LEBIH mudah
mengingatkan sekumpulan kambing agar tak berkeliaran dekat kolam, saluran air, atau
rawa-rawa, ketimbang mengetuk-ngetuk batok kepala jajaran redaksi Harian Radar Bolmong. Kambing yang sensitif air,
sekadar kuyup diguyur hujan biasanya bakal demam dan bisa-bisa berakhir jadi
bangkai. Yang repot dan mengurut dada cuma pemiliknya seorang.
Beda dengan ketololan pewarta dalam soal keliru menggunakan
kata seperti yang sudah jadi tabiat laten Radar
Bolmong. Kebodohan yang mereka praktekkan selalu berdampak dua sisi. Pertama, mencoreng profesionalisme,
kapabilitas, serta kredibilitas jurnalis dan medianya. Wartawan yang gagap
kecakapan paling dasar, hal-ihwal berbahasa, lebih baik menukar keyboard komputer dengan cangkul. Salah
mengayunkan cangkul, entah itu terkena kaki sendiri atau cuma membuat tanah
kebun bergunduk tak karuang, bukan urusan orang banyak. Toh cangkul, batang tulang kering, dan tanah itu milik Anda
sendiri.
Dan kedua,
penggunaan kata yang entah dipetik seenaknya dari pohon cabe siapa, menyesatkan
pembaca awam dan mendidihkan darah mereka yang cukup paham berbahasa
(Indonesia) baik dan benar. Syukur-syukur wartawan biongo berbahasa coreng-moreng itu cuma jadi obyek lelucon dan
ejek. Bagaimana kalau berakhir jadi kasus hukum karena bahasa, kalimat, atau
kata yang digunakan secara implisit berarti sangat menghina?
Untuk kesekian kali Radar
Bolmong edisi Selasa (12 November 2013) memajang kesalahan berbahasa fatal
yang menunjukkan jajaran redaksi koran ini ingin tampak cerdas dan bermutu,
dengan ekspresi yang dikarang-karang sesukanya, seolah para pembaca adalah
kambing buta-tuli yang sedang kram sakit perut. Adalah berita bertajuk Kriminalisasi Murid, Dekab Panggil Dikpora di
halaman 3 (Bolmut) yang kali ini jadi pokok-soal. Berita ini disertai foto
dengan keterangan, ‘’KRIMINALISASI MURID: Guru tidak dibenarkan melakukan
kekerasan fisik kepada murid.’’
Mari kita telisik mengapa ‘’kriminalisasi’’ yang digunakan
pewarta (dan jajaran redaksi) Radar
Bolmong itu sekeliru menyamakan lutut sebagai otak. Supaya rujukannya dapat
sama-sama mudah diakses (saya malas menggunakan literatur cetak sebagai sumber,
sebab pasti mereka yang berhimpun di media ini lebih suka membaca syair Togel),
yang digunakan adalah sumber-sumber online.
Nah, menurut situs Wikipedia (http://id.wikipedia.org/wiki/kriminalisasi),
kriminalisasi berasal dari criminalization
(bahasa Inggris), yang berarti, ‘’dalam
ilmu kriminologi adalah sebuah proses saat terdapat sebuah perubahan perilaku
individu-individu yang cenderung untuk menjadi pelaku kejahatan dan menjadi
penjahat.’’
Wikipedia berbahasa Inggris (http://en.wikipedia.org/wiki/Criminalization) lebih lengkap mencantumkan, ‘’in criminology, is ‘the process by which behaviors and
individuals are transformed into crime and criminals.’ Previously legal acts
may be transformed into crimes by legislation or judicial decision. However, there is
usually a formal presumption in the rules of statutory interpretation against the retrospective
application of laws and
only the use of express words by the legislature may rebut this presumption. The power
of judges to make new law and retrospectively criminalise behaviour is also
discouraged. In a less overt way, where laws have not been strictly enforced,
the acts prohibited by those laws may also undergo de facto
criminalisation through more effective or committed legal enforcement.’’ Bagi
yang tak paham bahasa Inggris, karena blog ini ditujukan pada pembaca yang
tidak malas, saran saya gunakan Google
Translate (http://translate.google.co.id/?hl=id&tab=wT).
