PANGGILAN yang
masuk ke telepon saya, Jumat pagi (20
September 2013), datang dari seseorang yang sama sekali tak saya duga. Karena
telepon dalam posisi getar, maka panggilan tak terjawab itu baru saya lihat
sesaat sebelum memulai salah satu rutinitas penting: menyeruput kopi sembari
membaca perkembangan dunia terkini.
Nomor yang masuk itu tidak tercatat di address book saya. Sekali pun demikian, saya yang tidak pernah
mengabaikan panggilan telepon (kecuali saat terlelap atau sedang tenggelam di
tengah rapat penting), bersegera menelepon balik. Siapa pun yang menelepon di
pagi hari wajib direspons, sebab hanya mereka yang memang benar-benar
meluangkan waktu yang biasanya melakukan itu.
Tersentaklah saya tatkala mengetahui pemanggil yang tak
terjawab itu ternyata Wakil Walikota (Wawali) Kota Kotamobagu (KK) 2013-2018,
Jainudin Damopolii (JD). Terus-terang, beberapa saat saya agak grogi, terlebih
sewaktu Wawali menyebutkan namanya, ‘’Jainudin’’, setengah bergurau saya
mengatakan, ‘’Jainudin yang mana? Satu-satunya Jainudin yang saya kenal adalah
Wawali KK.’’
Saya kian grogi karena kemudian Wawali dengan tertawa-tawa
Wawali menyampaikan kabar pertemuannya dengan beberapa kerabat yang saya
hormati; bahwa Walikota-Wawali KK 2013-2018 akan dilantik Minggu, 22 September
2013; dan setelah itu ada syukuran yang akan dilaksanakan dikediaman pribadi
Wawali. Berkenaan dengan syukuran yang sedianya akan dihadiri keluarga dan
kalangan terdekat itu, Wawali menyampaikan dia mengundang saya untuk hadir.
Undangan itu bukanlah dari Wawali, melainkan Papa Et
(demikian JD akrab disapa warga Mongondow, termasuk saya) pribadi. Berulang kali Wawali
menggunakan kata ‘’Papa Et’’ untuk menyebut dirinya, dan bukan ‘’saya’’.
Terharu atau melankolis bukanlah perilaku yang jadi
kebiasaan saya. Dengan temperamen yang mudah meledak, suara yang biasanya ber-tone di atas rata-rata, harus diakui
saya lebih mudah dipersepsikan sebagai ‘’burako’’, ‘’berangasan’’,
‘’seenaknya’’, bahkan untuk beberapa kalangan dicap ‘’tidak tahu aturan’’.
Untuk yang terakhir ini, orang Mongondow dengan geram menyebut dia’ ko atorang. Tapi percakapan dengan
Wawali JD di pagi yang baru saja mekar itu membuat saya tiba-tiba diterpa haru.
Warga KK umumnya dan pembaca blog ini khususnya tahu persis selama pemilihan Walikota-Wawali KK
yang puncaknya berlangsung Senin, 24 Juni 2013, saya dengan sangat keras dan
dingin berulang kali mengkritik pilihan Partai Amanat Nasional (PAN)
menyandingkan Tatong Bara (TB) dan JD. Secara pribadi saya tidak punya
silang-selisih dengan JD, tetapi kritik tetaplah kritik. Saya tahu dan dapat
memahami kalau JD ‘’tersinggung’’, ‘’kurang hati’’, atau bahkan marah dengan
kritik yang saya lontarkan.
Pengalaman bertahun-tahun memilih berdiri di sisi para
oposan mengajarkan saya, bahwa melontarkan kritik di Mongondow, khususnya pada
para politikus, pejabat publik, dan birokrasi, sama dengan menggali jurang
hubungan antar manusia. Tidak banyak tokoh di
Mongondow yang bersedia melapangkan hati menerima kritik, memilah apakah
itu karena posisinya sebagai tokoh publik atau semata sentimen pribadi,
sembari tetap menjaga silaturahim.
