BBM yang disebar
Senin, 25 November 2013, menggunakan beberapa frasa bombastis. Ditajuki
‘’Pernyataan Sikap oleh Ketua Umum HMI Lewat BB’’, bagian paling membetot
perhatian adalah kalimat, ‘’... aksi kami dibubarkan oleh anjing-anjing penjaga
pemerintah (Pol-PP) tanpa alasan yang mendasar.’’
Menegaskan keberatannya, pesan berantai atas nama Ketua Umum
HMI Bolmong Raya itu menuliskan, ‘’Padahal aksi kami hanya aksi damai dalam
rangka meminta komitmen pembangunan. Tapi kami diperlakukan secara represif.
Diperlakukan seenaknya oleh pasukan-pasukan penjilat ini, malah salah satu dari
kader HMI yang tangannya sudah cacat diseret oleh Pol-PP sampai tangannya patah
lagi.’’
Demi menunjukkan keseriusan menyoal tindakan Satpol PP, BBM
yang saya terima menyatakan pula, ‘’... kami juga telah melaporkan ke
kepolisian atas tindakan represif ini serta akan melaporkannya ke Pengurus
Besar HMI di Jakarta. Kami meminta dengan tegas kepada Walikota Kotamobagu agar
meminta maaf atas perbuatan yang telah
dilakukan oleh Pol-PP dan mencopot Kepala Kesbangpol dan Kasat Pol-PP yang
bertanggungjawab penuh atas tindakan represif ini.’’
Sebagai catatan, kesalahan-kesalahan penggunaan awalan di
kalimat-kalimat yang saya kutip itu telah diperbaiki. Sungguh memalukan bila
Ketua Umum HMI Bolmong Raya masih cemang-cemong dalam urusan berbahasa
Indonesia yang baik dan benar, apalagi genit-genit bicara konsep besar
membangun KK.
Tapi apa juntrungan hingga HMI Bolmong Raya menggelar
demonstrasi? Setelah menyimak beberapa berita terkait, antaranya di situs Lintasbmr.Com (http://lintasbmr.com/hmi-berdemo-tantang-walikota-teken-pakta-integritas-terkait-visi-misi/
dan http://lintasbmr.com/aksi-hmi-di-rudis-walikota-diwarnai-insiden/),
saya mendapat gambaran musabab beraksinya organisasi mahasiswa ini. Rupanya
urusannya sepele: Mereka menuntut Walikota-Wawali menanda-tangani pakta
integritas berkaitan dengan visi-misi pembangunan KK sesuai janji-janji selama
Pilwako beberapa bulan lampau.
Bingung kerap diekspresikan dengan menggaruk-ngaruk kepala. Itulah
yang saya lakukan setelah memahami duduk-soal demontrasi yang digerakkan HMI
Bolmong Raya itu. Dari berbagai aspek, kepantasan, serta praktek-praktek umum
berdemokrasi dan menyuarakan pendapat, unjuk rasa HMI Bolmong Raya itu
tampaknya lebih cocok digelar oleh kelompok liar tak berpendidikan. Orang
Mongondow menyebut himpunan orang seperti itu sebagai ‘’gorombolan’’. Mereka
yang hanya pantas dilibas ketimbang diterima di tengah masyarakat.
Pertama,
Walikota-Wawali KK dipilih oleh mayoritas warga kota ini (lebih 50 persen pemilih
pada Pilwako lalu) secara demokratis. Berapa banyak anggota HMI Bolmong Raya di
KK, dibanding jumlah pemilih itu? Siapa pula yang mengamatkan mereka menjadi
wakil seluruh masyarakat untuk menuntut Walikota-Wawali menanda-tangani pakta
integritas? Apa isi pakta tersebut dan siapa yang menyiapkan?
Apa pula organisasi HMI ini? Apa urusannya dengan kewajiban,
hak, dan keinginan warga KK diperhadapkan dengan Walikota, Wawali, dan seluruh
perangkat birokrasi Pemkot yang mereka bawahi?
Orang per orang di KK tentu punya aspirasi, pendapat,
tuntutan, bahkan keberatan terhadap Walikota-Wawalinya; sebagaimana saya yang
lebih sering tidak sependapat dengan elit politik dan birokrasi bahkan di
seantero Mongondow. Tetapi mengklaim bahwa aspirasi pribadi per pribadi atau
sekelompok orang, dengan legitimasi yang patut dipertanyakan, sebagai keinginan
umum, adalah tindakan yang sungguh keblinger.
Kedua, hak
demokrasi dan menyuarakan pendapat secara bebas juga harus dengan menghormati
pihak lain. Satu-satunya institusi yang wajib dan berhak mengontrol (secara
formal dan langsung) Walikota, Wawali, dan jajarannya adalah DPR KK. HMI yang
semestinya berpendidikan, memahami sistem, aturan, dan aspek-aspek terkait
lainnya, tahu persis menuntut (apapun itu, termasuk demo) ke DPR adalah jalan
yang paling masuk akal. Itu pun mereka hanya dapat meminta DPR memastikan
Walikota-Wawali menegakkan visi-misi yang telah dijanjikan, yang sebelumnya
disampaikan secara formal di hadapan lembaga yang terhormat ini.
Ketiga, unjuk rasa
adalah salah satu ekspresi berdemokrasi, tetapi cara ini juga diikat
aturan-aturan tertentu, setidaknya pemberitahuan pada aparat berwenang. Adakah
HMI Bolmong Raya menaati aturan-aturan itu sebelum menggelar aksinya?
