LISTRIK byar-pet
dan jaringan selular yang kerap datang dan pergi tak menghalangi cepatnya
ruyakan kabar dari Kotamobagu. Jumat malam (15 November 2013), di tengah
serapah koneksi internet yang selambat siput di seantero Manado, hampir
serempak beberapa SMS dan BBM menjerit-jerit di telepon saya. Isinya pun
seragam, ihwal nasib dan kepentingan beberapa ‘’pencari dan penyiar warta’’ yang
tercatat sebagai awak redaksi Radar
Bolmong.
SMS dan BBM itu umumnya menanyakan apakah saya sudah
mengetahui ada tiga wartawan (bahkan di posisi senior) Radar Bolmong yang dijatuhi sanksi ‘’skorsing untuk waktu yang
tidak ditentukan’’? Bahwa surat pemberitahuan skorsing yang mereka terima
ditanda-tangani Pemred Budi Siswanto dan Wapemred Firman Toboleo.
Awalnya saya tidak bereaksi karena beberapa orang yang
menginformasikan skorsing itu mengatakan, alasan dihukumnya tiga wartawan itu
sebab mereka mengabaikan penugasan dan doyan mangkir dari rapat redaksi. Saya
tidak gila urusan dan masih sayang dengan kewarasan sendiri hingga sudah pula
menghentikan langganan Radar Bolmong
sejak dua bulan terakhir, jadi buat apa repot-repot membuang waktu memikirkan
sepak-terjang media ini, lebih khusus kebijakan redaksinya.
Di negara-negara di mana demokrasi dan pers bebas mendadak
dinikmati seperti bah bendungan jebol, media yang tak waspada mudah jatuh
sekadar produksi pamflet dan brosur iklan; serta jurnalis yang lepas kendali
jadi semena-mena, pongah, dan tak tahu diri. Di Indonesia, situasinya kian
kompleks sebab sejumlah kelompok media pun tak malu-malu memperjual-belikan
berita seperti yang dipraktekkan Grup MP lewar kebijakan cash in. Media semacam ini juga memperlakukan jurnalis dan
karyawanannya sebagai ‘’pencari kerja’’ yang tanpa reserve diminta berkhimat karena punya status pekerjaan. Mereka
tidak dianggap dan diperlakukan sebagai asset intelektual penting, melainkan
sekadar elemen mesin yang setiap saat boleh diganti atau dibuang.
Sumber berita dan pembaca Radar Bolmong boleh menghitung sendiri berapa banyak wartawan media
ini yang terpental atau dipental dalam tiga bulan terakhir. Di media-media
kredibel kehilangan satu-dua wartawan adalah pukulan, bahkan aib, apalagi bila
mereka di level bukan lagi calon
reporter dan dipinalti karena dinilai tidak kompeten atau membangkang. Ada yang
sakit dari manajemen dan praktek keredaksian di media yang ditinggalkan
pewartanya, terlebih jumlah yang pergi mencapai lebih dari setengah awak
redaksi. Ajaibnya, kesadaran seperti itu tampaknya tidak berlaku di Radar Bolmong dan Grup MP umumnya.
Dengan pengetahuan yang kian luas terhadap praktek manajemen
dan jurnalistik di Grup MP, bagi saya pribadi, Radar Bolmong memecat seluruh wartawannya, menghentikan penerbitan
korannya, atau apa kek, terserah.
Kalau pun saya masih menulis tentang media ini, sebab mereka adalah lembaga
penyiaran publik yang sepak-terjangnya wajib dikritisi, dikritik, dan dikontrol
setiap warga negara sebagaimananya hak umum yang dimilikinya.
Namun, saya agak terganggu dengan beberapa BBM yang
berspekulasi para wartawan itu diskorsing sebab mereka pernah terlibat
bincang-bincang dan bual-bual saat saya ada di Kotamobagu bertepatan dengan
perayaan Idul Adha (Selasa, 15 Oktober 2013) lalu. Petang di satu hari sebelum
Idul Adha saya memang berkunjung ke Kopi Jarod Sinindian, di mana kebetulan ada
sejumlah wartawan (termasuk dari Radar
Bolmong) yang tengah reriungan. Kami sempat berbincang-bincang, tidak lebih
dari saling bertukar cerita dan lelucon.
