KEJARI Boroko
menetapkan Kabag Humas dan mantan Bendara Humas Pemkab Bolmut sebagai tersangka
Tipikor dengan dugaan penyalahgunaan dana APBD yang menjadi tanggungjawab
mereka. Dua media online, Swaramanado Online dan Totabuan.Co, menulis penetapan ini
dengan mengutip Kejari Boroko, Dwianto Prihartono, SH, MH, yang menggelar
konferensi pers pada Senin, 23 September 2013.
Dari aspek jurnalistik pemberitaan dua media itu miskin
fakta, abu-abu, dan jauh dari jernih, bahkan sekadar memenuhi prasyarat dasar jurnalistik
5W + 1H. Hal lain, menurut hemat saya –yang kemudian ditulis di blog ini (Media, Jurnalis, dan ‘’Pers APBD’’, Rabu, 25 September 2013)--,
kalau kejaksaan jeli, dalam urusan kerjasama antara Pemda dan media di Sulut,
sebenarnya berserak aspek-aspek yang memenuhi kriteriaTipikor.
Contoh sederhananya, sudah menjadi pengetahuan umum ada sejumlah
media dan Pemda yang bekerjasama dalam bentuk kontrak pemberitaan, yang
dialokasikan di halaman tertentu di media bersangkutan. Adakah di antara orang
banyak yang menelisik berapa persen halaman yang dikerjasamakan itu berisi
informasi publik yang harus ditransparansi oleh Pemda ke masyarakat? Berapa
persen berita yang tidak ada hubungannya dengan transparansi publik? Dan berapa
persen pula materi lain (termasuk iklan) dari pihak yang sama sekali tidak ada
kaitannya dengan kepentingan Pemda?
Penggunaan dana Pemda, terlebih itu dicantumkan dalam APBD,
untuk kepentingan diluar apa yang ditetapkan dalam kerjasama adalah
penyelewengan. Nah, dengan menanggalkan sikap pura-pura bodoh dan naif
(terutama untuk kalangan jurnalis dan pengelola media), berapa banyakkah
penyelewengan yang dengan gamblang kita temukan di media-media di Sulut?
Namun bukan itu yang ingin lebih jauh saya ungkap berkenaan
dengan penetapan Kabag Humas dan mantan Bendahara Humas Bolmut sebagai
tersangka Tipikor oleh Kejari Boroko. Ada sejumlah tanda-tanya yang mestinya
dijawab oleh media yang mempublikasi isunya, serta Kajari Boroko dan
jajarannya. Pertama, siapa pihak yang
mengadukan dugaan Tipikor di Humas Pemda Bolmut hingga Kejari Boroko melakukan
penyelidikan dan akhirnya menetapkan tersangka. Dan kedua, dari mana dasar adanya kerugian negara yang diakibatkan oleh
dua tersangka? Dokumen dan kesaksian pengadu(yang entah siapa itu)? Temuan
Kejari? Atau audit oleh
lembaga/institusi yang tugasnya memang mengawasi penggunaan dana negara?
Baik pemberitaan Swaramanado
Online maupun Totabuan.Co sama
sekali tidak ditemukan fakta yang menjawab dua pertanyaan itu. Lebih parah
lagi, ada ketidak-sesuaian fakta dari media ini. Yang satu menulis TA 2011 dan
2012, lainnya menulis TA 2012 dan 2013. Mana yang benar? Yang paling sial tentu
saja kalau diyakini dugaan Tipikor itu untuk TA 2012 dan 2013, yang lalu ditelan
mentah-mentah oleh pewarta yang menulis. Dugaan Tipikor TA 2012 mungkin dapat
ditelusuri dari audit yang dilakukan oleh inspektorat, Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP), atau Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); tapi
bagaimana dengan TA 2013? Memangnya sudah ada audit yang selesai dilaksanakan?
Di lain pihak, kalau versi dugaan yang diselewengkan adalah
TA 2011 dan 2012, Kejari Boroko secara implisit justru tidak yakin terhadap ada-tidaknya
kerugian negara yang timbul. Dua media yang menulis isunya sama-sama mengutip Kajari,
bahwa kerugian negara masih menunggu perhitungan dari BPK.
Yang tak kurang membuat saya terlongo-longo adalah fakta
bahwa salah seorang terduga yang diumumkan Kajari Boroko mengetahui penetapan
tersangkanya dari media. Info ini terungkap dari komentar sang tersangka yang
beredar di media sosial serta hak jawab yang dia kirimkan ke kalangan media
yang oleh salah seorang kawan di-forward
dan saya terima via email Jumat, 27
Sepember 2013.
Repotnya, walau telah berkali-kali menyimak pemberitaan yang
berkaitan dengan isu itu, juga bolak-balik membaca komentar dan hak jawab dari
salah seorang yang disebut-sebut sebagai tersangka, saya tak jua menemukan
titik-terang apa sebenarnya penyelewengan yang dituduhkan? Saya malah menerima forward lain yang tak kalah lucu, yaitu
komentar seseorang yang konon berprofesi wartawan, terhadap tulisan saya tetapi
dengan bahasa yang hanya dia seorang yang paham.
