GEDUNG tua di
Jalan Babe Palar Manado, tepat berdampingan dengan kediaman mantan Walikota
Manado 1966-1971, Almarhum Hi Rauf Mo’o, adalah monumen penanda kelahiran Grup
MP, salah satu kelompok penerbitan yang kini menggurita di Indonesia Timur.
Bangunan ini mulanya rumah tinggal berarsitektur Belanda dari era setelah
kemerdekaan yang diubah jadi kantor, tak lama setelah JP men-take over Harian MP (yang mulanya koran spesialis kriminal).
Yang Terhormat Presdir Harian Radar Bolmong, M Tauhid Arief, karib dari zaman romantis idealisme
berjurnalistik, saya yakin engkau tak melupakan bagaimana saya dan beberapa
kawan bergabung sebagai rekrutan generasi pertama MP di bawah rezim JP. Hid
(izinkan saya menggunakan sapaan yang selalu sarat persaudaraan dan pertemanan
ini), seingat saya engkau adalah satu dari segelintir wartawan MP generasi pra
JP yang menyambut kami bukan sebagai pesaing. Tidak menatap para ‘’anak
bawang’’ Carep dengan pandangan pandang
enteng. Sejak hari pertama hingga terakhir saya di MP, engkau selalu
menjadi kawan profesional dan pribadi yang mengasyikkan.
Di masa itu tensi politik kantor antara ‘’wartawan lama’’,
‘’kiriman JP’’, ‘’impor dari sesama anak perusahaan’’, dan rekrutan baru,
berkelindang mempolarisasi bukan hanya relasi antar personal; tetapi juga
hingga bagaimana seluruh sistem bekerjasama supaya koran yang setiap pagi diterbitkan
cukup bermutu, kau adalah bagian dari ‘’mereka’’ yang berdiri di jalur tengah.
Engkau, yang mendapat sapaan kesayangan ‘’Si Gondrong’’ dari ‘’Panglima
Redaksi’’, Asdar Muis RMS, yang diimpor dari Harian Fajar, diterima di semua kelompok yang bergesekan.
Kita (Asdar Muis RMS, engkau, dan saya –belakangan bertambah
beberapa kawan lain seperti Burhanuddin Bella yang juga berasal dari Harian Fajar) dengan cepat menjadi sobat. Menjadikan
kantor ‘’rumah’’, berbagi ruang di pondok kayu yang ditegakkan di halaman
belakang, atau berebut mengakuisisi veltbed
milik Asdar ketika mata tak kuat lagi menahan kantuk.
Sebagaimana saya banyak belajar dari Asdar dan Buhanuddin,
dengan engkau pun saya memetik aneka tips,
trik, dan kepraktisan-kepraktisan kreatif seorang wartawan tatkala dia turun
lapangan. Harus diakui, di antara seluruh wartawan MP generasi sebelum JP,
diam-diam (lengkap dengan keesentrikan rambut kriwil gondrong yang lebih banyak
berantakan ketimbang tersisir) telah ternujum satu saat engkau akan menjadi
‘’seseorang’’, entah di MP atau lebih dari itu.
Di ingatan yang tetap segar, engkau adalah salah satu
pewarta otodidak (betapa lucu saya bahkan tidak pernah tahu –juga tak peduli--
latar pendidikanmu, toh kau sudah
membuktikan dari kualitas kerja dan profesionalisme) yang nyaris komplit. Engkau
mampu meliput, menulis, dan mengedit berita dan feature politik hingga sekadar lengak-lengok artis. Pengecualiannya
mungkin isu-isu ekonomi, yang bila bersentuhan dengan angka-angka, selalu cepat
membuat kau bosan dan jengkel.
Lalu tiba waktu ‘’pemberontakan demi pemberontakan’’ meletus
di MP masa lalu. Satu per satu orang pergi. Mula-mulanya generasi MP pra JP,
para pewarta impor dari anak perusahaan JP yang lain, sejumlah wartawan
kelahiran Sulut yang di-deploy dari JP,
dan akhirnya generasi saya. Para pewarta yang tersisa dari masa itu adalah para
survival, antara lain engkau dan Ais
Kai (sepengetahuan saya dia kini tak lagi bekerja di Grup MP).
Kenangan saya terhadap kepergian dari MP, sekali pun pahit,
telah bertahun-tahun dimaafkan dan disyukuri sebagai bagian dari stupidity journey. Sesuatu yang harus
dilalui sebelum akhirnya kita terjaga dan tergelak. Setidaknya saya pernah
dengan bangga menertawai diri, sebab percaya bahwa kerja setara profesor absah
belaka dibayar dengan kompensasi jauh di bawah pendapatan seorang tenaga kasar
harian. Bahwa banting tulang satu-dua hari, tiga-empat bulan, atau lima-enam
tahun bakal terbayar dengan tegaknya media yang profesional, kredibel,
independen, dan benar-benar dapat dibanggakan.