Dengan kata lain mustahil ihwal-soal diskorsingnya tiga
wartawan itu karena ada hubungannya dengan pertemuan tidak sengaja dengan saya.
Lagipula di antara ketiganya hanya dua orang yang sepengetahuan saya ada di
Kopi Jarod petang itu. Satu wartawan lagi bahkan sama sekali tidak pernah
bertemu, apalagi berhubungan dengan saya, untuk jangka waktu yang sangat lama.
Rumor dan dugaan itu sangat tidak bertanggungjawab. Sebab
bila demikian adanya, artinya Radar
Bolmong telah mengkriminalisasi saya. Sebagai kriminil tanpa proses
pengadilan dan tahu apa dosa yang diperbuat, kriminalisasi itu cukup jadi
alasan saya menyambangi Kantor Radar
Bolmong dan meludahi batok kepala jajaran manajemennya.
Di sisi lain, rumor itu dapat pula ditafsir sebagai bentuk
ketakutan manajemen Radar Bolmong,
lebih khusus para petinggi redaksinya, karena berhalusinasi saya memiliki
kesaktian mempengaruhi jajaran wartawannya. Kok
media yang mengklaim ‘’No. 1 di Bolmong Raya’’, yang juga berlindungan di bawah
payung Grup MP yang menyakini kelompoknya sebagai ‘’Terbesar di Sulawesi
Utara’’, minder dan kehilangan taji hanya karena gangguan seorang penulis blog?
Memangnya skorsing terhadap wartawan yang kebetulan sekadar
berpapasan, ngobrol, atau berbual-bual dengan saya menghentikan olok-olok,
sentilan, dan tempeleng di kuping manajemen Radar
Bolmong dan Grup MP? Justru rumor dan duga-duga yang beredar itu memantik
ide, saya perlu mengunjungi jajaran direksi koran ini (yang semuanya saya kenal
baik dan pasti tidak berani menolak ketukan di pintu rumah mereka). Kita kita
lihat nanti apakah Budi Siswanto dan Firman Toboleo berani menandatangani surat
skorsing untuk Suhendro Boromo atau Urief Hassan.
Saya bahkan tiba-tiba berencana meluangkan waktu menunggu
kemunculan Wapemred Firman di ruang-ruang publik. Saya akan menyambangi dia di
tengah orang banyak untuk menyampaikan banyak hal berkaitan dengan kebobrokan
manajemen, cara kerja, dan produk medianya. Saya betul-betul ingin tahu apakah
Wapemred yang saya kenal cukup rendah hati ini bakal mempermalukan diri sendiri
di depan khalayak, terutama pemangku kepentingan (cash in) Radar Bolmong?
Pula, apakah setelah itu dia bakal diganjar dengan ‘’skorsing untuk waktu yang
tidak ditentukan’’ atau tidak?
Akan halnya Budi Siswanto, saya masih punya urusan yang
belum selesai. Pada waktunya nanti, ketika dia bahkan sama sekali telah
mengabaikan, saya akan menangih hutang-piutang itu. Pemburu yang paling banyak
membawa pulang buruan adalah yang memiliki kesabaran ekstra revolusioner. Saya
cukup terlatih dan terbiasa untuk itu.
Mengingat rumor dan
duga-duga itu dianggap sekadar mengait-ngaitkan saya dan karena Radar Bolmong adalah lembaga penyiaran publik,
kita fokuskan saja cermatan pada ‘’skorsing tanpa batas waktu yang ditentukan’’
itu, yang kini sudah jadi pengetahuan dan gunjing orang banyak. Pembaca,
tampaknya jajaran manajemen Radar Bolmong
datang dari jenis manusia yang benar-benar tumpul, tidak mau belajar, apalagi
bercermin, dan gemar melanggar hukum. Surat skorsing untuk tiga wartawan yang
ditanda-tangani Pemred dan Wapemred-nya, adalah contoh bagaimana mereka sekeras
granit dalam soal mempertontonkan kebodohan.***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
Bolmong: Bolaang
Mongondow; BBM: BlackBerry
Messenger; MP: Manado Post; Pemred: Pemimpin Redaksi; SMS: Short Message/Pesan Pendek; dan Wapemred: Wakil Pemimpin Redaksi.