Tokoh publik dengan kedewasaan paripurna itu sungguh langkah
di jagad Mongondow. Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar,
adalah salah satu contohnya. Ketika dikritik dengan pedas, walau pun saya tahu
dia sangat tersinggung (sesuatu yang pantas karena Sehan Lanjar masih manusia
yang manusiawi), dia tak kehilangan kelapangan dada dan akal sehat. Kalau
terpojok dan harus mengakui kebenaran kritik yang dilontarkan, sembari mesem-mesem Eyang akan berucap, ‘’Jang bagitu kua’.’’
Pejabat publik lain yang belakangan mampu menerima kritik
tidak dengan tensi tinggi adalah Bupati Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel),
Herson Mayulu. Tapi mungkin kritik saya adalah pengecualian, sebab konon bila
yang melontarkan kritik orang lain, tekanan darahnya tetap saja susah
dikontrol. Terhadap dugaan ini saya memilih menafsir dengan pandangan positif,
bahwa Bupati Bolsel memang tidak bakal tersinggung dengan kritik apapun yang
saya lontarkan. Dia tahu, pada akhirnya saya tetap akan mengalah mengingat dari
aspek kekerabatan usia saya lebih muda dari dia.
Di luar dua tokoh itu, yang saya acungi jempol justru
Walikota KK, Djelantik Mokodompit (DjM), yang tinggal menghitung jam segera
turun dari jabatannya. Tidak ada politikus Mongondow yang lebih kebal dan tebal
muka terhadap kritik dibanding dengan DjM. Saking imunnya DjM terhadap aneka
kritik yang dilontarkan (bukan hanya dari saya), hingga saya pernah menduga yang
dia simak dari media massa (utamanya cetak dan elektronik) hanya berita yang
memuja-muji dan advertorial yang
memajang wajah dan prestasi yang dia klaim.
Tokoh lain, Bupati Bolaang Mongondow (Bolmong) Induk, Salihi
Mokodongan, misalnya, tentu tidak perlu dibahas. Sudah lama saya diperingatkan
(dan meng-amin-kan) bahwa Bupati Bolmong tidak peduli dengan media, khususnya
cetak, dan apalagi digital. Terlebih, walau tidak sependapat bahwa dia lebih
suka membaca pesan pendek –short message
atau SMS— dibanding menyimak media, apa kuasa dan kewajiban saya membantah rumor itu?
Begitulah, sebab pengalaman membuktikan sedikitnya tokoh
Mongondow yang mampu menempatkan setiap konteks pada proporsinya, panggilan
telepon dari Wawali JD sungguh mengguncang kesadaran saya. Sebagai politikus
dan tokoh publik yang terpilih menjadi pejabat publik, JD menunjukkan
kedewasaan, kemantangan, dan kesediaan berendah hati. Terlebih saya bukanlah
siapa-siapa, kecuali salah satu warga negara yang lahir di KK dan tetap menjaga
keterikatan dengan tanah kelahiran.
Sebagai orang Mongondow, JD menunjukkan ketinggian adab
dengan mengesampingkan fakta bahwa saya adalah salah satu oposan yang kerap
melontarkan kritik dia’ ko atorang,
yang semestinya membuat dia harus menjaga hubungan di jarak yang sejauh
mungkin. Dan, yang tak kurang penting, sebagai keluarga (dari sisi istri saya),
panggilan telepon dari JD menegaskan arti ‘’keluarga’’ dalam pengertian utuh.
Suka atau tidak, pahit atau manis, pada akhirnya kerabat adalah kerabat.
Yang mungkin sama sekali tidak diduga oleh JD adalah:
Panggilan telepon dari dia, sekadar undangan untuk mensyukuri kewajiban,
tanggungjawab, dan kehormatan yang diembankan oleh warga KK di pundaknya, bagi
saya adalah ekspresi ketulusan dan kelapangan dada. Sebagai orang Mongondow
yang memahami adab Mongondow, saya menjunjung tinggi kehormatan yang datang
dari JD itu.
Kehormatan harus dibalas dengan sikap penuh hormat. Papa Et,
saya akan tunjukkan penghormatan saya terhadap kehormatan itu selama Anda
menduduki jabatan Wawali KK 2013-2018.***