GETAH nangka
tercatatnya nama Walikota Kota Kotamobagu (KK), Djelantik Mokodompit (DjM), di
Daftar Calon Tetap (DCT) Pemilihan Umum (Pemilu) 2014, terus meluber. Senin (2
September 2013) giliran sejumlah pewarta di Harian Radar Bolmong dikagetkan dengan pesan pendek (short message –SMS) berisi ancaman dari pengirim yang mengaku
kerabat DjM.
Wartawan adalah salah satu profesi yang
menyerempet-nyerempet risiko, termasuk yang mengancam jiwa. Sekali pun
demikian, sebagai manusia biasa, siapa yang tak keder menerima ultimatum akan
diburu dan ditikam? Menurut sang pengirim SMS, keluarga DjM keberatan karena
telah sepekan terakhir pemberitaan Radar
Bolmong menyudutkan DjM. Ditegaskan pula, pemberitaan itu dianggap sebagai
upaya mengobok-obok harga diri keluarga.
Mengetahui adanya SMS ancaman itu, reaksi pertama saya
adalah kalimat, ‘’Bekeng tako do’ itu
ancaman. Dorang pikir cuma dorang yang ada keluarga.’’ Selebihnya, saya terbahak-bahak karena dari
pengalaman selama ini, pengirim SMS seperti itu pasti ular beludak yang tak
bakal berani memunculkan batang hidungnya.
Di KK marga Mokodompit tidaklah boleh diremehkan. Dari
hitungan jiwa, jumlahnya sangat signifikan. Bahkan tetangga di sisi kiri rumah
Ayah-Ibu di Jalan Amal, yang sudah menjadi kerabat keluarga kami selama puluhan
tahun, juga bermarga Mokodompit. Lebih dari itu, Mokodompit-Mokodompit yang
punya reputasi menyegankan, terutama yang bermukim di Gogagoman, bukan hanya
saya kenal, tetapi masih family
sangat dekat dari sisi Ayah.
Jadi keluarga Mokodompit mana yang mengancam-ancam dengan
pesan gelap itu? Sepengetahuan saya, keluarga Mokodompit yang saya kenal
bukanlah jenis orang Mongondow pengecut dan bodoh. Dengan demikian, agar terang
duduk-soalnya, saya menyarankan pada teman-teman jurnalis di Radar Bolmong untuk melaporkan
pengancaman itu ke aparat berwenang. Dukungan teknologi yang dimiliki
Kepolisian Republik Indonesia sudah mumpuni mengungkapkan asal-muasal SMS itu
dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Mesti diungkapnya siapa yang mengirim SMS itu penting agar
keluarga Mokodompit di KK juga tidak menjadi korban fitnah dan ‘’atas nama’’
dari oknum yang tidak bertanggungjawab. Lebih syur lagi bila kasusnya terbeber dan ternyata yang mengaku-aku
bukanlah bagian dari marga Mokodompit. Saya bisa membayangkan seperti apa
nasibnya di dalam tahanan polisi dan di tengah masyarakat KK.
Secara pribadi, karena turut ambil bagian menyoal
tercatatnya DjM di DCT Pemilu 2014, saya juga menerima SMS caci-maki dan
ancaman, salah satunya dari nomor telepon +6282395411751. Saya tak menanggapi
pengirim SMS ini dengan serius, terutama karena dia tidak paham masalah apa
yang ditanggapi, di mana pangkal dan ujungnya. Menghadapi manusia dangkal,
bolehlah dianggap sebagai hiburan belaka. Bahwa ada ancaman akan mencari saya
untuk membuat perhitungan, saya aminkan dengan kesediaan memberikan alamat,
baik di Jalan Amal, Manado, maupun di Jakarta dan Perth.
Banyak orang yang mungkin jerih dengan kekuasaan dan
orang-orang di sekitar penguasa. Sebagai penakut, saya juga tidak berbeda
dengan orang-orang kebanyakan itu. Namun saking penakutnya, saya memilih tidak
akan melarikan diri hanya karena dicaci atau diancam. Terserah yang muncul
gondoruwo, tuyul, atau mangkubi, kalau tidak mempan dengan doa dan jampi-jampi,
saya yakin linggis dan kawan-kawan pasti mampu menaklukkan.