Secara lebih
sederhana, situs http://www.thefreedictionary.com/criminalization mendefinisikan criminalization sebagai ‘’legislation that makes something
illegal.’’ Contohnya adalah sepotong kalimat, ‘’The criminalization of marijuana’’, yang dapat kita artikan ‘’menjadikan
(penggunaan) ganja sebagai tindak (pidana) kriminal.’’
Masih menurut Wikipedia (http://id.wikipedia.org/wiki/Kriminalisasi), ‘’Kriminalisasi mengalami neologisme, yaitu menjadi sebuah keadaan saat
seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku kejahatan atau penjahat oleh karena
hanya karena adanya sebuah pemaksaan interpretasi atas perundang-undangan
melalui anggapan mengenai penafsiran terhadap perlakuan sebagai kriminalisasi
formal dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh dalam perseteruan
KPK dan polisi, kata kriminalisasi digunakan media untuk mendefinisikan upaya
polisi menjerat pemimpin KPK.’’
Sejalan dengan
pengertian dari sumber-sumber online
itu, KBBI (Departemen Pendidikan Nasional dan Balai Pustaka, 2005) mengartikan
kriminalisasi sebagai, ‘’Proses yang memperlihatkan perilaku yang semula tidak
dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai
peristiwa pidana oleh masyarakat.’’ Maaf, pembaca, dengan terpaksa saya harus
merujuk pada satu sumber berbentuk buku, sekali pun saya ragu apakah Radar
Bolmong punya sekadar satu copy KBBI
di ruang redaksinya.
Benderanglah
sudah pengertian ‘’kriminalisasi’’ sebagaimana yang diketahui umum. Kita pun dapat
menafsir judul berita dan keterangan foto Radar
Bolmong dengan pemahaman yang sama, bahwa: Menurut koran ini, di Bolmut
para guru telah mendudukkan siapa saja yang menjadi murid sebagai pelaku
kriminal. Pendeknya, Anda jangan jadi murid, sebab dengan demikian Anda adalah
kriminalis. Dan yang menjadikan Anda kriminalis adalah para pendidik Anda
sendiri.
Melihat adegan
guru sedang menghajar (maaf) bokong muridnya dengan sepotong benda di foto yang
menyertai berita Kriminalisasi
Murid, Dekab Panggil Dikpora, kita patut menduga kata yang dimaksud
bukanlah ‘’kriminalisasi’’ melainkan ‘’kriminali’’ (melakukan tindak kriminal).
Dengan begitu tajuk yang tepat adalah Kriminali
Murid, Dekab Panggil Dikpora. Judul ini pun baru mendekati dua pertiga kebenaran,
sebab yang semestinya adalah Guru
Kriminali Murid, Dekab Panggil Dikpora.
Pelajaran penggunaan kriminil, kriminal, kriminali, dan
kriminalisasi kita sudahi dengan menilai jurnalis, jajaran redaksi, dan sumber
berita yang tulisan ngawur selangit itu sebagai para kriminil. Menurut hemat
saya, gara-gara cuma dijadikan sapi perah cash
in, tampaknya sudah menjadi takdir para pewarta Radar Bolmong lebih piawai menggunakan cangkul ketimbang pena dan
komputer.
Sudah pula jadi nasib kebanyakan sumber berita yang mereka
rujuk untuk tampak idiot dan menggelikan, karena pernyataan-pernyataan yang
dikutip memang menunjukkan mereka bobodukon
belaka. Tidak sebanding dengan kementerengan jebatan publik atau birokrasi yang
disandang, yang di kasus berita Kriminalisasi
Murid, Dekab Panggil Dikpora, sumbernya adalah yang terhormat oknum DPR
Bolmut.
Tepat pula bila
akhirnya membaca Radar Bolmong
sekadar dianggap dan dijadikan penyaluran keinginan bermain-main, berolok-olok,
atau menumpahkan serapah. Tidak ada manfaat lebih menyimak koran yang isinya
mengkriminali pengetahuan pembacanya. Barangkali bahkan ikan atau kacang yang
dibungkus koran semacam ini pun langsung busuk sebelum sempat ditanak, apalagi
isi kepala kita. Wassalam.***
Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
Bolmut: Bolaang Mongondow Utara; Dekab: Dewan Kabupaten; Dikpora: Dinas Pendidikan dan Olah
Raga; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; KBBI: Kamus Besar Bahasa Indonesia; KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi; dan Togel: Toto Gelap.