INFO yang saya
terima awal Sepember 2013 itu mulanya diabaikan begitu saja. Pertama, yang disampaikan berkaitan
dengan beberapa pejabat teras di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) Induk,
yang kelakuannya sudah khatam buat saya. Jangankan dikritik, dicaci dan
disumpahi jadi kodok pun tabiat mereka pasti tak bakal berubah. Kedua, walau datang dari sumber valid,
kualitas infonya cukup meragukan, sebab lebih mirip cerita sinetron murahan
yang banyak lalu-lalang di layar televisi kita.
Belakangan saya memberi perhatian terhadap informasi itu
karena bukti-bukti yang terpapar kian sahih. Di satu sisi, masalahnya sendiri adalah
tindak pidana telanjang yang semestinya segera diusut aparat berwenang, yang
anehnya tak terdengar mengambil tindakan yang diperlukan. Tampaknya kita sulit
menolak sinisme bahwa polisi tidurlah yang memang paling efektif melakukan
tugasnya di negeri ini.
Tapi apa duduk soal yang gawat di Pemerintah Kabupaten
(Pemkab) Bolmong itu? Menurut sang ahlul info, mobil dinas (Mobdin) bermerek
Ford yang dialokasikan untuk Kepala Dinas Pekerjaan Umum (Kadis PU) Bolmong, DB
25 D, kini disita oleh salah seorang pengusaha (tepatnya kontraktor) di
Mongondow. Penyitaan itu dilakukan berkaitan dengan utang-piutang sebesar
sekitar Rp 1,075 miliar yang tak kunjung dilunasi oleh Kadis PU.
Bagaimana kaitan hutang celaka itu dengan Mobdin dan
terlebih urusan resmi di jajaran Pemkab? Kata informan saya, pinjaman yang
dilakukan Kadis PU memang berkaitan dengan urusan pemerintahan di Pemkab
Bolmong. Rincian penggunaan hasil hutang dari si pengusaha itu konon antaranya: Rp
500 juta dana pelicin untuk Panitia Anggaran Provinsi Sulut yang disetorkan
melalui Sekretaris Provinsi (Sekprov); Rp 175 juta dibagikan pada para anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bolmong untuk memuluskan Laporan Kerja
Pertanggungjawaban (LKPJ) Bupati Tahun Anggaran (TA) 2011; Rp 300 juta untuk
kepentingan Sekretaris Daerah (Sekda) Bolmong menghadapi kasus Tunjangan
Penghasilan Aparatur Pemerintahan Desa (TPAPD); dan Rp 110 juta untuk biaya
pembebasan lahan proyek jalan di Lobong.
Kadis PU, tutur pemberi informasi, tak kuatir dengan
utang-piutang itu karena apa yang dia lakukan atas persetujuan Bupati, Ketua
DPR, dan Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Asset Daerah (DPPKAD)
Bolmong. Persetujuan itu dipertegas dengan perintah dari Bupati yang
disampaikan via telepon, yang diketahui pula oleh Sekda Bolmong.
Sampai di situ, bila peristiwa pinjam-meminjam dana untuk
keperluan Pemkab Bolmong itu adalah sinetron bernuansa horor, musik latarnya
mulai memainkan nada-nada yang merindingkan kuduk. Tapi di aspek mananya yang
‘’ngeri-ngeri sedap’’ dan masuk kategori tindak pidana dari urusan
utang-piutang itu? Penyitaan Mobdin oleh pihak ketiga yang naik darah karena
nasib uangnya tak kunjung jelas ujung-pangkalnya?
Menurut hemat saya, penyitaan Mobdin DB 25 D adalah tindakan
yang dapat dibenarkan. Terlebih bila utang-piutang antara peminjam dan pemberi
pinjaman diikat dalam perjanjian hitam di atas putih, di mana pihak peminjam
menyatakan mewakili Pemkab Bolmong. Bila demikian faktanya, jangankan Mobdin,
menyita Kantor Dinas PU pun secara hukum dapat dibenarkan.
