininya boleh
dikata bagai peribahasa ‘’seorang makan nangka, kita terkena getahnya’’. Adalah
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) KK, Rustam Siahaan, yang tampaknya paling
repot berurusan dengan ‘’getah nangka’’ DjM.
Harian Radar Bolmong, Sabtu
(31 Agustus 2013), memajang berita utama Pengunduran
Diri Djelantik Palsu, dengan mengutip kilahan Ketua DPR KK. Menurut Siahaan,
surat keterangan yang dia keluarkan, yang dijadikan dasar oleh Komisi Pemilihan
Umum (KPU) meloloskan DjM di DCT Pemilu 2014, tidaklah menyebutkan Sidang
Paripurna DPR. Sebaliknya, di berita Siahaan:
DCT Djelantik Tak Ada Persoalan (http://beritamanado.com/politik-pemerintahan/siahaan-dct-djelantik-tak-ada-persoalan/205552/)
yang dipublikasi Beritamanado.Com,
kutipan pernyataan Ketua DPR KK justru berarti sebaliknya.
Menurut Siahaan, semua
tahapan pengunduran diri Walikota Kotamobagu sudah sesuai ketentuan perundang-undangan.
Dimana PP No 6/2005, Pasal 123, menyebutkan pengunduran diri hanya disampaikan
di paripurna, diputuskan, dan diusulkan oleh pimpinan dewan. Dia menegaskan, ‘’Tidak
ada yang menyebutkan dewan harus melalui proses ini dan itu. Dan yang hadir di
sidang paripurna itu memenuhi kuorum untuk mengambil keputusan.’’
Mudah-mudahan
pernyataan Ketua DPR KK itu dilontarkan tidak dengan ‘’berhakim pada beruk’’.
Pasal 123 PP No 6/2005 yang relevan dengan pengunduran diri Walikota KK adalah
Ayat (1) huruf b yang berbunyi ‘’atas permintaan sendiri’’ dan Ayat (3) yang
menyatakan ‘’Pemberhentian
Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, huruf b dan ayat (2) huruf a, huruf b diberitahukan oleh Pimpinan DPRD
untuk diputuskan dalam Rapat Paripurna dan diusulkan pemberhentiannya oleh
Pimpinan DPRD.’’
PP dan
pasal-pasalnya yang dirujuk Ketua DPR KK tidak dapat diinterpretasi lain,
kecuali bahwa dewan memang harus melakukan ‘’ini-itu’’ terlebih dahulu. Dengan
memahami undang-undang (UU) dan peraturan lain yang mengikat DPR, kita tahu
bahwa yang disebut ‘’Pimpinan DPR’’ bukanlah ketua semata, melainkan satu
kesatuan dengan Wakil Ketua. Terlebih Ayat (3) Pasal 123 PP No 6/2005 tidak
menyebutkan ‘’unsur Pimpinan Dewan’’. Ayat yang sama juga mengajari bahwa
setelah Pimpinan Dewan memberitahu, kemudian diputuskan dalam Rapat Paripurna
dan diusulkan pemberhentiannya oleh Pimpinan Dewan.
Pertanyaan saya
pada yang terhormat Ketua DPR KK, bagaimana bunyi surat keterangan yang Anda
tanda tangani untuk DjM? Apakah sebelum menandatangani surat itu Anda sudah
memberitahu dewan, kemudian melaksanakan Rapat Paripurna dan mengusulkan
pemberhentiannya?
Saya yakin Ketua
DPR KK sependapat dengan saya, bahwa bunyi surat No 100/DPR-KK/251/VII/2013, tertanggal 30 Juli 2013,
Perihal Keterangan Proses Usulan Pemberhentian Walikota Kotamobagu, ‘’... maka
DPRD Kota Kotamobagu telah melakukan Rapat Paripurna pada tanggal 30 Juli 2013,
dengan agenda penyampaian pengunduran diri Walikota Kotamobagu dan telah
diterima untuk selanjutnya ditindaklanjuti sesuai ketentuan yang berlaku’’,
yang dia tandatangani, memang melawan Pasal 123 PP No6/2005 dan Tata Tertib
(Tatib) DPR KK. Kapan Pimpinan Dewan memberitahu ada pengunduran diri Walikota
KK? Kapan pula ada Rapat Paripurna membahas pengunduran diri itu?
Sidang
Paripurna DPR KK, Selasa (30 Juli 2013) tidaklah membahas pengunduran diri
Walikota. Dan bahwa surat pengunduran diri DjM, tertanggal 26 Juni 2013, hanya
dibacakan oleh Sekretaris Dewan (Sekwan) sebagai laporan bagian dari daftar
surat masuk yang akan ditindaklanjuti oleh DPR.
Berhati-hatilah
dengan pernyataan publik, Bapak Ketua DPR KK. Jangan sampai yang terjadi
‘’dagang bersambut yang dia jual’’. Semakin isu pengunduran diri DjM dan
tercatatnya dia di DCT Pemilu 2014 dibahas, kian tampak bahwa peristiwanya tak
beda dengan ‘’musang terjun, lantai berjungkat.’’
***
Saya tak punya permusuhan atau silang-selisih dengan Rustam
Siahaan. Sebagai Ketua DPR KK selama ini dia melaksanakan tugas datar-datar
belaka. Relatif tanpa terobosan dan kejutan. Begitu landainya hingga DPR KK
sukses ‘’diperdaya’’ jajaran Pemerintah Kota (Pemkot), misalnya dalam perkara
Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Walikota, yang ternyata tidak
sejalan aturan yang semestinya.
Penelikungan itu baru ketahuan setelah DPR KK melakukan
konsultasi dengan jajaran Direktorat Jenderal Otonomi Daerah (Ditjen Otda),
sebagaimana yang saya simak dari situs Totabuan.Co
(http://totabuan.co/2013/09/01/pansus-lkpj-siap-panggil-kembali-tim-anggaran-pemkot/),
Pansus LKPJ Siap Panggil Kembali Tim
Anggaran Pemkot, Minggu (1 September 2013). Nah, urusan pelaporan anggaran yang sudah baku dan jadi pengetahuan
standar birokrasi saja masih ditipu-tipu, apalagi perihal yang terkait dengan
proses dan keputusan yang kental bau politis.
Barangkali benar adanya info bahwa Ketua DPR KK
menandatangani surat keterangan terhadap DjM dalam keadaan di bawah tekanan.
Atau, kata informasi yang lain, dia sekadar menandatangani dokumen yang sudah
disiapkan. Tapi menandatangani sebuah dokumen (terlebih itu dokumen negara)
dalam kondisi ditekan atau tidak, membaca dan memahami atau tidak,
berkonsekwensi serius. Ketua DPR, sebagai pribadi maupun representasi lembaga
bukanlah percetakan yang absah mencantumkan, ‘’isi di luar tanggungjawab percetakan’’.
Apa yang dia tandatangani dilekati tanggungjawab dengan
konsekwensi-konsekwensinya.
Sebagai bagian dari komunitas Mongondow, lebih khusus KK,
saya bersimpati dan berempati pada Rustam Siahaan. Jangan sampai dia
disepadankan dengan DjM, tak lebih dari ‘’kera menjadi monyet’’. Di tengah kian
terurainya sangkarut tercatatnya DjM di DCT Pemilu 2014, sebelum tangan hukum
mencengkeram tengkuk, dengan rendah hati saya menyarankan Ketua DPR KK segera
menganulir surat keterangannya, yang normatif maupun logis, memang penuh
cacat-cela.
Bagi saya, jangan sampai Siahaan berakhir dengan nasib
‘’nasi masak periuk pecah’’.***