Saya masih tetap terbahak-bahak setiap kali mengenang
tahun-tahun pancaroba di Jalan Babe Palar itu. Betapa naifnya terkagum-kagum pada
Dahlan Iskan yang setiap kedatangannya disambut bagai ‘’nabi’’ pembawa kabar
baik dan harapan. Atau di rapat-rapat internal dan pertemuan redaksi menyimak
Imawan Mashuri menjanjikan ‘’satu saat nanti’’ wartawan MP akan sejahtera
lahir-bathin. Koran yang dipelihara, dipupuk dengan kerja keras dan keringat
seluruh jajarannya, akan menuai sukses untuk semua.
‘’Satu saat nanti’’ itu saya saksikan setidaknya tujuh atau
delapan tahun belakangan. MP membesar dengan cepat, melahirkan anak-anak di
banyak daerah, termasuk Malut dan Bolmong di mana engkau kemudian menjadi
Presdir dan Dirutnya. Saya, juga kebanyakan eks MP dari generasi ke generasi
menyaksikan ‘’mimpi yang jadi nyata’’ itu dengan kagum dan syukur. Terlebih
kalian (jajaran eksekutif Grup MP), kawan-kawan yang umumnya saya kenal akrab,
juga tampak makmur dan sejahtera. Wartawan Grup MP bukan lagi gerombolan kumuh,
kurang tidur, kurang duit, tetapi tetap bangga dan sombong seperti zaman Jalan
Babe Palar; melainkan tokoh-tokoh yang hadir sebagai elit sosial di wilayah
yang dicakupnya.
Lalu fakta-fakta itu mendadak terbeber. Bermula dari kritik
saya terhadap penggunaan kata yang amat keliru di Radar Bolmong, yang lalu menguak begitu banyak praktek tercela yang
jelas-jelas mengencingi filosofi, etika, norma, standar, dan keluhuran praktek-praktek
jurnalistik. Tidak itu saja, manajemen cash
in yang diterapkan dengan brutal (khususnya) di redaksi Radar Bolmong, di mana engkau tercantum
sebagai Presdir, bahkan dengan telanjang dapat dibuktikan sebagai ulah para
psikopat tukang peras.
Hid, kemana kabar baik, harapan, dan mimpi yang disemai
bertahun-tahun lampau hanyut di Grup MP, khususnya Radar Bolmong? Di kalangan elit seperti kalian mungkin tak jadi
soal, tapi bagaimana dengan wartawan yang bongkok memikul kewajiban cash in; tanpa legalitas kekaryawannya
yang dijamin hukum; dengan mekanisme kerja, SOP, aturan, dan kebijakan sesuka
‘’bos-bos’’ perusahaan dan redaksi? Kemana para pewarta yang diperlakukan lebih
buruk dari kuli kontrak dan romusha ini mengadu, ketika mereka dianiaya dengan
non aktif atau skorsing untuk waktu yang tidak ditentukan, semata karena
mangkir rapat redaksi atau abai menunaikan penugasan? Atau alasan lain yang
dicari-cari, dikreasi, demi mendepak yang tidak seide dan sejalan?
O, terhadap ‘’skorsing untuk waktu yang tidak ditentukan’’
yang Jumat (15 November 2013) dijatuhkan Radar
Bolmong pada tiga wartawannya, menurut hemat saya, semestinya jadi anugerah
tak ternilai. Bukankah mereka harus tetap menerima hak-haknya (salary dan benefit) hingga waktu yang tidak ditentukan pula? Hid, kepiawaianmu
sebagai salah seorang wartawan kriminal terbaik di Sulut, pasti akan
mengkonklusi simpulan yang sama. Tidakkah aturan dan UU-nya memang mengatur
demikian?
Sesungguhnya saya tidak menuntut jawaban apapun. Apa yang
ditulis ini cuma semacam gumaman, solulokui, sembari mengenang sepotong tahun
yang penuh warna denganmu dan banyak kawan lain di MP masa lalu. Namun tetap
ada yang mengganjal, yang setidaknya ingin saya bawa dan tanyakan. Saya
membayangkan, entah itu di Ternate atau satu tempat di Sulut di waktu dekat
ini, kita berdua duduk di hadapan kopi dan kudapan mengepul, bertukar cerita,
lalu akhirnya saya menyampaikan pertanyaan, ‘’Begitukah cara mengurus koran dan
wartawannya?’’
Mudah-mudahan saya punya cukup ketegaan menderas kalimat
sederhana itu, Hid. Saya tahu, diperlukan berton-ton alasan hingga akhirnya kau
akan mengangkat tangan dan mengakui: Di Radar
Bolmong (mungkin pula MP dan seluruh anak-anaknya) kabar baik, harapan, dan
mimpi-mimpi yang pernah sama kita dengar bertahun lampau hanya berlaku untuk
segelintir orang. Bukankah kita sama tahu pula, sorga tidak untuk seluruh umat
manusia, demikian juga dengan neraka?***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
Carep: Calon Reporter; Dirut: Direktur Utama; JP: Jawa Pos; MP: Manado Post; Presdir: Presiden Direktur; dan UU: Undang-undang.
Carep: Calon Reporter; Dirut: Direktur Utama; JP: Jawa Pos; MP: Manado Post; Presdir: Presiden Direktur; dan UU: Undang-undang.