PASAL 2 hingga
Pasal 8 UU No 40/1999 Tentang Pers secara gamblang menjelaskan apa itu
institusi pers, kewajiban dan haknya, serta bagaimana wartawan bekerja dan
mendapat perlindungan hukum selama menjalankan profesinya. Selain dilindungi UU
ini, sebagai pekerja, para pewarta juga dipayungi UU No 13/2003 Tentang
Ketenagakerjaan.
UU berisi 193 pasal itu relatif lengkap mengatur bagaimana
kewajiban dan hak pemberi kerja, pekerja, dan pengawasan terhadap penegakannya
oleh institusi negara. Tentu akan panjang, membosankan, dan jauh dari menggugah
selera bila seluruh pasal yang mengatur kewajiban dan hak pekerja, khususnya
terkait dengan skorsing tiga wartawannya oleh Radar Bolmong, mesti dibahas satu per satu. Toh pembaca atau siapa pun yang berkepentingan kini gampang
mengunduh UU No 13/2003 dan mempelajari secermat-cermatnya.
Maka telaah yang dilakukan lebih bersifat umum namun
substansial. Mula-mula adalah bagaimana hubungan antara pemberi kerja (Harian Radar Bolmong) dan pekerja
(wartawannya), yang tentu mesti didasari dokumen yang mengikat secara hukum. Di
perusahaan, institusi, atau lembaga yang menerapkan standar sebagaimana
mestinya, dokumen-dokumen itu biasanya disebut sebagai employment documents atau yang lebih umum kita kenal sebagai
perjanjian kerja, SK, dan sejenisnya.
Adakah ikatan antara Radar
Bolmong dan wartawannya dituangkan dalam dokumen yang demikian? Semestinya
‘’ya’’, karena di dalamnya tercantum kewajiban dan hak kedua pihak, termasuk salary dan benefit yang diterima wartawan dari media tempatnya bekerja.
Merujuk praktek umum di negeri ini, employment
documents juga menyebutkan setiap pekerja harus mematuhi etika, norma,
budaya, SOP, dan berbagai aturan yang ditetapkan (secara tertulis) oleh pemberi
kerja.
Alangkah mengejutkan dan menggelikan tatkala mengetahui Radar Bolmong nyatanya tak beda dengan
warung onde-onde. Jangankan SOP dan aturan-aturan kerja tertulis yang menjadi
panduan internal karyawan dan wartawannya; umumnya awak media ini ternyata tak
mengantongi sepotong pun SK atau kontrak kerja. Bagi sebagian karyawan dan
wartawan yang namanya dicantumkan di boks manajemen dan redaksi, bukti status
pekerjaannya hanya dirujuk dari sini dan (kalau pun ada) bukti penerimaan gaji.
Manajemen suka-suka hati ini menempatkan pekerja di Radar Bolmong dalam posisi ‘’datang
tanpa kepala, pergi tanpa punggung’’. Masuk gampang, sekadar (bagi wartawannya)
mampu merangkai kata dan kalimat, bersedia pontang-panting memburu sumber
berita, dan menyetor cash in; keluar
atau ditendang pun mudah. Maaf kawan-kawan jurnalis di Radar Bolmong dan Grup MP, nasib sapi perah tampaknya masih lebih
baik dari sebagian besar Anda. Walau susunya setiap pagi direlakan untuk tuan
pemilik, sapi perah masih dilengkapi sertifikat kepemilikan dan diasupi dengan
konsumsi prima.
Ketiadaan ikatan hukum pemberi kerja-pekerja di Radar Bolmong membuat mereka yang duduk
di posisi pengendali manajemen leluasa pula berbuat sesuka hati. Wartawan yang
dianggap gagal mencapai target cash in
dipinalti dengan non aktif atau ditiadakan statusnya. Alpa mengikuti rapat
redaksi atau tak mematuhi instruksi, dijatuhi hukum skorsing tanpa batas waktu.
Apa dasar yang digunakan, tanya pada pohon sirsak di tepi ruas jalan
Sinindian-Matali, di mana koran ini berkantor, karena Pemred dan Wapemred pasti
tak pernah membaca UU Tentang Ketenagakerjaan, bahwa sekadar SP pun ada masa
berlakunya.
