GUGATAN Partai
Amanat Nasional (PAN) Kota Kotamobagu (KK) terhadap tercantumnya (mantan)
Walikota Djelantik Mokodompit (DjM) di Daftar Calon tetap Pemilihan Umum (DCT
Pemilu) 2014, menuju babak akhir. Di sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu (DKPP), Selasa (24 September 2013), majelis mencukupkan keterangan dari
terduga, Komisi Pemilihan Umum (KPU) KK, dan penduga. Selanjutnya, setelah
pembahasan yang diperkirakan berlangsung tiga hari, pekan depan DKPP akan
mengumumkan putusan dari silang-selisih ini.
Di permukaan, terutama di media massa terbitan Sulawesi
Utara (Sulut) dan Mongondow, duga-menduga antara PAN dan KPU KK ini tidaklah
semeriah liputan gugatan terhadap terpilihnya Tatong Bara-Jainudin Damopolii
(TB-JD) di pemilihan Walikota-Wakil Walikota (Wawali) di Mahkamah Konstitusi
(MK), Juli 2013 lalu. Namun tidak demikian dengan media sosial dan saluran
komunikasi lain, terutama BlackBerry
Messenger dan facebook, yang
umumnya menyerang krebidilitas KPU KK.
Salah satu serangan yang dengan cepat menyebar adalah bagian
dari materi gugatan PAN, yaitu dugaan manipulasi dokumen hingga nama DjM
akhirnya tercantum di DCT. Begitu gencarnya pertukaran informasi yang berkaitan
dengan isu ini hingga tak kurang Ketua
KPU KK, Nayodo Kurniawan, gerah, naik darah, dan stress. Repotnya, stress Pak Ketua dimanifestasikan dengan
kegairahannya melahap aneka camilan, yang berpotensi menggenjot berat badan,
membuat tonjolan perut kian mancung, menaikkan kadar kolesterol dan gula darah,
serta tensi.
Berdiri di posisi KPU KK saat ini memang sangatlah tak
nyaman. Hanya dalam waktu singkat mereka yang sebelumnya dipuja-puji sebagai
pahlawan suksesnya penyelenggaraan Pilwako, berbalik dihujat aneka dugaan yang
lebih seram dari sekadar manipulasi. Dalam satu kesempatan di Minggu, 22
September 2013, Nayodo bahkan mengeluh sangat keberatan karena ada tudingan
yang mengatakan dia menerima suap hingga meloloskan DjM di DCT.
Untunglah duga-duga sogok itu tak tercantum dalam gugatan
yang dilayangkan PAN. Kendati, menurut hemat saya, materi gugatan yang dibawa
ke hadapan Majelis DKPP juga amburadul, melebar-lebarkan masalah, dan
berpotensi menggagalkan obyektif yang ingin dicapai. Walau menggunakan ahli
hukum yang berpengalaman menangani sengketa politik, khususnya yang berlangsung
di MK, serta (konon) penasihat politik piawai, gugatan yang diajukan PAN jauh
dari dingin dan fokus pada titik terlemah dari pertahanan dan argumen yang
mungkin menjadi benteng KPU.
Lemahnya materi gugatan PAN itu membuat peluang mereka
memenangkan kasus ini sama besar dengan KPU KK. Bahkan bila Majelis DKPP mencurahkan
lebih banyak perhatian pada salah satu isu utama, yaitu manipulasi dokumen,
saya hampir menyakini kali ini PAN akan menerima putusan yang membuat mereka
mengulum jempol dan menjabak-jabak rambut.
Itu sebabnya Nayodo Kurniawan yang juga menyandang gelar
sarjana hukum cukup optimis memenangkan kasus ini. Dengan mencermati materi
gugatan yang diajukan PAN, saya cenderung menyetujui kepercayaan diri Ketua KPU
KK itu. Persetujuan itu saya sampaikan
beberapa jam seusai sidang Selasa, 24 September 2013, di hadapan anggota KPU KK
dan sejumlah orang yang bereriungan membicarakan kemungkinan putusan yang akan
dijatuhkan DKPP.