Demikian pula, meminjam sejumlah dana oleh seorang birokrat
dari pihak ketiga atas nama Pemkab Bolmong, sepanjang atas instruksi Kepala
Daerah dan alokasinya untuk kepentingan pemerintahan, bukanlah pelanggaran
hukum atau administrasi. Syaratnya, alokasi dana itu memang tercantum di
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), digunakan sesuai peruntukan,
namun terlebih dahulu mesti ditalangi karena satu dan lain hal hingga ada
kelambatan dalam pencairannya.
Namun kisah utang-piutang yang diwarnai penyitaan Mobdin itu
bukanlah masalah administrasi belaka. Bila benar sebagian besar dananya digunakan
sebagai uang pelicin ke provinsi, DPR, dan kepentingan Sekda Bolmong, urusannya
adalah pidana. Ini kejahatan yang masuk dalam cakupan tindak-pidana korupsi, di
mana semua pihak yang terkait (kecuali pemberi pinjaman, sepanjang dia tidak
mengetahui akan dikemanakan duit yang keluar dari tangannya) harus diseret ke
balik jeruji besi.
Dengan mengedepankan praduga tidak bersalah, saya harus
mengatakan disebut-sebutnya keterlibatan Sekprov, Bupati, Ketua DPR, Sekda,
Kadis PU, dan Kepala DPPKAD, jelas horor yang menguncang Mongondow. Nilai
rupiah yang terlibat dalam dugaan kasus ini tidaklah ‘’wah’’, tetapi kadar
kejadiannya layak disebut sebagai tindakan berkomplot melakukan kejahatan. Dan
komplotan penjahat biasanya melakukan aksi tidak sekali-dua, hingga patut
diduga sogok-menyogok dan licin-melicini sudah menjadi kebiasaan laten yang
dipraktekkan beramai-ramai di jajaran Pemkab dan DPR Bolmong.
Anehnya, kendati telah menjadi pengetahuan dan pembicaraan,
dugaan tindak pidana itu nyaris luput (atau diluputkan) oleh media massa
terbitan Manado dan Bolmong. Dari yang saya ketahui, isunya baru diangkat oleh Surat Kabar KPK (yang saya yakini
bukanlah media resmi Komisi Pemberantasan Korupsi –KPK) Edisi LVIII, Tahun Ke
V, 9-22 September 2013, Mobil Dinas
Digadaikan Untuk Bayar Uang Pelicin: Polisi Diminta Segera Periksa Pejabat
Penerima Upeti serta (kabarnya, sebab saya tidak membaca langsung) Harian Radar Manado.
Media yang mendadak wowo’
itu setali tiga uang dengan senyapnya langkah pihak berwenang melakukan
pengusutan. Apa karena belum ada yang melaporkan kasusnya, polisi jerih bertindak sebab nama-nama yang disebut-sebut
terkait adalah ‘’kaliber besar’’, atau sebab skenario tahu-sama-tahunya
sedang disusun dan akan diselesaikan dengan saksama sebagaimana biasanya? Yang akhirnya membuat dugaan kasus ini terbang bersama angin dengan kompensasi yang cukup menggemukkan dompet beberapa
oknum yang sama korupnya?
Terlepas dari aspek mana yang benar dari sederet dugaan itu,
agar tak menjadi fitnah dan sekadar spekulasi, skandal penyitaan Mobdin Kadis
PU Bolmong itu harus segera diungkap. Apakah demikian faktanya; benarkah
melibatkan nama-nama yang telah beredar luas, khususnya di kalangan birokrasi
di Bolmong; dan betulkah sebagian besar dana hasil hutang itu digunakan sebagai
uang sogok dan pelicin?
Saya berkeyakinan, tidak ada asap tanpa api dan informasi yang
telah beredar luas itu (sekali pun mungkin telah dibumbui aneka penyedap) tetap
punya kesahihan yang menegaskan ada tindak pidana yang dilakukan sejumlah
pejabat dan birokrat teras di Bolmong. Kalau polisi tidak percaya, boleh
memulai dengan menguji info kecil yang saya terima, bahwa: Ford DB 25 D yang
disita dari Kadis PU kini digunakan oleh penyita dan lalu-lalang di jalanan
Mongondow dengan menggunakan pelat DB 2544 D.***