Sesuai UU No 13/2003, pekerja yang tidak mematuhi kewajiban,
etika, norma, budaya, SOP, kerbijakan dan berbagai aturan yang ditetapkan
pemberi kerja, boleh diskorsing atau di-PHK tetapi harus dengan dasar yang
secara hukum dan administratif dapat dipertanggungjawabkan. Sebelum tindakan
itu dilakukan, minimal pekerja mendapat SP yang diberikan sesuai tingkat
kesalahan yang dilakukan.
Skorsing atau PHK memang boleh langsung dilakukan, tetapi
pelanggaran yang dilakukan tergolong sangat berat, semisal terlibat tindak
kriminal berat seperti pembunuhan, Narkoba, merusak asset atau merugikan
pemberi kerja hingga mengganggu kelangsungan bisnisnya secara permanen.
Pelanggaran ini harus dicantumkan dengan jelas dalam employment documents atau peraturan kerja yang disepekati bersama
antara pemberi kerja dan pekerjanya. Di luar itu, menurut hemat saya, seperti
kasus skorsing yang dialami tiga wartawan Radar
Bolmong, mereka seolah diberi jalan tol menggungat pidana dan perdata yang bakal
dengan mudah dimenangkan.
Ketiadaan employment documents,
SOP, kebijakan dan aturan tertulis, serta perlakuan semena-mena yang dialami
tiga wartawan Radar Bolmong itu
bahkan sudah tergolong pelanggaran HAM. Surat skorsing yang ditanda-tangani
Pemred dan Wapemred yang mereka terima juga menjadi bukti kriminalisasi
terhadap pekerja oleh pemberi kerja, tanpa dasar hukum memadai.
Akan menjadi lelucon akhir tahun yang meriah bila tiga jurnalis
yang kini berstatus TJ itu melaporkan nasibnya ke Komnas HAM serta menggugat
pidana dan perdata nama-nama mentereng yang terkait dengan koran ini dan
kelompok penerbitannya, seperti Dahlan Iskan, Imawan Mashuri, Suhendro Boroma,
Tauhid Arief, Taufik Adam, serta PU, Pemred, dan Wapemred Radar Bolmong. Liputan media lokal dan nasional pasti gempita,
apalagi Dahlan Iskan sedang mengadang-ngadang dan menjual diri sebagai calon Presiden
RI 2014-2019.
Selain bakal membeber dan mendeder kelakuan bangsat
manajemen Radar Bolmong dan Grup MP,
gugatan tiga wartawan berstatus ‘‘’skorsing untuk waktu yang tidak ditentukan’’
itu berpotensi pula membangkrutkan media ini. Di tangan penasehat hukum dan
litigator piawai, sungguh mudah membuktikan Radar
Bolmong dan kelompok yang memayunginya sama sekali tidak pantas dihormati,
apalagi dibiarkan terus-menerus mempraktekkan manajemen dan jurnalisme munafik
seperti yang selama ini digiatkan.
Itu sebabnya, apalagi yang dapat kita konklusi dari
institusi pemberitaan publik yang setiap hari berkoar tentang etika, norma,
budaya luhur, kemanusian, kepatuhan terhadap hukum, HAM, anti korupsi,
ketata-laksanaan, dan transparansi; sementara di saat bersamaan mereka menginjak
nilai-nilai agung itu, kecuali sebutan jahanam? Kata ini tak jauh beda dengan biadab
yang telah berulangkali saya tuliskan di blog
ini, yang kian lengkap karena kebodohan dan ignorance
jajaran manajemennya yang sudah mencapai batas (dalam bahasa Mongondow) bobodukon. Menghadapi para jahanam yang bobodukon, dengan segala keterbatasan
dan risiko, saya lebih dari sukarela bersedia turut serta.***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
Bolmong: Bolaang
Mongondow; HAM: Hak Asasi Manusia; Komnas: Komisi Nasional; Narkoba: Narkotika dan Obat-obat
Terlarang; Pemred: Pemimpin Redaksi;
PHK: Pemutusan Hubungan Kerja; SK: Surat Keputusan; SMS: Short Message/Pesan Pendek; SOP: Standard Operation Procedure; SP: Surat Peringatan; TJ: Tidak Jelas; UU: Undang-undang; dan Wapemred:
Wakil Pemimpin Redaksi.