Lepas dari ancam-mengancam dan atas nama itu, apa
sesungguhnya substansi disoalnya nama DjM di DCT Pemilu 2014? Pertama, dia pejabat publik yang
kata-kata dan perilakunya langsung atau tidak terkait dengan kepentingan orang
banyak. Kedua, sekali pun hanya
dengan logika, kita semua tahu persis, proses pencalonan DjM sebagai anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) KK di Pemilu 2014 patut dipertanyakan
keabsahannya. Fakta-fakta terkini secara nyata menunjukkan terjadi manipulasi,
penelikungan hukum dan aturan, dan bahkan konspirasi jahat. Dan ketiga, setiap warga negara berhak
dan wajib ikut mengontrol proses berbangsa dan bernegara. Mempertanyakan, juga
memaki DjM karena dugaan lancung (padahal sebagai pejabat publik dia mestinya jadi
panutan), bukanlah wilayah haram.
Kalau takut kena getah, jangan makan nangka. Kalau
tidak mau dicermati, dikontrol, bahkan dicaci, maka jangan menjadi politikus
dan pejabat publik.
Pengetahuan dan imaji masyarakat telah maju pesat,
melampaui kreativitas para politikus dan pejabat publik dalam menyembunyikan
perbuatan curangnya; dan bahkan kecermatan aparat berwenang, khususnya polisi,
menyikapi dugaan terjadi pelanggaran hukum. Dengan memahami kondisi terkini
masyarakat KK, saya bersetuju dengan ejekan bahwa aparat Kepolisian Resort
(Polres) Bolaang Mongondow (Bolmong), gagap merespons dugaan pelanggaran hukum
di balik lolosnya DjM di DCT Pemilu 2014.
Kegagapan itu eksplisit diungkapkan Kepala Satuan
Reserse Kriminal (Kasat Reskim) Polres Bolong, AKP Iver S Manossoh, SH,
sebagaimana yang dikutip Radar Bolmong
(Djelantik-Rustam Terancam Pidana: Polisi
Tunggu Laporan Resmi, Senin, 2 September 2013). Menurut Kasat Reskrim, pihaknya belum bisa menentukan sikap
terkait permasalahan ini. "Sebab objek permasalahannya belum jelas,"
kata Manossoh.
Namun, tulis Radar Bolmong, Kasat Reskrim memberikan signal tidak tertutup kemungkinan proses
pidana terhadap dugaan pemalsuan surat-menyurat (yang menjadi dasar lolosnya
DjM di DCT) itu dilakukan. ‘’Harus jelas dulu siapa yang dirugikan. Artinya
bersifat delik aduan. Jika ada yang melapor, kami akan bertindak,’’ kata
Manossoh.
Aduh, Pak
Kasat, sewaktu kuliah hukum Anda tidak kebanyakan tidur kan? Saya ingin
mendebat logika hukum Anda dengan pengandaian seperti ini: Ada orang yang
merusak jembatan yang terletak di samping Polsek Mogolaing hingga luluh-lantak.
Semua orang tahu pelaku dan obyeknya. Tetapi tidak seorang pun yang melapor ke
Polres Bolmong (termasuk Dinas Pekerjaan Umum (PU) yang justru gembira sebab
bakal ada proyek baru) karena masyarakat punya akses lain, lewat Jalan Adampe
Dolot, Jalan Amal, Jalan Cendana, dan belok kiri ke arah Polsek Mogolaing, lalu
polisi boleh ongkang-ongkang kaki?
Yang lebih
serius, Pak Kasat, tahukah Anda bahwa tindakan subversif yang merongrong
kewibawaan negara bukanlah delik aduan? Polisi yang sadar tugas dan
tanggungjawab semestinya tahu bahwa sekali pun hanya dugaan, memanipulasi
dokumen negara adalah perbuatan subversif yang mesti segera ditindaklanjuti
dengan penyelidikan dan penyidikan. Menunggu seseorang resmi melaporkan adanya
dugaan rongrongan terhadap kewibawaan negara, karena dia merasa dirugikan, sama
dengan meminta Presiden RI sebagai representasi bangsa dan negara turun tangan
langsung melapor ke Polres Bolmong.
Tetapi kalau
pun diperlukan, dengan tulisan ini, sebagai warga negara yang merasa dirugikan
oleh manipulasi yang dilakukan DjM dan oknum-oknum terkait, saya resmi melapor
ke Polres Bolmong. Mengingat jajaran kepolisian sudah membuka hotline, channel pengaduan lewat SMS, termasuk facebook dan twitter, tentu
saya tidak perlu secara fisik hadir di markas Polres Bolmong. Polisi toh sudah canggih dan tak ketinggalan
zaman?***