FOTO yang saya
terima, Minggu (29 September 2013), sebenarnya biasa saja. Andai tak dilengkapi
konteks peristiwa yang direkam, dia bakal dilihat sepintas, disenyumi, dan
akhirnya terlupa. Tenggelam di tengah lalu-lintas informasi dan gambar yang
setiap hari membanjiri perangkat elektronik kita: telepon genggam, tablet, atau komputer jinjing.
Tiga wanita yang ada di frame
memang saya kenal. Ny Tutty Gobel-Gonibala, Ny Muslimah Mayulu-Mongilong, dan
Ny Marlina Moha-Siahaan. Pose ketiganya tampak rileks. Ma Tut (panggilan akrab
kami pada Ny Tutty) tampak tertawa, sementara Mama Ven (panggilan yang melekat
pada Ny Muslimah) menjangkau mike
yang ada di tangan Mama Didi (seluruh warga Mongondow mengenal Ny Marlina
dengan sapaan ini).
Melihat foto tersebut, saya mengira momen itu menunjukkan
keakraban tiga wanita yang cukup populer di Mongondow, yang di Pemilu 2014
mendatang tercatat sebagai Caleg dari tiga Parpol berbeda untuk DPR Provinsi
Sulut: PAN, PDIP, dan PG. Walau dicalonkan tiga partai berbeda, di masa lalu,
ketika Mama Didi masih menduduki kursi Bupati Bolmong (Induk), mereka pernah saling
terikat di bawah naungan PG. Ma Tut adalan mantan anggota DPR Sulut dari PG;
suami Mama Ven (kini Bupati Bolsel, Herson Mayulu) pernah duduk di DPR Bolmong
dari PG; dan Mama Didi adalah tokoh kuat serta Ketua DPD PG Bolmong.
Tafsir saya tidak sepenuhnya keliru. Diambil di pesta
pernikahan putera Hj Sasung Makalalag dan puteri mantan anggota DPR KK, Dolly
Paputungan, yang dihelat di Lapangan Cokro, Desa Poyowa Besar I, Sabtu siang
(28 September 2013), sejatinya foto itu adalah bagian dari keriaan
sumbang-menyumbang lagu yang galib mewarnai hajatan sejenis di Mongondow.
Kisahnya, usai menikmati sajian makan siang dari pengundang,
nyanyi-menyanyi pun dimulai, bergulir penuh suka ria hingga master of ceremony (MC) mengundang Mama
Didi naik panggung. Pendaulatan ini dilakukan setelah Mama Ven usai
mempersembahkan lagu untuk hadirin. Pembaca, Mama Didi adalah politisi matang
dan salah satu bintang panggung yang tak banyak tandingannya di Mongondow.
Menyerahkan mike ke Mama Didi,
berarti menyerahkan ‘’kekuasaan terhadap orang-orang yang ada di hadapan’’
hingga kesempatan itu diakhiri oleh pengatur acara.
Maka tampillah Mama Didi yang apik dengan busana putih-merah,
memberikan sepatah-dua pengantar, dan melantunkan lagu pertama, Masih Ada Waktu yang pernah dipopulerkan
Ebiet G Ade. Di lagu kedua, Jangan Ada
Dusta Diantara Kita dari Dewi Yull-Broery Marantika, Mama Didi mengundang
mantan Kepala kantor Departemen Agama (Kakandepag) yang juga Caleg DPR Sulut
dari PKB, Holil Domu, untuk berduet.
Hadirin yang adem dengan perut terisi dan sudah dihibur
aneka lagu adalah asset yang harus
dimanfaatkan tokoh publik atau politisi cerdas. Mama Didi yang jeli menangkap
peluang itu, melanjutkan kesempatan dari MC dengan mengundang para ibu menjawab
quiz yang ganjarannya adalah sejumlah rupiah
bagi para penjawab. Taktik politik khas Mama Didi ini tetap ampuh menarik
atensi orang banyak, terlebih pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan tidak
berpusat pada dirinya, melainkan sekitar nomor urut Caleg-Caleg DPR Sulut dari
Bolmong. Hadiah bagi para penjawab pun tidak diserahkan oleh Mama Didi,
tetapi diwakilkan pada para Caleg yang hadir di hajatan itu.