Andai skenario itu yang terjadi, PAN KK, khususnya para
pengurus yang namanya tercantum sebagai penggugat, berpotensi balik diperkarakan
oleh KPU KK dan para personilnya. Tidak terbuktinya tuduhan manipulasi yang
dilayangkan, dapat menjadi dasar gugatan pidana pencemaran nama baik,
penghinaan, dan sejenisnya. Setahu saya, hingga tulisan ini dibuat, Nayodo
Kurniawan dan rekan-rekan sedang mempertimbangan dengan serius kemungkinan mengambil
langkah hukum tersebut, andai mereka akhirnya dibebaskan dari segala tuntutan
oleh Majelis DKPP.
Kecerobohan, sok tahu, dan jumawanya PAN yang baru diguncang
euphoria kemenangan di Pilwako KK
tampaknya membuat para pengurus partai ini lengah. Padahal, jalan masuk
memenangkan gugatan mereka terhadap tercantumnya nama DjM di DCT Pemilu 2014
tidaklah harus dikais-kais di tengah timbunan kelindang hukum di negeri ini.
Sebagaimana yang berulang kali saya tulis, setidaknya ada dua pendekatan
sederhana. Pertama, mengadukan Ketua
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) KK dan DjM telah melakukan menipulasi dokumen
negara ke pihak berwenang. Kedua,
mempersoalkan keabsahan administrasi yang menjadi syarat pencalonan DjM sebagai
anggota DPR KK dari Dapil Kotamobagu Barat, khususnya jangka waktu pengurusan
dokumen-dokumen utamanya.
Dua pendekatan itu telah saya tuliskan di blog ini, juga berulang kali disampaikan
langsung pada beberapa pengurus PAN KK. Apapun putusan DKPP, pendekatan pertama
tetap relevan dilaksanakan hingga batas kedaluarsa satu perkara dugaan tindak
pidana. Akan halnya pendekatan kedua, dasarnya adalah Pasal 3, Ayat 1, Peraturan
Pemerintah (PP) No 18 Tahun 2013,
tertanggal 1 Maret 2013, Tentang Tata Cara Pengunduran Diri Kepala Daerah,
Wakil Kepala Daerah, dan Pegawai Negeri yang Akan Menjadi Bakal Calon Anggota
DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, Serta Pejabat Negara Dalam
Kampanye Pemilu. Bunyinya: ‘’Pengunduran
diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 disampaikan secara tertulis kepada
pejabat yang berwenang paling lambat 1 (satu) bulan sebelum batas akhir
pengajuan bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota.’’
Bertumpu
pada Pasal 3 Ayat 1 PP No 18 Tahun 2013 itu, tanpa repot-repot mengaitkan
dengan konspirasi manipulasi dan dugaan-dugaan spekulatif yang menerobos isi
rumah tangga KPU, PAN KK dengan mudah membuktikan haram hukumnya DjM masuk DCT
Pemilu 2013. Di sidang-sidang DKPP, baik dokumen kronologis dan pendukungnya
serta kesaksian yang diajukan kedua-belah pihak mengkonklusi fakta tak
terbantahkan, pengunduran diri DjM sebagai Walikota tidak memenuhi syarat
minimal satu bulan sebelum batas akhir pengajuan bakal calon anggota DPR KK.
Sidang
DKPP telah berakhir. Orang per orang yang hadir selama prosesnya berlangsung
pasti sependapat dengan saya, bahwa gugatan yang diajukan PAN melebar dan
bahkan nyaris tidak menyentuh titik paling lemah dari syarat administratif yang
harus dipenuhi DjM.
Yang
dapat dikonklusi dari seluruh rangkaian gugatan PAN terhadap KPU KK itu adalah:
Saya bercuriga, jangan-jangan sebagaimana Ketua DPR KK, seperti kata
peribahasa, bukan tak mungkin PAN KK menyusun gugatannya dengan ‘’berhakim pada
beruk’’. Kalau demikian adanya, menurut saya
jajaran pengurus partai ini bersiap-siaplah mengelus dada. Dengan
lolosnya DjM di DCT Pemilu 2014, mereka hanya memenangkan pertempuran di
Pilwako, tapi kalah telak dalam perang politik di KK.***