Mudah-mudahan informasi yang saya terima keliru, tetapi faktanya unjuk rasa
yang mereka gerakkan itu tergolong liar dan masuk kategori gangguan terhadap
ketertiban, keamanan, dan kenyamanan umum. Untuk para pengganggu ini, secara
sosial di Mongondow, semestinya boleh dicambuk dengan rotan dan bambu penghalau
anjing.
Keempat, sejalan
dengan taat aturan, demontrasi seharusnya adalah ekspresi demokrasi dan hak
penyuarakan pendapat setelah upaya yang lebih soft gagal dilakukan. Adakah sebelum berunjuk rasa HMI Bolmong Raya
terlebih dahulu mengikhtiarkan cara lain itu, misalnya dengan mengirim surat
resmi, bertatap muka dengan Walikota dan Wawali, lalu menyampaikan aspirasi dan
tuntutannya?
Demonstrasi sekadar karena ingin dan terujung
berteriak-teriak seolah-olah merekalah yang terpenting di tengah masyarakat,
lebih sering mengundang antipati ketimbang simpati dan empati. Kalau cuma
tunjung jago gaya berandalan, HMI cemen
dan amatir belaka. Baru berhadapan dengan Satpol PP sudah terkaing-kaing,
bagaimana bila dengan Brimob atau satuan anti huru-hara?
Dan Kelima,
baiklah, sekali pun liar dan menjadi gangguan (utamanya) kenyamanan publik,
demo ke DPR dan Kantor Pemkot KK kita anggap saja sebagai bentuk penyaluran
aspirasi. Tapi bagaimana dengan gerudukan ke Rumah Jabatan Walikota? Rumah
jabatan adalah fasilitas negara untuk pejabat publik yang dilekati dua aspek
fundamental: ruang publik sekaligus ruang private.
Di Mongondow, melangkahi halaman rumah seseorang dengan menimbulkan
ketidak-nyamanan (apalagi onar) secara kultural cukup jadi alasan bagi penguasa
kediaman itu melakukan pembelaaan diri hingga tingkat ekstrim. Jangankan
sekadar mematahkan tangan, dari sisi sosial-budaya, menebas leher orang yang
menerobos pun dapat diterima sebagai keniscayaan.
Lima argumen itu membuktikan, dari berbagai aspek aksi unjuk
rasa HMI Bolmong Raya ke Walikota-Wawali KK sama sekali tidak memiliki dasar
dan pijakan yang dapat diterima kewarasan umum. Bukan hanya itu, dengan secara
terbuka menyebarkan insinuasi
‘’anjing-anjing’’ pada Satpol PP KK, organisasi ini, para pengurusnya,
dan penanggungjawab demo yang digelar justru harus diseret ke depan hukum
karena penistaan.
Lucunya, gatal di kepala saya kian menjadi karena para
pendemo itu, selain menuntut permintaan maaf dari Walikota serta pencopotan
Kepala Kesbangpol dan Kasatpol PP, juga mengancam akan mengadu ke Ketua Umum PB
HMI. Sebagai warga KK, walau punya keberatan dan protes sendiri terhadap
Walikota dan jajarannya, kali ini saya turut terpancing ancaman HMI Bolmong.
Tuan-tuan HMI Bolmong Raya, jangan hanya melapor pada Ketua
Umum PB. Bagaimana kalau sekalian urusannya dibawa ke Kahmi Pusat, Komnas HAM,
Mabes Polri, dan institusi negara lainnya? Jangan lupa pula hadirkan Ketua Umum
PB HMI di hadapan kami, warga KK, supaya kepalanya mudah ditoyor karena organisasi
yang dia pimpin belakangan ini ternyata cuma melahirkan kader-kader tak
berotak.
Mulut besar dengan otak kosong biasanya cuma untuk kerbau
atau sapi potong.***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
BB: BlackBerry; BBM: BlackBerry Messenger; Brimob: Brigade Mobil; Bolmong: Bolaang Mongondow; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; HAM: Hak Asasi Manusia; HMI: Himpunan Mahasiswa Islam; Kahmi: Korps Alumni HMI; Kasat: Kepala Satuan; Kesbangpol: Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat; KK: Kota Kotamobagu; Komnas: Komisi Nasional; Mabes: Markas Besar; PB: Pengurus Besar; Pemkot: Pemerintah Kota; Pilwako: Pemilihan Walikota-Wawali; Pol-PP: Polisi Pamong Praja; Polri: Polisi Republik Indonesia; Satpol: Satuan Polisi; dan Wawali: Wakil Walikota.
BB: BlackBerry; BBM: BlackBerry Messenger; Brimob: Brigade Mobil; Bolmong: Bolaang Mongondow; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; HAM: Hak Asasi Manusia; HMI: Himpunan Mahasiswa Islam; Kahmi: Korps Alumni HMI; Kasat: Kepala Satuan; Kesbangpol: Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat; KK: Kota Kotamobagu; Komnas: Komisi Nasional; Mabes: Markas Besar; PB: Pengurus Besar; Pemkot: Pemerintah Kota; Pilwako: Pemilihan Walikota-Wawali; Pol-PP: Polisi Pamong Praja; Polri: Polisi Republik Indonesia; Satpol: Satuan Polisi; dan Wawali: Wakil Walikota.