Aksi Mama Didi rupanya memprovokasi Mama Ven, yang kemudian
memerintah ajudan membawakan sejumlah uang. Bila hadiah dari Mama Didi
senilai Rp 50 ribu, Mama Ven menandingi dengan Rp 100 ribu. Lalu terjadilah
insiden itu, dimana Mama Ven merebut mike
yang ada di tangan Mama Didi, yang kemudian foto kejadiannya dikirimkan ke saya
lengkap dengan penjelasan kronologis yang (terus-terang) amat sangat lucu.
Bagaimana tidak menggelikan? Setelah mike berada di tangannya, Mama Ven dengan lantang mengatakan
(kurang lebih), ‘’Sudah, so nda ada utang
toh? Skarang sapa ngoni mo pilih, Mama Didi atau Mama Ven?’’ Bahkan, karena
tak puas dengan respons tetamu dan jajaran tuan rumah, Mama Ven menegaskan, ‘’Nda’ usah tako skarang. Masa so berubah.
Mama Didi so nda berkuasa. Mama Ven atau Mama Didi?’’
Menghadapi serangan dadakan itu, dari kesaksian sejumlah
orang yang hadir di acara tersebut, Mama Didi membuktikan kualitas keterasaan
politisi yang dua kali menjabat Bupati Bolmong dan tokoh publik yang matang
dalam penguasaan diri. Dengan tenang, dingin, dan emosi terkontrol dia
mengambil mike lain dan melanjutkan
acara tanpa terganggu sinumum-ba’
dari Mama Ven.
Dari aspek sosial dan terlebih politik, peristiwa itu dengan
telak menggiring orang-orang yang hadir memihak Mama Didi. Seandainya setelah
insiden yang tampaknya dimaksudkan oleh Mama Ven untuk ‘’mengecilkan’’
ketokohan dan pengaruh sosial-budaya-politik Mama Didi, disigi pendapat
orang-orang yang menyaksikan, saya yakin hampir seratus persen bakal memberikan
suara pada Mama Didi. Keunggulan itu kian sempurna karena setelah sesi Mama
Didi, MC pun mengakhiri seluruh rangkaian acara.
Pembaca, sebagai salah satu ‘’lawan politik’’ laten Mama
Didi, saya tidak pernah meragukan bahwa dia adalah sedikit dari tokoh publik paling
lihai di Mongondow. Apa yang dia lakukan di hajatan pernikahan itu, dengan
mengedepankan Caleg-Caleg DPR Sulut dari Bolmong (tidak dirinya sendiri),
bukanlah tindakan impulsif. Mama Didi telah mengkalkulasi, dengan demikian
justru menegaskan posisi tawarnya lebih tinggi dan ekslusif dibanding para
pesaing. Dan karena itu, dia tidak gentar merangkul siapapun yang akan
berkompetisi di Pemilu 2014, termasuk lawan-lawan yang paling berpotensi
mengerogoti dukungan terhadap dia.
Dibanding para Caleg lain yang hadir di hajatan itu, baik
politisi berpengalaman seperti Ma Tut atau mantan birokrat semacam Holil Domu
dan Kandoli Mokodongan, Mama Ven tergolong ‘’pemain baru’’ yang masih mudah
gelap mata dan panas hati. Alih-alih menggunakan peluang yang tersedia demi
menarik simpati publik, tindakan Mama Ven merebut mike dari tangan Mama Didi tak beda dengan maklumat tidak-kompeten
dan tidak-mumpuninya dia memikul amanat politik orang banyak.
Andai saya ada dalam posisi Mama Ven dan Caleg-Caleg lain,
di tengah aksi quiz dan bagi-bagi
hadiah dari Mama Didi, dengan sopan saya meminta izin menyampaikan sedikit
pernyataan. Isinya: Saya akan memuji Mama Didi sebagai mantan Bupati dan tokoh
perempuan Mongondow terkemuka yang juga Caleg DPR Sulut di Pemilu 2014, yang
menunjukkan kearifannya dengan mendorong agar Caleg-Caleg lain, terutama mereka
yang belum pernah duduk di lembaga legislatif, berada di garda depan.
Saya akan menjadikan apa yang dilakukan Mama Didi sebagai
ekspresi restu agar saya menjadi pilihan utama para konstituen. Bukankah
politik adalah kepiawaian dan seni memanfaatkan apapun, termasuk yang tampaknya
adalah kelemahan, menjadi keunggulan dan keuntungan?***