Tampaknya yang mulia konon wartawan itu adalah saudara
seperguruan Vicky Prasetyo, tukang tipu yang mendadak selebriti dengan
‘’Vickynisasi’’, yang pekan-pekan terakhir membuat para ahli bahasa harus
mengkonsumsi obat sakit kepala sebelum mencoba menerjemahkan setiap perkataan
yang terlontar dari mulutnya. Apa maksud kalimat ‘’Namun sesungguhnya seni
menulis berita dibutuhkan waktu seharian dengan melintasi dimensi ‘ruang’ dan
‘waktu’ dari ‘dentingan’ detik ke detik penuh kesabaran untuk ‘menbedakan’
persepsi sumber berita bukan ‘menyatukan’ persepsi dalam suatu pemberitaan’’
yang ditujukan untuk mengkritik saya dan tulisan Media, Jurnalis, dan ‘’Pers APBD’’?
Saya memang bukan (lagi) seorang jurnalis. Tetapi menulis
berita bukanlah mengendarai pesawat luar angkasa memasuki black hole ke galaksi lain. Menulis berita adalah menyandingkan
fakta-fakta dari semua sumber dengan berimbang, tak peduli itu sekadar persepsi,
analisis, igauan, atau omongan mabuk sang sumber. Perlukah seharian penuh
menulis sebuah strait news yang
dihasilkan dari konferensi pers, itu pun tanpa konfirmasi ke sumber lain?
Wartawan yang tahu persis pekerjaannya, terlatih, dan berpengetahuan, bakal
terbahak-bahak mengetahui ada koleganya yang membutuhkan waktu seharian penuh,
mesti berpindah jagad, dengan menghitung setiap menit yang dilalui, sebelum
akhirnya memproduksi satu strait news.
Sebelum saya mulai ikut-ikutan berpindah dimensi, tak beda
dengan tuyul yang tak kasat mata tapi mampu menilep uang yang punya wujud, kita
kembali pada isu penetapan Kabag Humas dan mantan Bendahara Humas Pemkab Bolmut
sebagai tersangka Tipikor. Konferensi pers yang dilakukan pihak Kejari Boroko
dan pemberitaan media yang kurang fakta, tak dapat ditolak telah dengan sengaja
mencemari kehormatan dua birokrat yang ditersangkakan itu. Wajar bila keduanya
meradang dan mempertanyakan duduk-soal yang sebenarnya.
Lalu apa yang harus dilakukan? Pertama, agar isu itu tidak berubah menjadi bola liar fitnah dan
duga-duga, semisal Kejari Boroko sedang mengail di air keruh, sepatutnya segera
disampaikan apa penyelewengan yang dilakukan kedua tersangka, apa dasarnya, dan
pasal yang dituduhkan. Dengan Kejari hanya menyampaikan sepotong informasi,
sekadar ada tersangka yang ditetapkan, institusi ini sebenarnya telah secara
terang-terangan melakukan pelanggaran hukum.
Kedua, kalau
ternyata dalam konferensi pers Kejari Boroko lengkap membeberkan ihwal kasusnya,
namun dua media yang mempublikasi (Swaramanado
Online dan Totabuan.Co) tidak
menulis komprehensif, mereka wajib mengoreksi pemberitaannya. Sebaliknya bila yang dimuat memang sebagaimana informasi yang disampaikan di konferensi pers,
saya menyarankan jurnalis yang menulis untuk belajar kembali 5W + 1H atau
berganti profesi saja jadi petani bawang merah.
Menulis berita, apalagi kasus yang melibatkan nama baik dan
kehormatan seseorang, tanpa sikap kritis terhadap kelengkapan fakta, bukanlah pekerjaan seorang jurnalis profesional. Burung beo atau simpanse terlatih pasti
mampu bekerja sama baiknya bila hanya sekadar menjadi penyulih pernyataan.
Dan ketiga, para
pewarta yang keberatan dengan kritik saya, khususnya berkaitan dengan ‘’Pers
APBD’’ dan ketidak-kompetensian umumnya wartawan di Sulut generasi belakangan, sebaiknya
rajin mematut diri. Benarkah Anda seorang jurnalis yang bertugas merekam,
menulis, dan mempublikasi fakta yang berimbang, menjadi kepentingan umum, serta
layak diketahui orang banyak. Atau, ternyata Anda hanya tukang gonggong
berbekal kartu pers atau identitas jurnalis.
Bagi saya, terbukti atau tidak Kabag Humas dan mantan
Bendahara Humas Pemkab Bolmut melakukan penyelewengan dana yang menjadi
tanggungjawab mereka, tidaklah penting. Yang utama adalah sejak mula mereka
harus diperlakukan dengan adil dan semestinya, baik oleh Kejari Boroko, media
yang menulis kasusnya, dan orang banyak yang persepsinya dibentuk oleh tindakan
institusi hukum dan pemberitaan media.***